Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Disalahpahami dan Disalahgunakan Itu Bernama Demokrasi

16 Juli 2017   18:46 Diperbarui: 17 Juli 2017   06:41 1915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan pada negara dimana rakyat dan orang-orang yang mengurusi negara sama-sama bebas tapi tidak bertindak superior, tahu batas, tahu nilai, dan tahu diri," begitu definisi seseorang yang saya tidak tahu siapa dia.

Dari pernyataan yang mengandung parameter di atas, saya jadi mikir lagi, bahwa ternyata ada yang tidak beres dengan cara berjalan kita di atas laku demokrasi ini.

Oke, memang demokrasi itu membebaskan kita untuk berpendapat, mengkritisi dan lain sebagainya. Masalahnya, kayaknya sekarang kebebasan itu justru digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Ini jelas salah. Kalau mau bicara soal kepentingan ya jangan kepentingan yang seperti itu, karena demokrasi, sejak awalnya, sudah memiliki visi terhadap kepentingan dan kebaikan bersama.

Ternyata kita memang harus balik ke persoalan nilai-nilai. Kebebasan dipahami sebagai sesuatu yang tanpa batas. Aduh... kalau yang seperti itu namanya bukan kebebasan, melainkan kebablasan. Ya, semua orang boleh bersuara, boleh menggugat ketidakberesan pada suatu lembaga di negara ini. Silahkan.

Akhirnya nilai baik-buruk pun dicampakkan. Demi kebaikan pribadi dan golongan yang pada hakikatnya sama sekali berniat tidak baik, bagi mereka yang menyalahgunakan kebebasan demokrasi, hal itu mutlak dianggap baik. Kan aneh kalau nilai-nilai sudah dirancukan kayak es campur begitu? Yang baik dan yang buruk itu kan sudah jelas? Ini kok keburukan dianggap baik? Malah menggunakan hak demokrasi pula lagi.

Makanya orang-orang yang tak senang "kerjaannya" diganggu pun menggunakan demokrasi sebagai alasan mereka. Artinya, dengan menyebut-nyebut atas nama hak kebebasan berdemokrasi mereka merasa boleh untuk mendiskreditkan pihak yang mengganggu mereka. Mereka ogrok-ogrok (ini istilah Ibu saya yang kira-kira definisinya sama dengan memaksa, mengganggu, atau merusuhi) penegak hukum yang mereka anggap merecoki "ketenangan kerja".

Demokrasi itu berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan. Tidak boleh ada penindasan dan pembungkaman. Kecuali, kalau memang ada pihak di atas sana yang jelas-jelas sudah tak beres, ya kita lawan (makanya di sini saya menekankan pada nilai baik-buruk tadi, dan bukan nilai-nilai yang sudah dirancukan). Anehnya sekarang ini malah kebalik. Kok yang baik-baik malah diperangi oleh yang tak baik? Pakai terang-terangan pula lagi.

"Demokrasi Terpimpin pada rezim orla itu bukan demokrasi. Itu cuma namanya saja, tapi tidak secara implementasinya. Begitu juga pada rezim orba, dimana itu pun hanya nama atau labelnya saja, tapi tidak secara praktis," begitu kata seseorang yang lagi-lagi saya tidak tahu siapa dia.

Saya jadi merasa diingatkan kalau nilai-nilai merupakan landasan segala aspek kehidupan kita. Tidak ada yang boleh membolak-balikkannya kayak bikin telor dadar, dan tak ada yang boleh menyalahgunakan sistem yang kita gunakan sebagai laku atau jalan.

Hal yang paling klise adalah ketika banyak orang berpandangan sempit menilai demokrasi telah gagal. Kok bisa demokrasi dibilang gagal? Lho, demokrasi ini kan jalannya? Kita ini bukan sudah demokratis, melainkan kita sedang berusaha demokratis. Kita ini bukan "sudah jadi", melainkan "sedang berusaha menjadi". Menjadi apa? Menjadi apa yang kita inginkan bersama. Kita menginginkan keadilan, kita menginginkan kesejahteraan, cinta damai dan lain sebagainya.

Lagipula, tanpa pemahaman nilai-nilai yang melebur pada diri kita, kita tak akan jadi apa-apa. Gimana bisa kita menghendaki suatu sistem pemerintahan teokrasi kalau pemahaman kita tentang nilai-nilai saja masih jeblok? Lihat saja, tengok sendiri bagaimana nilai-nilai tadi dirancukan sesuka hati. Tanpa pemahaman akan nilai-nilai primordial, kita tak akan pernah menjadi masyarakat yang baik, walaupun kita menggunakan sistem negara yang paling joss sekalipun. Lagipula, agama itu kan inheren dengan nilai-nilai? Nyatanya kita masih terlalu jauh dari dalamnya pemahaman, Saudara-saudara!

Demokrasi juga Disikapi Secara Fatalistik

Soal sikap demikian pun termasuk kesalahpahaman dalam berdemokrasi. Siapa yang bilang dan berani menjamin demokrasi pasti akan menjamin ketentraman bagi negara, stabilitas pemerintahan maupun kerakyatan? Tidak ada yang bisa menjamin hal itu. Begitu pun terhadap sistem teokrasi, tak bisa kita bersikap fatalistik mengatakan dengan pedenya bahwa urusan kenegaraan dan kemasyarakatan kita pasti akan beres.

Kitalah yang menghidupkan dan membereskan semua permasalahan. Bukan demokrasi atau sistem-sistem lainnya. Kalaupun Tuhan memberikan suatu sistem kehidupan yang paling canggih bagi kita, itupun kalau kita tak benar dalam mengimplementasikannya hasilnya belum tentu beres.

Barangkali kita memang terlalu berketergantungan pada sesuatu. Teriak-teriak kita mengatakan "pakai sistem ini, tinggalkan yang itu!" Seolah-olah kita baru lahir hari ini dan tak pernah melihat sejarah. Bukan sejarah sistem-sistem itu. Bukan. Melainkan sejarah kemanusiaan; watak-watak dan sikap manusia terdahulu dalam menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Ya, kepentingan Tuhan itu tak lain memang untuk manusia kan?[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun