"Bukan aku mengingkari atau mengkhianati hubungan kita. Aku tak menghendaki kita mundur, apalagi untuk berpisah. Aku sadari apa yang kita sudah jalani sejauh ini. Kamu jangan pernah berpikir bahwa aku akan mengkhianati hubungan kita," si Meja membela diri.
Sesekali bunyi sepeda motor terdengar menyelingi obrolan mereka, yang sebenarnya tak ingin aku mendengarnya. Karena ruangan ini memang tak begitu jauh dari sebuah jalan, namun bukan jalan raya. Sebatang rokok kubakar lagi. Kembali kuambil lembaran-lembaran kertas jurnal di sampingku dan kubaca kembali.
Kubaca tulisan yang berbunyi: Sebab, sekalipun agama merupakan persoalan sosial, tapi penghayatannya amat bersifat individual. Apa yang dipahami dan --apalagi-- dihayati sebagai agama oleh seseorang amat banyak bergantung pada keseluruhan latar belakang dan kepribadiannya. Hal itu membuat senantiasa terhadap perbedaan tekanan penghayatan dari satu orang ke orang lain dan membuat agama menjadi bagian yang amat mendalam dari kepribadian atau pribadi seseorang. Maka dari itu, agama senantiasa bersangkutan dengan kepekaan emosional
Sekalipun begitu, masih terdapat kemungkinan untuk membicarakan agama sebagai sesuatu yang umum dan obyektif. Dalam daerah pembicaraan ini diharapkan dapat dikemukakan hal umum yang menjadi titik kesepakatan para penganut agama, betapapun hal itu tetap merupakan sesuatu yang sulit.
"Sekarang aku yang gantian bertanya kepadamu: apakah kamu masih berpegang kuat pada prinsipmu?" tanya si Meja.
Dengan nada sedikit emosi, yang sedaritadi berusaha ditahannya, si Kursi menjawab: "Lho, kamu ini gimana sih? Kamu sudah tahu aku, kan? Kamu sudah kenal aku, kan? Apa sampai sekarang kamu masih belum tahu bagaimana aku berpegang pada prinsipku? Apa lagi yang belum kamu tahu dariku? Kamu tak tahu, atau pura-pura tak tahu?"
"Bagiku, perbedaan-perbedaan itu wajar. Kita tak mungkin sama. Kita beda, tapi tujuan kita sama. Aku bukannya tak tahu kalau salah satu di antara kita pasti akan tercerabut dari prinsip hidup kita masing-masing. Kita memang punya aturan-aturan pokok yang itu harus kita patuhi dengan cara kita masing-masing. Aku bukannya tak tahu. Aku pun tahu konsekuensi yang kamu maksud. Lagipula, kupikir kita juga sudah sama-sama tahu soal itu," begitu argumen si Kursi.
"Kita memang sama-sama tahu. Tapi pasti itu akan terjadi. Akhirnya, akan ada salah satu dari kita yang mengorbankan itu," ucapan si Meja terkesan begitu khawatir.
"Terus?"
"Mungkin saja itu terjadi padamu."
"Siapa yang tahu? Bisa juga itu justru terjadi padamu. Kamu takut. Kalau kita ingin sama-sama mau tahu siapa yang akan mengorbankan prinsipnya, ya kita lihat saja nanti. Itu pun kalau kamu mau untuk kita sama-sama merobohkan dinding yang kamu buat itu. Kamu tak bisa mengatakan seperti itu. Kamu tak boleh berapriori begitu, Sayangku," si Kursi berusaha menenangkan dirinya kembali.