Sebagai pemegang peringkat pertama "manusia termalang di dunia" versi majalah Ta'im, Saprol sudah terbiasa menerima berbagai hujatan, cemooh, maki-makian dari banyak orang yang sebenarnya itu bukan ditujukan kepada diri Saprol sendiri. Hanya saja, entah kenapa kok malah Saprol yang menjadi korban semprotan orang-orang yang... ah, entahlah apa namanya.
"Coba lihat," kata seseorang yang sedang dihadapi Saprol, "lihat bagaimana kacaunya bangsa ini."
Tapi Saprol tetap saja woles sebagaimana biasanya. Dia tak mau ambil pusing, apalagi kalau sampai dimasukkan ke dalam hati.
"Saya tau... Saya tau..." jawab Saprol seadanya.
"Kamu tau tapi kamu diam aja. Kamu ini gimana sih? Kita harus ambil sikap. Harus ada perubahan dari atas!" kata orang tadi dengan nada emosi.
Saprol bukannya tak tahu orang-orang seperti apa yang dihadapinya belakangan hari ini.
"Yah... ini kan nggak lepas dari kondisi politik saat ini," tanggapan Saprol dalam suatu diskusi ringan pada suatu hari yang cerah.
Saprol mengatakan bahwa dia tak ingin cenderung ke salah satu sisi. Tapi sikap politisnya tadi membuat Saprol diejek. Orang-orang mengatakan bahwa saat ini tak mungkin ada manusia yang bisa benar-benar netral dan tak punya pilihan. Seberusaha apapun seseorang bersikap netral, pasti akan cenderung ke salah satu pihak juga. Saprol tersenyum ringan mendengar komentar orang tentangnya.
Sebenarnya dia juga mengakui kalau bersikap objektif itu sangat sulit. Kalau harus menilai kedua belah pihak secara komparatif, akhirnya penilaian itu seolah-olah terkesan mendukung salah satu pihak juga.
Saprol mengatakan, "ini bukan siapa yang paling baik, melainkan siapa yang lebih baik di antara kedua calon. Karena kita mau tak mau akan melakukan perbandingan juga. Tapi bukan membandingkan secara subjektif dengan merendahkan atau meninggikan salah satu pihak."
"Sekarang kamu tau harus mendukung yang mana," berucap lagi seorang yang sedang dihadapi Saprol tadi. Tapi Saprol cuma diam.