Masih lagu lama yang terdengar. Ya, yang itu itu juga. Kadang aku pingin tutup telingaku ini rapat-rapat. Tapi rasanya tak mungkin menutup rapat telinga ini hanya karena semata lagu lama yang mendatangkan memori mengasyikkan itu.
Â
Saya tidak mungkin berjalan sambil menutup telinga, sedangkan Anda masih teriak-teriak di sana-sini. Saya tidak ingin mengalienasi diri. Maafkan aku jika berpikiran sedikit pengecut.Â
Â
Aku telah terjebak pada makna cinta yang dikecilkan. Sedangkan cinta tidak hanya persoalan aku dan dia. Cinta menyangkut aku dan kalian. Cinta tidak mengenal primordialisme. Cinta telah dikotak-kotakkan dan dimasukkan ke dalam kotak yang kecil dan mengalami eksklusifisasi. Aku salah, aku salah. Karena cinta hanya milikku dan harus kusebar dimana-mana. Atau tidak sama sekali. Itu hakku untuk memilih.
Â
Ah, jangan buat aku bosan untuk bicara tentang ini. Tapi orang-orang sudah terlanjur membosankan aku untuk membahas perihal ini. Aku telah terseret masuk dan ingin keluar dari jurang kekeliruan paradigma sosial. Dari konstruksi yang salah dan terlanjur masif.
Â
Parahnya orang-orang hanya menerima begitu saja tanpa berpikir panjang terlebih dahulu cinta yang fundamental. Sekarang terserah saja bagaimana Anda mempersepsikan hal itu. Saya tidak akan mengindoktrinasi Anda dengan paham saya. Toh cinta saya cinta yang salah. Sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana mengaplikasikan cinta. Mungkin cinta saya cinta yang sesat. Cinta saya cinta yang tak bisa dibagi-bagi. Atau katakanlah cinta yang antisosial. Karena saya mungkin kecewa. Kecewa kepada orang-orang yang hanya minta dicintai. Mereka meminta cinta yang tulus tanpa mereka mau membagi-bagikan cinta mereka.
Â
Memang. Memang cinta tidak mengenal pamrih. Cinta tidak mengharapkan apapun. Bahkan tidak mengharapkan untuk dicintai kembali. Entah apa kita memang sudah tidak mengenal cinta seperti itu atau bagaimana. Skeptisisme bahkan juga menjangkiti yang namanya cinta. Kita ragu dan tidak percaya dengan cinta seseorang. Yang membuat kita jual mahal untuk mencintai seseorang. Malu dong kita mencintai seseorang dengan tulus. Di jaman begini...
Â
Pendam saja cinta yang seperti itu. Simpan baik-baik dan jangan mudah diumbar-umbar ke orang. Saya ini mencintai, dan saya dipandang rendah karena cinta saya tulus. Itukah konsekuensinya? Silahkan Anda menjual mahal. Biarkan cinta terakumulasi dan akhirnya meledak dengan ledakan yang dahsyat. Biarkan kita berasyik-asyikan dengan kebencian, karena pada akhirnya kita akan merasa bosan juga dengan keasyikan kita. Kita akan muak, kita akan jenuh dan memutuskan memilih jalan yang kontradiktif dengan saat ini.Â
Â
Memang setiap jalan akan berakhir dengan kebosanan. Saya yakin kita sedang menuju ke sana. Walau tak tahu waktunya kapan tiba. Kita sedang menuju pada kerinduan saat ini. Kerinduan itu akan pecah dengan tangis haru kebahagiaan dan penyesalan akan yang masa lampau. "Kenapa kita tidak begitu dari dulu. Kenapa baru sekarang?" Penyesalan memang datang di akhir. Penyesalan selalu saja muncul pada momentum dimana kita baru sadar. Entah kita sadari atau tidak kemabukan ini? Logikanya, kebanyakan orang tidak sadar ketika dirinya mabuk. Kemabukan telah memendam kesadaran kita. Memendam cinta. Dan cinta akan marah yang mengakibatkan keterkejutan kita. Kesadaran kita kembali dari inferioritas yang dialaminya.Â
Â
Tapi saat ini kita mungkin belum sadar. Kita masih mabuk. Dan keasyikan mabuk. Silahkan minum lagi. Tuang dan kita bersulang meramaikan hari-hari ini dengan kebisingan suara gelas-gelas yang beradu. Nikmati saja selagi bisa menikmati. Minum, minum sampai muak dan muntah. Minum sampai bosan. Nikmati yang terjadi saat ini. Jangan tunggu-tunggu kapan waktunya tiba. Karena waktu belum tentu pasti memberikan jawaban yang kita inginkan. Waktu kadang justru memberikan kekecewaan. So, mari mabuk kembali.
Â
(Tulisan ini juga terdapat di monyetsinting.blogspot.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H