Kalau melihat konstelasi hidup kita saat ini, saya kira diri kita sudah sedemikian diarahkan untuk saling bersaing satu sama lain. Dalam hal apa, tentu dalam berbagai konteks; mau itu politik, ekonomi, bahkan dalam soal keagamaan. Hal itu bagi kita sudah biasa dan kita sadari itu. Tapi, barangkali bagi saya hal itu aneh, karena saya meyakini bahwa kita hidup bukanlah untuk itu.Â
Bahkan kita tahu sendiri, ekses dari persaingan tersebut bisa berakibat pada permusuhan sehingga memunculkan "sesuatu yang lain" yang kita anggap tidak sama dengan kita. Bayangkan saja, nyatanya dalam konteks keagamaan pun itu terjadi, bukan? Memang itu terkesan biasa. Tapi, masalahnya, seringkali kita hanya melihat perbedaannya dan hanya melihat dari sisi yang itu itu saja.
Kok bisa kita hidup seperti itu? Pertanyaan ini bakalan panjang kalau dijawab. Tapi lagi-lagi saya mengira bahwa persepsi kita terhadap hidup yang seperti itu ujung-ujungnya menjadi soal menang-kalah. Memang tak ada musuh di dalam persaingan yang sehat. Tapi, hal itu menjadi gawat kalau berakibat pada kebanggaan dan kesombongan diri. Mungkin Anda akan mengatakan "ah... itu sih biasa."Â
Ya, biasa bagi Anda, tapi tidak bagi saya. Walaupun yang namanya kebanggaan dan kesombongan itu seringkali ditujukan atau diperlihatkan kepada orang lain, namun bagi saya hal tersebut harus saya hilangkan karena saya tak berhak untuk itu. Jangan sampai niat tersebut ada. Maksudnya, kalaupun ada --karena mau tak mau pasti akan muncul juga-- di situlah secuil niat itu harus saya musnahkan.Â
Memang pikiran kita pasti tak lepas dari persepsi, termasuk dalam hal kehidupan. Soal bagaimananya hidup ini, berdasarkan pengetahuan yang kita cari, pengetahuan itu membentuk persepsi. Atau, bisa juga justru kita-lah yang "dipersepsikan" oleh orang lain. Letak masalahnya ada pada yang terakhir. Kita tak berusaha memahami diri dan kehidupan kita, maka kita menjadi korban dari pihak-pihak yang menghendaki agar diri kita melakukan apa yang mereka inginkan.Â
Lho, ya iya, walaupun Tuhan yang mengatur kehidupan, tapi tentu ada pihak-pihak yang mengarahkan kita untuk menjadi seperti apa yang mereka kehendaki. Misalnya, kita ditakutkan terhadap kemiskinan. Kita takut ketinggalan jaman.Â
Kita takut tak bisa sekolah (padahal ilmuNya bisa didapat di mana saja; bukan cuma di bangku sekolah). Kita takut tak bisa mengikuti arus kehidupan, dan lain sebagainya. Atau, mungkin juga kita takut menjadi diri sendiri, yang itu berarti menafikan idealisme kita, keyakinan kita, dan tentunya prinsip hidup kita. (Yah... itu pun kalau punya sih...)
Yes... kita pasti tak sadar bahwa pikiran kita telah dibentuk. Kasihan sekali diri kita ini. Kita dikehendaki untuk tidak menjadi diri sendiri. Kita dikehendaki oleh mereka agar hidup berdasarkan apa yang mereka inginkan. Mereka itu siapa? Saya tak tahu. Tapi yang jelas mereka ada karena kehendak itu ada. Soal apakah mereka setan berwujud jin atau manusia, ya itu bisa jadi.Â
Akhirnya, kita harus sadar bahwa kita ini korban. Layaknya korban pemerkosaan yang tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti kehendak orang lain dan dengan secara terpaksa menikmati suatu kondisi yang tak diinginkan.Â
Bayangkan saja, bahwa ternyata kita pun tak berkuasa atas diri kita. Kita tak mampu melawan, walaupun sebenarnya mampu. Tapi ya itu tadi: bahwa tekanan atau pengaruh eksternal diri kita begitu kuat sampai akhirnya kita hanya menuruti, mengiyakan, dan manut wae sakarepe de'e.
Tapi mau gimana lagi, karena munculnya kesadaran itu pun tidak dimulai dari mana-mana selain dari diri sendiri. Diri sendiri yang melihat dirinya, mengenali dirinya, sehingga dia tahu apa yang terjadi pada dirinya.Â