Dan diri manusia bukanlah dirinya itu sendiri, melainkan juga manusia secara keseluruhan. Pribadi seorang manusia adalah jagat mikrokosmos, dan kehidupan besar ini adalah makrokosmosnya. Anda boleh saja tak meyakini keyakinan saya: bahwa apa yang dialami manusia secara keseluruhan, itu juga dialami oleh seorang pribadi.
So... kembali lagi bahwa diri itu sendirilah yang harus mencari pengetahuan yang benar sehingga tidak mengalami indoktrinasi oleh orang lain. Dan tentunya, juga berusaha melepaskan pengaruh-pengaruh dari luar diri kita, yang mengikat diri kita, mengikat kebebasan berpikir kita sehingga tidak lagi murni.Â
Memangnya mudah? Bukan dengan sekejap mata kita bisa melepaskan tali-tali yang menjerat, melainkan dengan perlahan-lahan sampai kemudian menemukan kesadaran bahwa kita selama ini dibuat mabuk oleh orang lain.
So... berarti ini juga soal menemukan prinsip hidup. Karena dengan berprinsiplah kita menjadi tidak mudah digoyah-kan oleh berbagai pengaruh yang memang saat ini bisa datang dari mana saja.
But... ini bukan ajakan untuk melakukan pemberontakan, lho ya. Walaupun, yang namanya manusia itu pasti akan memberontak lantaran dia memiliki kebebasan untuk memilih. Apa  itu juga berarti memberontak terhadap takdir atau ketentuan Tuhan? Oh tentu tidak. Bukan seperti itu maksudnya. Kita tak tahu takdir kita seperti apa. Kita tak tahu apa yang akan terjadi pada waktu mendatang.
 Memberontak terhadap aspek-aspek kehidupan itu boleh saja. Termasuk memberontak terhadap persepsi atau paradigma yang telah mencuci otak kita tadi. Itulah yang membuat pandangan kita tak lagi murni dalam melihat kehidupan. Bahkan tujuan eksistensial kita di dunia pun mungkin kita tak tahu lagi. Kita lupa, karena bapak kita, yakni Nabi Adam as. juga lupa. Lalu, apakah kita hidup di dunia untuk hidup ini sendiri? Ya memang. Tapi tak hanya sebatas itu kan?
Kalau sudah sampai pada tahapnya, seseorang akan menyadari bahwa tak ada yang lebih pantas daripada mengikat diri pada "tali Tuhan". Memang, manusia pasti terikat dengan kehidupan. Dia pun memiliki tugas eksistensial  dimana dirinya tidak hanya sekedar menikmati hidup ini, bersantai-santai, bersenang-senang dan lain sebagainya. Orang-orang kayak beginilah yang sudah merasa menang.Â
Dia merasa tak memiliki tanggungjawab sehingga hanya mementingkan kesenangan pribadi. Bagi saya, konten-konten pada media sosial yang setiap hari kita pelototi itu sudah jelas-jelas bisa dijadikan indikator bahwa kita sudah diarahkan untuk menjadi pribadi-pribadi yang ingin menang, ingin paling hebat, ingin paling wow, ingin paling dikenal, ingin paling penting, dan ingin paling-paling lain yang saya kira Anda sudah tahu sendiri.
Saya heran, apa pentingnya diri sendiri? Apa pentingnya ingin dikenal? Sedangkan berdasarkan apa yang saya lihat, seringkali orang-orang semacam itu hanya membuat hal-hal konyol. Mereka pamer ini-itu.Â
Mereka beropini tanpa ilmu. Dan kebanyakan hanya melakukan hal-hal yang justru tak berkualitas dan tak penting. Dari situlah saya sadar bahwa kita tak lagi bicara soal utilitas atau soal manfaat. Kita tak lagi bicara soal apa yang kiranya baik bagi orang banyak, melainkan soal apa yang baik bagi diri kita. Wiiih... gimana nggak hebat, coba?
Sayangnya, bagi "para penonton", mereka pun tak menyadari bahwa mereka hanya alat atau korban. Â Tapi kalau nyatanya mereka bergembira ria dengan hal itu, ya saya tak bisa mengatakan apa-apa. Karena manusia punya hak bergembira dan mencari kegembiraan.