Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pertamax Naik Salah Putin?

11 April 2022   10:52 Diperbarui: 12 April 2022   07:16 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Energi adalah mata uang dunia yang sebenarnya. Demikian pandangan seorang YouTuber merangkap ekonom yang penulis simak setengah tahun lalu, jauh sebelum perang Rusia-Ukraina dimulai dan jauh sebelum kekhawatiran mengenai harga bensin membuat masyarakat kalap memborong Pertalite di mana-mana. 

Isu mengenai energi, utamanya minyak bumi, selalu menjadi barang panas yang memicu diskursus pada berbagai lapis kelompok masyarakat. Entah itu para pakar dan politisi yang berdebat kusir di stasiun TV, para sopir angkot dan ojek online yang operasionalnya bergantung pada ketersediaan bensin di SPBU, hingga para pemilik warung makan yang harga bahan pokok dagangannya dipengaruhi oleh ongkos kirim.

Minyak bumi dalam sejarahnya dapat dipandang sebagai komoditas dengan volatilitas harga yang tinggi. Saat negara-negara Arab melakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat di tahun 1900-an, fenomena kelangkaan dan kenaikan harga bensin juga terjadi di AS sebagaimana yang terjadi di Indonesia dalam beberapa kesempatan. 

Pada periode 2020--2021, sebaliknya, harga kontrak komoditas minyak bumi justru berada pada zona negatif sebagai akibat dari persediaan yang melimpah dan permintaan yang merosot akibat kebijakan lockdown di sebagian besar negara.

Kali ini pun harga minyak kembali meroket, bahkan hingga melampaui rekor tertingginya selama setidaknya 10 tahun terakhir. Penyebabnya, menurut mayoritas pengamat, adalah perang Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok minyak bumi dari Rusia sebagai akibat dari sanksi ekonomi yang dijatuhkan negara-negara Barat kepada negara pimpinan Vladimir Putin tersebut.

Kendati exposure Indonesia terhadap ekonomi Rusia tidak sesignifikan exposure yang mendera negara-negara Eropa yang sebagian besar pasokan gas buminya berasal dari Rusia, pada akhirnya kita turut merasakan dampak perang tersebut yang tercermin dari lonjakan harga bensin di pasaran.

Uniknya dari sisi Ukraina, ekonomi Indonesia sebetulnya memiliki exposure yang tidak kecil. Kita selama ini banyak mengimpor gandum dan produk turunannya dari negara-negara seperti Ukraina. 

Hal ini yang pada awal perang memicu kekhawatiran di tengah masyarakat kita mengenai potensi kenaikan harga produk-produk olahan gandum seperti misalnya mie instan. Akan tetapi, setidaknya sampai hari ini, dampaknya belum sesignifikan kenaikan harga minyak bumi.

finance.detik.com/Rengga Sancaya
finance.detik.com/Rengga Sancaya

Kembali ke persoalan mengenai kenaikan harga bensin, khususnya Pertamax, sebetulnya tanda-tandanya sudah dapat diamati jauh sebelum dimulainya perang Rusia-Ukraina. 

Dan ya, dalam tulisan ini penulis hendak mengargumentasikan mengapa perang tersebut, setidaknya sampai pada batas tertentu, bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan meroketnya harga minyak dunia. Berikut adalah beberapa faktor penting lainnya yang harus dipertimbangkan:

1. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar AS

Setidaknya selama 5 tahun belakangan, nilai Dollar AS konsisten berada di rentang Rp. 13.000 -15.000 dengan tren yang cenderung meningkat. Nilainya bahkan sempat melonjak hingga Rp. 16.000 pada awal pandemi Covid-19. 

Nilai Rupiah yang melemah secara teori akan berdampak pada semakin mahalnya harga barang-barang yang harus diimpor menggunakan mata uang Dollar AS, termasuk di dalamnya minyak bumi yang diperdagangkan di pasar internasional dalam mata uang tersebut.

Situasi saat ini di Rusia di mana Putin baru-baru ini menggulirkan rencana penjualan hasil bumi Rusia hanya dengan mata uang Ruble memberikan peluang tersendiri bagi Indonesia untuk menciptakan alternatif sumber impor migas, selama akses terhadap Ruble tidak sulit dan Indonesia tetap dapat bersikap independen dari intervensi negara lain yang sudah melakukan embargo terhadap Rusia. 

Kendati demikian, belakangan Ruble sendiri telah mengalami penguatan nilai tukar sebagai imbas dari strategi Putin tersebut. Pasar mungkin telah merespon dengan agak berlebihan, atau mungkin juga tidak. 

Penulis sendiri di awal perang ini sempat berminat membeli mata uang ini untuk diperdagangkan. Sayangnya sulit untuk memperoleh Ruble di pasar bebas dan kini harganya yang sempat anjlok sudah pulih kembali.

2. Inflasi Amerika Serikat

Inflasi adalah peristiwa di mana nilai suatu mata uang mengalami penurunan dan menyebabkan daya belinya berkurang. Serangkaian kebijakan pemberian insentif yang dilakukan oleh Amerika Serikat sejak awal pandemi Covid-19 dalam rangka menstimulus perekonomian negara tersebut perlahan mulai menimbulkan dampak negatif yang salah satunya terlihat dari lonjakan angka inflasi pada tahun 2021.

Rangkaian kebijakan yang penulis maksud antara lain mencakup Quantitative Easing hingga Stimulus Check. Sementara yang pertama mengambil bentuk pembelian surat berharga dari pasar menggunakan uang yang dicetak oleh Bank Sentral, yang kedua mengambil bentuk pemberian Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga dan usaha rintisan yang terimbas kebijakan lockdown. 

Dengan meningkatnya pasokan Dollar AS di pasaran selama pandemi ini, inflasi menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Hal ini salah satunya menyebabkan kenaikan harga, termasuk di sektor migas. 

Biaya eksplorasi dan pengolahan migas turut terkerek naik mengikuti kenaikan komponen biaya di dalamnya seperti biaya ketenagakerjaan dan peralatan.

Maka logisnya, dengan adanya inflasi ini, menjadi lebih mahal bagi produsen, khususnya yang berada di Amerika Serikat, untuk memproduksi migas dari hari ke hari. Dengan asumsi harga per barrel minyak bumi di $ 90 - 100, maka per liter minyak bumi berada di angka Rp. 10.000 - 11.000, jauh di atas harga lama Pertamax. Ini belum termasuk biaya pengolahan dari minyak bumi ke bensin siap pakai.

3. Pasokan yang Belum Pulih

Ketika pandemi Covid-19 pertama kali terjadi di tahun 2020, terjadi pengurangan kapasitas produksi minyak bumi sebagai akibat dari berkurangnya mobilitas masyarakat. 

Yang kurang disadari oleh kalangan awam adalah bahwa pengurangan atau penambahan kapasitas produksi minyak bumi bukanlah perkara sesederhana membuka atau menutup keran air. 

Beberapa pengurangan kapasitas produksi mengambil bentuk penutupan tambang secara permanen. Konsekuensinya, ketika akan dilakukan peningkatan kapasitas produksi lagi, tambang-tambang ini tidak serta-merta dapat dibuka kembali. Perlu modal dan waktu yang tidak sedikit untuk kembali mengaktifkan tambang yang sudah ditutup ini.

Tanda-tanda masalah pasokan ini sejatinya sudah terlihat sejak 2021 ketika pom bensin swasta seperti Shell dan BP sudah mulai menaikkan harga namun SPBU Pertamina masih belum bergeming. 

Untuk bensin dengan RON 92, Shell dan BP saja sudah menjual di atas Rp. 10.000 pada 2021. Sementara untuk Pertamax baru naik belakangan ketika Pertamina sudah tidak dapat memberikan "subsidi" lebih banyak lagi untuk para pengguna Pertamax.

Ya, Pertamax, setidaknya selama setahun terakhir ini, juga adalah BBM "subsidi" sebagaimana Pertalite dan Premium, tanpa disadari banyak pihak. Kenaikan harganya adalah keniscayaan yang tinggal menunggu waktu. 

Oleh karena itu, kenaikan harganya yang cukup signifikan sekarang adalah sinyal bahwa ekonomi kita pun tidak kebal gejolak global, entah itu yang sifatnya politik maupun ekonomi.

Hingga pada saat tulisan ini dibuat, minyak bumi masih berada di level yang cukup tinggi walaupun sudah sempat terjadi penurunan harga akibat sentimen pasar atas perkembangan perang Rusia-Ukraina. Akan tetapi jauh di bawah permukaan, masalah sesungguhnya dari migas belum tertuntaskan. 

Selain minyak bumi, batubara masih berada di rentang harga yang tinggi sebagai akibat dari realita ekonomi dunia yang masih sangat bergantung kepada komoditas ini sebagai sumber energi murah dan mudah.

Gas bumi yang sebagian pasokannya datang dari Rusia juga masih berada di level yang tinggi dan ini menyebabkan tantangan tersendiri bagi negara-negara Eropa untuk menemukan pasokan alternatif selama masa perang ini.

Sementara itu, energi terbarukan juga belum mencapai bauran yang diharapkan karena ketidakandalan pasokannya untuk dapat dijangkau setiap saat. Dengan seluruh perkembangan ini, akan menjadi menarik untuk menyaksikan bagaimana energi akan memainkan peran krusial sebagai mata uang sesungguhnya dari dunia pada tahun-tahun mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun