Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pendekatan Menuju Filsafat Pendidikan

14 Oktober 2019   17:00 Diperbarui: 14 Oktober 2019   17:09 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu bagaimana dengan filsafat pendidikan di Indonesia? Dari berbagai sumber dan seminar yang penulis pernah ikuti, Indonesia belumlah memiliki filsafat pendidikan secara jelas. Kita masih mengikuti dan meniru sistem pendidikan dari negara lain -- dengan beberapa penyesuaian di sana-sini.

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi pendidikan beberapa tahun terakhir adalah melalui pendidikan profesi guru. Guru mengikuti berbagai tes dan pelatihan secara intensif untuk mendapatkan sertifikat profesi. (Di sini penulis juga bertanya-tanya, lalu apa gunanya fakultas ilmu pendidikan dan keguruan? Apakah lulusannya tidak kompeten? Mengapa tidak fokus memperbaiki kualitas kampus-kampus keguruan saja  untuk memperoleh guru-guru berkualitas?)

Menurut penulis cara ini sesuai dengan pendekatan analitis yaitu memahami masalah pendidikan - yaitu kompetensi guru - dan berusaha melatih para guru untuk menjadi guru profesional alias guru bersertifikat.

Namun, bagaimana hasilnya? Sepengetahuan penulis, motivasi guru mendapatkan sertifikat pendidik semata untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi. Tidak semua, tapi banyak guru yang seperti itu. Sementara kualitas pengajaran di kelas tidak ada perubahan sama sekali. Mungkin terdapat beberapa, namun jumlahnya sangat sedikit.

Berikutnya, banyak guru mengeluh karena beban tugas bertambah selama mengikuti proses sertifikasi. Banyak tugas secara daring (online) yang dikerjakan dan harus diserahkan pada waktu yang sudah ditentukan. Kemudian jika tidak lulus, maka harus mengulang. Ujungnya, banyak yang mengerjakannya dengan cara copy-paste.

Masalah pendidikan kita memang sangat kompleks. Itu karena pendidikan kita tidak memiliki akar yang kuat; filsafat pendidikan yang berciri Indonesia. Lihatlah, begitu maraknya sekolah mengadopsi kurikulum luar negeri untuk dijadikan pendukung (tambahan) kurikulum kita. Ada pula sekolah yang benar-benar menerapkan kurikulum luar negeri secara penuh. Apakah kurikulum dari pemerintah tidak cukup? Apa yang salah dengan kurikulum kita?

Waktu penulis pulang kampung beberapa bulan lalu, penulis berbincang-bincang dengan seorang guru Bahasa Inggris di sana. Guru ini tidak lain adalah adik saya sendiri. Sebagai guru Bahasa Inggris, dia menemui kesulitan. Jangankan untuk membaca atau percakapan dalam Bahasa Inggris, siswa di pelosok sana bahkan masih kesulitan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Guru-guru di pelosok tentu memahami masalah seperti ini.

Tetapi, seperti kita ketahui, semua siswa harus mengikuti ujian nasional yang standarnya disamakan dengan kota-kota besar di Indonesia. Dan pelajaran Bahasa Inggris termasuk mata pelajaran yang diujikan. Tentunya siswa-siswi di sana  akan kesulitan mengikuti ujian Bahasa Inggris.

Mengapa kita tidak memperkuat Bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa. Mengapa harus belajar Bahasa Inggris (bahasa asing) di sekolah? Bahasa asing bisa dipelajari di tempat kursus bagi yang mau atau bagi mereka yang ingin belajar ke luar negeri? Lagi-lagi, karena kita tidak memiliki sistem filsafat pendidikan yang jelas.

Penulis teringat video seorang youtuber asal Brazil bersama orang asing lain dari Bosnia. Mereka berbincang mengenai keanehan yang mereka temui di Indonesia. Salah satunya adalah bahasa. Youtuber dari Brazil ini menyinggung soal penggunaan Bahasa Inggris di hampir semua tempat di Indonesia. Padahal, menurutnya, orang-orang Indonesia harusnya bangga memiliki Bahasa Indonesia, bahasa nasional sendiri.  

Ini baru salah satu contoh problem pendidikan, yang secara spesifik, penulis catat di sini. Permasalahan lain yang menarik perhatian penulis adalah betapa mudahnya generasi muda terpengaruh oleh budaya luar, misalnya Korea, Jepang, Arab, hingga budaya barat. Padahal budaya di Indonesia sangat beragam dan patut jadi kebanggaan. Di banyak sekolah, penghargaan budaya hanya terjadi pada momen tertentu saja seperti peringatan hari-hari besar nasional; tidak "mendarah daging" dalam sistem pendidikan kita.

Semoga saja ke depan pemerintah bersama masyarakat dan tokoh/ahli pendidikan, memberi perhatian pada filsafat pendidikan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun