Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menunggu "Bajingan"

25 November 2018   17:30 Diperbarui: 25 November 2018   17:40 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Karya Pribadi

Saprol bukanlah manusia yang suka mencari keributan. Begitu pun memancing keributan, dia tak suka. Nyata, itu pernah terjadi ketika temannya yang bernama Jendol Kanan, yang memang hobi memancing, mengajaknya memancing pada suatu hari.

"Prol, mancing yok!"

"Nggak ah. Aku nggak suka buat keributan," jawab Saprol, yang kemudian membuat Jendol Kanan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Tapi malam itu, lagi-lagi nyata, bahwa keributan memang tak perlu dicari. Keributan datang sendiri dari dua orang manusia yang merupakan simpatisan dari capres yang berbeda. Mereka berdebat, mengagung-agungkan pilihannya. Juga sebaliknya, mereka merendahkan capres lawan.

Gundul Kiwo dan si Gobang ribut. Tapi sebagai the wolests man on the planet, Saprol tenang-tenang saja sambil terus cepas cepus menghisap rokoknya.

"Mestinya ini tak perlu terjadi," Saprol berkata dalam hati yang paling dalam sambil berharap tak ada yang bisa mendengar perkataannya tadi.

Tak perlu digambarkan soal isi perdebatan Gundul Kiwo dan Gobang, karena kita pasti sudah ketahui bersama.

Tak ada yang Saprol ingin lakukan. Dia tak ingin memanaskan suasana di malam yang memang sudah sedemikian panas itu. Kadang dia memejamkan mata. Dia ingin tidur, tapi ngantuk.

Sambil terkantuk-kantuk, beberapa kata terdengar samar di telinganya. Kata-kata yang tak asing di masyarakat, tapi menjadi kata-kata yang begitu filosofis belakangan ini.

"Genderuwo", "Sontoloyo", "Cebong", "Kampret", "Boyolali", dan lain-lainnya, merupakan kata-kata yang memiliki latar belakang kelahirannya masing-masing. Saprol tahu itu. Tapi dia tak mau ikut-ikutan menyebut kata-kata tadi. Padahal ada satu kata yang disukainya, yaitu "Bajingan". Sayangnya kata tadi tak keluar. Dia masih menunggu kata itu keluar. Sebuah kata yang kita tak perlu lagi mencari tahu etimologi dan terminologinya di wikipedia, karena kita semua pasti sudah paham.

Saprol berpikir, jika kata "Bajingan" tadi keluar, itu merupakan indikasi bahwa keributan yang selama ini terjadi sudah mencapai titik klimaksnya. Kita paham, bahwa salah satu kubu senang sekali menyerang kubu lain. Walaupun kubu yang diserang juga menyerang, tapi masih ada kesabaran dan penggunaan logika. Karena bagi Saprol, ketika seseorang sudah tak terkontrol emosinya, di situ tak akan lagi ada logika, akal sehat, baik-buruk maupun benar-salah. Maka orang-orang yang masih berpikir dengan akal sehatnya adalah mereka yang masih terdapat kesabaran di dalam dirinya, walaupun mungkin saja kadang terjadi ledakan yang tak bisa ditahan.

Sayangnya kata "bajingan" tersebut belum juga keluar. Dia masih menunggu-nunggu. Situasi politik saat ini belum juga mereda. Saling menertawakan. Saling menampakkan kesalahan, itu semua masih terjadi.

"Padahal kita harusnya tau diri, bahwa Tuhanlah yang berhak menampakkan kesalahan seseorang," Saprol berkata dengan sangat pelan di antara perang kata-kata dua ekor, eh, manusia tadi.

Ternyata mereka mendengar ucapan Saprol, sehingga bertanya: "Apa, Prol?" Tapi Saprol tak menjawab dan melanjutkan menikmati hisapan demi hisapan rokoknya.

Walaupun harus bersabar menunggu "bajingan" keluar, tapi Saprol masih optimistis berharap akan adanya objektivitas di antara keduanya. Ini yang menjadi masalah besar. Tak adanya objektivitas itu bisa terjadi karena tak adanya penggunaan nalar, logika, sehingga baik benarnya sesuatu tak lagi bisa dinilai secara sama.

Suatu kesalahan bisa dibenarkan karena subjektivitas. Sebaliknya, suatu kebaikan bisa menjadi keburukan. Walaupun baik dan benarnya sesuatu itu masih dikatakan relatif, tapi secara umum penilaiannya masih sama bagi semua manusia.

Seketika pikiran Saprol berhenti. Pada malam itu dia tiba-tiba menangis. Terkesan sangat sedih. Gundul Kiwo dan Gobang keheranan sambil saling bertanya-tanya. Bukan, bukan karena subjektivitas tersebut membuntukan titik temu, melainkan karena sebuah lagu yang berbunyi:

Knife...

Cuts like a knife...

How will i ever heal...

Kedua manusia yang tadinya keheranan pun jadi ikut menangis. Dalam hati Saprol berkata sambil terus menangis: "Inilah objektivitas itu..."

Ada yang tahu lagunya, gaes? Alright, let's sing together! Let's cry together!

Knife...

Cuts like a knife...

How will i ever heal...

I'm so deeply wounded...

Knife...

Cuts like a knife...

You cut away the heart of my life...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun