Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Persoalan Lama yang Selalu Terasa Baru

24 Oktober 2017   14:00 Diperbarui: 24 Oktober 2017   14:10 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang bukan hal baru kalau ketidakberesan terjadi dimana-mana. Itu sudah terjadi dari dulu sampai sekarang, bahkan sampai Kiamat nanti. Tapi walaupun hal demikian sudah terjadi sejak lama, juga tak bisa kita membiasakan atau mewajarkannya. Entah kenapa, secara pribadi, ketika saya melihat satu berita, seolah-olah kejadian semacam itu terasa sesuatu yang baru bagi saya. Pembunuhan sudah sering terjadi, tapi tiap ada kasus pembunuhan baru, hal tersebut serasa baru terjadi pada saat itu juga.

Apa bisa dikatakan kalau kita bosan melihat fenomena demikian sampai kemudian malas atau bahkan tak peduli? Saya kira tidak bisa. Kecuali, kalau ketidakberesan sudah terjadi dimana-mana dan merajalela sampai seseorang seolah-olah ingin menjadi orang buta atau orang tuli karena tidak tahan melihat ngerinya realitas, maka yang semacam itu sudah beda soal.

Orientasi Nilai-nilai dan Indolensi

Ya, sebagai makhluk yang memiliki kesadaran dan pengetahuan memang kita wajib mengetahui dan terus mencari tahu. Tidak usah jauh-jauh bertanya soal pengetahuan seperti apa yang menjadi pengetahuan primordial, karena walaupun sekedar mengetahui perihal nilai-nilai baik-buruk, benar-salah saja itu sudah sangat cukup untuk dijadikan fundamen dan prinsip bagi diri seseorang.

Saya tak tahu dan tak mau berkomentar banyak kalau di negeri ini kita sudah sedemikian tercerabut dari nilai-nilai tadi. Entah kita tak mau tahu lagi terhadap nilai-nilai etika sosial-budaya, atau kita tak mau tahu soal nilai-nilai dalam agama, jawaban untuk pertanyaan tadi bisa sangat kompleks. Tapi, saya merasa bahwa itulah yang terjadi; dimana kita sudah sedemikian abai dalam persoalan nilai-nilai dasar.

Memang, seringkali kita terlalu jauh dalam membahas sesuatu. Kita bicara soal politik, kita bicara soal moralitas, kita bicara soal spiritualitas (tasawuf) dan lain sebagainya, tapi saya selalu  merasa kalau pembahasan semacam itu terlalu tinggi bagi bangsa ini. Apa yang kurang dari bangsa ini adalah soal kemauan kita untuk berpikir. Tak usah diambil pusing atas pernyataan tadi, karena berpikir adalah semacam pintu untuk dapat menyelami nilai-nilai fundamental. 

Kita berpikir dan bertanya-tanya atas sesuatu, maka kita juga berusaha untuk menemukan penyebab dasar kenapa hal itu bisa terjadi. Orang yang tidak berpikir tak akan merasa gelisah ketika melihat ketidakberesan yang terjadi di sekitarnya. Orang semacam itu cuma akan melihat dengan inderanya dan tak sampai masuk ke dalam perasaan dan akalnya. Nyatanya, seorang pemikir ateis yang tak beragama pun selalu gelisah melihat kondisi sosial sehingga selalu berpikir untuk merumuskan nilai-nilai moral yang pantas bagi masyarakatnya tadi.

Sedangkan kita, agama sudah di depan kita berikut nilai-nilai di dalamnya. Pun, etika sosio-kultural masih begitu kuat. Ketika seseorang berpakaian terbuka di suatu tempat, tak usah membawa-bawa agama pun kita sudah tahu kalau perilaku semacam itu tak pantas bagi nilai-nilai kultural di negeri ini. Saya jelas merasa kecewa kalau ada teman-teman mahasiswi terpelajar bersikap seperti tadi. Apakah memang kampus-kampus tidak lagi mengajarkan nilai-nilai semacam itu dan lebih mengutamakan ihwal keahlian profesi, hal demikian jelas akan semakin panjang kalau dibahas.

Saya memang baru menyadari hal ini. Kita memang perlu untuk saling bertanya kepada siapapun dan mengajaknya berpikir. Kecuali, kalau ada seseorang yang emoh dan mengatakan "ah, tak usah dipikirkan-lah. Buat pusing!" maka biarkanlah dia dalam penyakit indolensi-nya sendiri. Biarkanlah dia berada dalam kebingungan dan ketidaksadaran atas diri dan kehidupannya. 

Biarkanlah dia berada dalam ketidaksadaran atas perbuatan sistemik orang lain terhadap dirinya. Percuma kalau harus dipaksa, cuma akan membuat orang lain semakin jauh. Kita hanya bisa mengajak, sedangkan untuk urusan merubah sesuatu itu urusan Yang Maha Menentukan.

Maka seharusnya, kalau kita memang masih berprinsip pada agama, intensitas berpikir itu juga akan berimplikasi pada semakin kuatnya kita beragama. Kalau kita bisa menjadi bangsa yang seperti itu, saya yakin kita tidak akan menganggap agama hanya sebagai simbol identitas sosial belaka. Juga, tak akan ada sikap-sikap konyol seperti intoleransi keagamaan atau dengan mudahnya menilai orang begini-begitu seolah-olah dirinya sendiri sudah merasa paling baik, paling benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun