Nampaknya kita harus belajar lagi memaknai makna agama dan makna pemahaman agama. Bukannya apa, soalnya saya heran sendiri tiap buka YouTube yang isinya saling serang begitu.
Kan aneh kalau pemahaman agama seseorang dianggap sebagai agama, seolah-olah hanya ada satu pemahaman yang bener-bener benar dan yang lain salah. Saya yakin hal itu sebenarnya tak ada sangkut pautnya dengan tokoh-tokoh agama tersebut, melainkan disebabkan ulah para pengguna YouTube yang entah terlalu fanatik atau apa, kemudian diolahnya omongan si agamawan tadi. Dikemasnya pula pakai judul yang pas, Â maka jadilah video-video yang kemudian menyebabkan renggangnya hubungan persaudaraan kita.
Lucu rasanya, dan bikin miris lantaran ketidakdewasaan semacam tadi. Entah apa niat mereka. Seolah-olah kayak baru beragama saja. Kayak mereka tak tahu saja kalau perbedaan pemahaman keagamaan seperti itu pasti terjadi. Kayak mereka tak tahu saja bagaimana mahzab-mahzab imam Malik, Hanafi, Syafi'i, dan imam Ahmad. Kayak mereka tak tahu saja kalau imam Malik juga pernah belajar kepada imam Ja'far, yang mahzabnya dijadikan prinsip fikih Syi'ah. Mereka mungkin tak tahu.
Mahzab-mahzab tersebut pun bukan agama. Makanya hal itu bisa diterima oleh berbagai kalangan umat Muslim di seluruh dunia. Bukan pemahaman agama itu yang bener-bener mutlak melainkan agamanya itu sendiri.
Ibarat mata air, itulah agama. Dia yang murni yang langsung bersumber dari sesuatu. Sedangkan ketika air dari mata air tadi diambil dengan gelas oleh orang-orang, itulah pemahaman-pemahaman atau interpretasi-interpretasi agama tadi, yang tujuannya untuk memudahkan para penganut agama dalam beragama.
Perbedaan-perbedaan semacam itu niscaya dan tidak seharusnya kita bersikap intoleran. Apalagi yang diributkan di YouTube itu pun bukannya masalah krusial yang pantas untuk disanggah, apalagi dibikin ribut (oleh mereka tadi). Saya khawatir kalau video-video semacam itu ditonton oleh orang-orang yang tak menggunakan akalnya dan hanya sekedar mengekor, akan jadi makin parah nantinya.
Saya yakin ini memang ketidakdewasaan intelektual dan spiritualitas keagamaan kita. Kita yang tak tahu apa itu agama, dan hanya sekedar ikut-ikutan saja. Saya cukup heran. Mungkin karena rame-ramenya 411 atau 212 kemarin, kok temen-temen jadi pada islami semua. Itu tidak salah. Tidak juga buruk. Sayangnya keislaman yang dadakan seperti itu tidak dibarengi dengan pengetahuan yang cukup, terutama untuk menyikapi ihwal perbedaan-perbedaan, baik itu dalam konteks keagamaan maupun sekuler; dalam kaitannya dengan saudara seiman maupun dengan saudara-saudara yang tak seiman.
Agama, dalam konteks kebenaran, tidak seharusnya, tidak sepantasnya digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi orang lain. Parahnya, hal itu malah terjadi dan digunakan untuk menyalah-nyalahkan pemahaman antar sesama saudara seiman. Kok begitu simplistisnya orang-orang berpikir dangkal memaknai kebenaran agama seperti itu? Kalau dibilang agamanya yang bener, ya iya.Â
Tapi bukan berarti dirimu juga sudah pasti bener! Wong para agamawan-agamawan itu juga tidak pernah merasa sudah benar kok. Ini kok malah pengikut-pengikutnya yang malah bersikap demikian. Woi, para agamawan-agamawan itu bukan nabi. Dan pemahaman agama mereka juga bukan agama. Aku tanya: mereka mengagamakan apa? Berapa agama yang mereka anut?
Lucu. Miris. Inilah buktinya kalau beragama tak cukup dengan hanya sekedar dianut dan memakai kostum atau atribut keagamaan belaka. Apalagi kalau beragama tapi tidak sampai mengetahui tentang aspek-aspek ketuhanan, apakah itu soal teologi bahkan makrifat. Wah, kalau sudah begitu namanya sudah menuhankan agama itu sendiri. Padahal agama adalah jalan.Â
Nyatanya, mereka tidak menggunakan agama itu sebagai jalan. Atau, mereka memang menggunakan agama itu sebagai jalan, tapi cara mereka berjalan tidak baik. Atau, mereka menggunakan agama sebagai jalan, tapi bisa saja orientasi atau arahnya bukan kepada Tuhan, karena mungkin mereka pun tak tahu kenapa harus menapaki jalan agama. Apalagi kalau yang hanya ikut-ikutan seperti yang sudah saya katakan sebelumnya.
Tidak seinstan itu beragama dan bertuhan. Agama bukan suatu ajaran yang begitu dipeluk kemudian penganutnya langsung paham, langsung benar. Apalagi persoalan makrifat dalam usaha mendekati dan mengenal Tuhan, itu pun jelas bukan hal yang mudah. Ada tingkatan-tingkatan dalam beragama dan bertuhan. Tidak bisa kita merasa seketika berada di puncak kebenaran absolut. Itu lucu. Itu tak pantas dilakukan para penganut agama.
Sekali lagi, agama bukan muara dan bukan akhir dari segala-galanya. Kita sebagai manusia cuma harus mengimplementasikan ajaran agama dengan baik dan benar, tanpa merasa sudah baik dan benar. Gimana coba kalau beragama tapi tak paham dengan kebenaran? Sikap-sikap semacam itu yang akhirnya mengakibatkan impresi yang jelek terhadap agama itu sendiri.Â
Astaghfirullah... aku memohon ampun atas sikap dan perilaku saudara-saudaraku. Aku memohon ampun atas kebodohan diriku dan saudara-saudaraku sekalian yang merasa sudah pintar sehingga bisa-bisanya membodoh-bodohi sesama saudaranya dan menilai keliru apa yang tak sepaham dengan mereka.
Ah... nampaknya doa saya dalam sholat akan lebih panjang. Tak apa, saya beribadah bukan cuma untuk diri saya sendiri kok...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H