Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Birokrasi, Oh Birokrasi

30 Maret 2018   21:55 Diperbarui: 31 Maret 2018   08:06 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dosenpendidikan.com

Katanya -- entah kata siapa -- menuangkan  kekesalan dalam bentuk tulisan memberikan kelegaan dalam hati. Itulah tujuan tulisan singkat ini. Dibaca silakan, tidak dibaca tidak masalah. Toh tulisan ini ditujukan untuk diri sendiri yang sedang kesal.

Apakah yang membuat aku kesal? Begini ceritanya: bulan februari lalu aku mengurus surat izin memimpin di dinas pendidikan. Karena aku bertugas di Bogor, Jawa Barat, maka aku mengurus surat tersebut ke Bandung. Ada 12 persyaratan yang aku harus siapkan. Termasuk surat rekomendasi dari pengawas sekolah.

Tiga di antara persyaratan itu merupakan surat pernyataan yang harus aku tanda-tangani di atas materai. Persyaratan lain berupa surat keputusan yang dikeluarkan oleh yayasan serta fotokopi ijazah, dlsb. Artinya persyaratan tersebut benar-benar penting.

Semua persyaratan sudah aku lengkapi. Tiba saatnya mengantarkannya ke Dinas Pendidikan Prov. Jawa Barat yang berada di Bandung. Saat itu tanggal 14 Februari. Aku berangkat pukul 05.30 WIB agar bisa mendapatkan bus pertama yang menuju Bandung. Tetapi, meskipun sudah berangkat pagi, tiba di Bandung jam 12 siang. Penyebabnya adalah kemacetan di tol karena ada proyek pembangunan.

Sesampainya di kantor dinas di Bandung, aku lapor dan mengisi buku tamu di meja resepsionis. Aku mendapat sambutan yang sangat baik. Penerima tamu menunjukkan ruangan yang ingin aku tuju. Aku bergegas ke sana.

Di sana ternyata ada puluhan orang yang datang dengan berbagai urusan. Sayangnya, tidak ada antrian yang rapi. Hanya ada satu petugas berseragam satpam. Semua berebut untuk menjadi yang pertama hingga satpam kewalahan menerima berkas yang diserahkan ke tangannya secara bersamaan. 

Ketika satu-dua berkas atau map sampai ke tangannya, satpam tersebut masuk ke ruangan khusus yang hanya boleh dimasuki oleh petugas. Ketika satpam keluar, maka orang kembali mengerumuninya untuk menanyakan berkas mereka atau ada menyerahkan berkas baru. Begitu terus sampai giliranku tiba.

Karena melihat situasi yang tidak tertib, maka aku juga mencoba "peruntungan" dengan mengejar satpam sebelum dia masuk ke ruangan dalam. Berkasku diterima. Aku menunggu sekitar 15 menit. Satpam menyerahkan kartu kuning tandanya berkasku telah diterima dan aku diminta untuk kembali sebulan lagi untuk mendapatkan surat izin memimpin yang kuminta.

Sebulan kemudian, aku kembali. Tidak lupa membawa kartu kuning sebagai tanda bukti. Kemacetan di tol Cikampek sampai Karawang kembali kuhadapi. Ketika tiba di kantor dinas, penerima tamu kembali menyambut dengan ramah dan menunjukkan ruangan yang kutuju yaitu lantai 4. Di sana aku sempat kebingungan karena berbeda dengan sebelumnya ketika aku menyerahkan persyaratan.

Aku menemui seorang pegawai dan bertanya kepada siapa aku harus ambil surat yang kumaksud. Aku diantar ke meja seorang pegawai, namanya Bu Ani (bukan nama sebenarnya). Inilah kekesalanku pertama: surat yang kuinginkan tidak ada. Bahkan berkas persyaratan yang kuserahkan sebulan lalu tidak ada.

Aku tidak tahu bagaimana bisa dinas setingkat provinsi bisa melakukan hal seperti ini. Persyaratan yang kubuat dengan susah payah, katanya tercecer entah di mana. Tidak ada seorang pegawai pun di sana yang tahu. Malahan mereka saling lempar tanggung jawab hingga aku beberapa kali bolak-balik pindah meja.

Hari itu aku tidak mendapatkan surat yang harusnya sudah kumiliki. Solusinya adalah aku disuruh menyerahkan lagi persyaratan seperti sebelumnya dengan janji surat yang kuminta akan segera dikeluarkan.

Apa? Beginikah wajah birokrasi kita? Pantas saja selama ini banyak guru mengeluh tiap kali melakukan pemberkasan. Jika di tingkat provinsi seburuk ini, bagaimana dengan tingkat kabupaten?

Dua hari kemudian aku kembali menyerahkan persyaratan yang diminta. Sebenarnya aku sudah cukup kesal. Namun, karena ini menyangkut kepentingan pekerjaan, maka dengan terpaksa harus dikerjakan.

Kembali lagi ke Bandung. Seperti sebelumnya aku lapor dan mengisi buku tamu. Bedanya kali ini aku langsung tahu menuju ke ruangan mana. Aku naik lift. Saat keluar lift aku berpapasan dengan Bu Ani dan tanpa membuang waktu langsung menyampaikan maksud kedatanganku. Beliau meminta izin untuk istirahat sebentar dan aku disuruh menunggu. Kulihat jam di dinding sudah lewat jam istirahat. Tetapi karena janjinya sebentar, maka aku menunggu.

Aku menunggu selama 1 jam lebih. Itulah kekesalanku yang kedua. Aku menjadi bertanya mengapa manusia seperti itu bisa menjadi pegawai negeri? Apakah revolusi mental gagasan presiden kita hanya menjadi jargon belaka? Penilaianku pribadi, revolusi mental itu belum menyentuh ke akarnya.

Setelah menunggu lebih dari satu jam, aku akhirnya menyerahkan ulang persyaratan yang diminta. Setelah dicek dan lengkap, aku berharap surat izin yang kuminta bisa segera dicetak. Nyatanya tidak. Katanya pejabat yang menandatangani sedang keluar kota.

Aku kembali disuruh datang seminggu kemudian untuk mengambil surat tersebut. Aku kesal bukan main. Aku akhirnya menyimpulkan bahwa birokrasi kita sangat buruk. Jika sekali lagi aku mengalami ini, maka aku akan bersikap untuk melaporkannya ke ombudsman.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud menjatuhkan pihak tertentu. Hanya sekadar mencurahkan kekesalan hati menghadapi birokrat berkinerja buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun