Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pendekatan Menuju Filsafat Pendidikan

14 Oktober 2019   17:00 Diperbarui: 14 Oktober 2019   17:09 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setelah tidak aktif menulis beberapa bulan karena sakit, akhirnya penulis kembali lagi. Tulisan ini sebenarnya tulisan lama dengan beberapa tambahan seadanya. Lagi-lagi tentang pendidikan.

Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia memang tidak ada habisnya. Ya, karena memang dunia pendidikan terus berkembang seiring perkembangan zaman.

Di sini saya, selaku penulis, menuliskan tentang tiga pendekatan menuju filsafat pendidikan. Dilanjutkan dengan sedikit catatan mengenai filsafat pendidikan yang sudah diketahui secara umum. Kemudian penulis membahas sedikit tentang kondisi pendidikan Indonesia baru-baru ini.

Ada tiga pendekatan menuju filsafat pendidikan, antara lain:

Pendekatan analitis. Pendekatan ini dapat berupa upaya untuk memahami masalah-masalah pendidikan tertentu (seperti tujuan pendidikan, sifat kurikulum, metode pengajaran atau kegiatan belajar mengajar) yang memasuki analisis intelektual.

Umumnya pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan beberapa cara, antara lain: 1) analisis semantik, upaya untuk menjernihkan makna istilah-istilah dalam wacana pendidikan; 2) analisis rasional, usaha untuk menentukan apakah bentuk penalaran tertentu bersifat logis atau tidak; 3) analisis empirik, upaya untuk menentukan apakah pernyataan tertentu terbukti nyata (faktual) berdasarkan pembuktian eksperimental.

Biasanya pendekatan analitik dianggap lebih netral atau lebih objektif dibanding dengan pendekatan lain. Meskipun demikian terdapat kekurangan yaitu pendekatan ini memilih gagasan-gagasan apa saja yang relevan dan problematis. Artinya, kita telah memiliki pandangan tersendiri (prakiraan) sehingga menganggap suatu gagasan tertentu bermasalah dan perlu diuji.

Pendekatan sistem-sistem formal. Pendekatan ini berupaya menemukan kesesuaian antara berbagai sistem filsafat yang sudah ada seperti idealisme, realisme, eksistensialisme, dan pragmatisme, kemudian berusaha menemukan teori-teori yang disebut sebagai filsafat pendidikan.

Pendekatan filsafat-filsafat pendidikan. Pendekatan ini berawal dari rancangan-rancangan yang lebih khusus, seperti etika sosial (tanggung jawab antarmanusia), yang terkait langsung dengan permasalahan-permasalahan mendasar persekolahan. Kemudian menata, mengorganisir prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan itu menjadi sistem logis gagasan tentang hakikat dan tujuan pendidikan. Pendekatan ini bisa dikatakan kebalikan dari pendekatan sistem-sistem formal. Jika pendekatan sistem-sistem formal berusaha menyesuaikan dengan sistem yang sudah ada sebelumnya, maka pendekatan ini cenderung meniadakan cara-cara tersebut.

Pendekatan filsafat-filsafat pendidikan ini sesungguhnya bukan benar-benar filsafat yang secara umum dipahami. Tidak dimulai dari sebuah sistem-sistem keyakinan yang sudah ada. Tapi biasanya menggunakan teori-teori perantara seperti kajian mengenai etika sosial. Pendekatan ini cenderung memusatkan perhatian pada dua pertanyaan mendasar dalam pendidikan.

Pertama, hubungan mendasar apakah yang ada antara sekolah dengan masyarakat? Bagaimana seharusnya sasaran-sasaran pendidikan mengait ke tujuan-tujuan sosial menyeluruh?

Kedua, apa implikasi hubungan itu dalam kaitannya dengan sifat dan susunan (hakikat dan organisasi) pengajaran? Apa sajakah tujuan-tujuan pendidikan, dan bagaimana mestinya tujuan-tujuan itu ditanamkan lewat kurikulum dan pedoman pengajaran?

Empat sistem filsafat pendidikan

Seperti diketahui secara umum bahwa terdapat empat sistem filsafat pendidikan, antara lain: perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme. Di sini penulis akan memberikan ringkasan.

Perenialisme adalah sudut pandang yang menganggap sasaran pendidikan adalah "kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran, dan nilai; yang abadi, tak terikat waktu, tak terikat ruang". Pandangan ini berusaha memulihkan tolok ukur mutlak yang mengatur dunia zaman kuno dan zaman pertengahan. Tolok ukur zaman dulu dianggap mampu mengatasi tantangan dunia zaman ini dan masa depan.

Esensialisme adalah pandangan yang berpegang pada pernyataan bahwa alam semesta diatur oleh hukum yang mencakup semuanya serta tatanan yang sudah mapan sebelumnya, karena itu tugas utama manusia adalah memahami hukum dan tatanan ini hingga ia bisa menghargai dan menyesuaikan diri dengannya. Sasaran sekolah adalah mengenalkan siswa pada karakter dasar alam semesta yang teratur itu, dengan cara mengenalkan warisan budaya. Esensialisme dilandasi oleh prinsip-prinsip klasik dari realisme dan idealime modern.

Progresivisme merupakan pandangan yang menganggap bahwa tujuan pendidikan adalah melatih kemampuan berpikir menyeluruh sehingga dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Pandangan ini ditopang oleh pragmatisme. Tujuan utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis, untuk membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah.

Rekonstruksionisme adalah pandangan bahwa sekolah semestinya diabdikan kepada pencapaian tatanan demokratis yang mendunia. Sekolah merupakan agen perubahan sosial. Pandangan ini menekankan bahwa sekolah mesti memiliki hubungan dengan masyarakat.

Perenialisme, esensialisme, dan progresivisme memiliki kesamaan yaitu lebih fokus ke dalam. Maksudnya adalah ketiga pandangan tersebut menggeluti pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti apa tujuan pendidikan? Apa yang harus diajarkan? Nilai-nilai apa saja yang harus ditanamkan di sekolah? bagaimana cara mengajar?

Sementara rekonstruksionisme agak berbeda. Pandangan ini tidak hanya mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Ia lebih jauh lagi mengajukan pertanyaan seperti: bagaimana hubungan antara sekolah dan masyakat? Individu seperti apa yang akan dihasilkan oleh sekolah ketika ia berada dalam masyarakat? Masyarakat seperti apa yang akan dihasilkan oleh sekolah?

Sebenarnya keempat aliran filsafat pendidikan di atas, meskipun sudah dikenal secara luas, menurut penulis terlalu sederhana. Perkembangan zaman memunculkan aliran-aliran filsafat pendidikan terkini yang lebih beragam dan sesuai dengan konteks abad ini.

Pendidikan di Indonesia

Lalu bagaimana dengan filsafat pendidikan di Indonesia? Dari berbagai sumber dan seminar yang penulis pernah ikuti, Indonesia belumlah memiliki filsafat pendidikan secara jelas. Kita masih mengikuti dan meniru sistem pendidikan dari negara lain -- dengan beberapa penyesuaian di sana-sini.

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi pendidikan beberapa tahun terakhir adalah melalui pendidikan profesi guru. Guru mengikuti berbagai tes dan pelatihan secara intensif untuk mendapatkan sertifikat profesi. (Di sini penulis juga bertanya-tanya, lalu apa gunanya fakultas ilmu pendidikan dan keguruan? Apakah lulusannya tidak kompeten? Mengapa tidak fokus memperbaiki kualitas kampus-kampus keguruan saja  untuk memperoleh guru-guru berkualitas?)

Menurut penulis cara ini sesuai dengan pendekatan analitis yaitu memahami masalah pendidikan - yaitu kompetensi guru - dan berusaha melatih para guru untuk menjadi guru profesional alias guru bersertifikat.

Namun, bagaimana hasilnya? Sepengetahuan penulis, motivasi guru mendapatkan sertifikat pendidik semata untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi. Tidak semua, tapi banyak guru yang seperti itu. Sementara kualitas pengajaran di kelas tidak ada perubahan sama sekali. Mungkin terdapat beberapa, namun jumlahnya sangat sedikit.

Berikutnya, banyak guru mengeluh karena beban tugas bertambah selama mengikuti proses sertifikasi. Banyak tugas secara daring (online) yang dikerjakan dan harus diserahkan pada waktu yang sudah ditentukan. Kemudian jika tidak lulus, maka harus mengulang. Ujungnya, banyak yang mengerjakannya dengan cara copy-paste.

Masalah pendidikan kita memang sangat kompleks. Itu karena pendidikan kita tidak memiliki akar yang kuat; filsafat pendidikan yang berciri Indonesia. Lihatlah, begitu maraknya sekolah mengadopsi kurikulum luar negeri untuk dijadikan pendukung (tambahan) kurikulum kita. Ada pula sekolah yang benar-benar menerapkan kurikulum luar negeri secara penuh. Apakah kurikulum dari pemerintah tidak cukup? Apa yang salah dengan kurikulum kita?

Waktu penulis pulang kampung beberapa bulan lalu, penulis berbincang-bincang dengan seorang guru Bahasa Inggris di sana. Guru ini tidak lain adalah adik saya sendiri. Sebagai guru Bahasa Inggris, dia menemui kesulitan. Jangankan untuk membaca atau percakapan dalam Bahasa Inggris, siswa di pelosok sana bahkan masih kesulitan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Guru-guru di pelosok tentu memahami masalah seperti ini.

Tetapi, seperti kita ketahui, semua siswa harus mengikuti ujian nasional yang standarnya disamakan dengan kota-kota besar di Indonesia. Dan pelajaran Bahasa Inggris termasuk mata pelajaran yang diujikan. Tentunya siswa-siswi di sana  akan kesulitan mengikuti ujian Bahasa Inggris.

Mengapa kita tidak memperkuat Bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia merupakan identitas bangsa. Mengapa harus belajar Bahasa Inggris (bahasa asing) di sekolah? Bahasa asing bisa dipelajari di tempat kursus bagi yang mau atau bagi mereka yang ingin belajar ke luar negeri? Lagi-lagi, karena kita tidak memiliki sistem filsafat pendidikan yang jelas.

Penulis teringat video seorang youtuber asal Brazil bersama orang asing lain dari Bosnia. Mereka berbincang mengenai keanehan yang mereka temui di Indonesia. Salah satunya adalah bahasa. Youtuber dari Brazil ini menyinggung soal penggunaan Bahasa Inggris di hampir semua tempat di Indonesia. Padahal, menurutnya, orang-orang Indonesia harusnya bangga memiliki Bahasa Indonesia, bahasa nasional sendiri.  

Ini baru salah satu contoh problem pendidikan, yang secara spesifik, penulis catat di sini. Permasalahan lain yang menarik perhatian penulis adalah betapa mudahnya generasi muda terpengaruh oleh budaya luar, misalnya Korea, Jepang, Arab, hingga budaya barat. Padahal budaya di Indonesia sangat beragam dan patut jadi kebanggaan. Di banyak sekolah, penghargaan budaya hanya terjadi pada momen tertentu saja seperti peringatan hari-hari besar nasional; tidak "mendarah daging" dalam sistem pendidikan kita.

Semoga saja ke depan pemerintah bersama masyarakat dan tokoh/ahli pendidikan, memberi perhatian pada filsafat pendidikan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun