Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi Covid-19: Langkah Awal Membangun Tubuh dan Ekonomi yang Antifragile

28 Juli 2021   15:49 Diperbarui: 28 Juli 2021   17:01 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arah Gerak Ekonomi di tengah Pandemi Sumber: https://blogs.worldbank.org/

Dunia Kontemporer di tengah Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 adalah suatu ketidakterdugaan. Meminjam ungkapan dari Nassim Taleb, ia adalah "Black Swan" yang memberikan dampak disruptif terhadap kehidupan kita. Masker dan hand sanitizer sudah setahun lebih menjadi bawaan wajib tiap bepergian keluar rumah, demikian juga dengan multivitamin dan rapid test rutin.

Tidak hanya terkait gaya hidup sehat, pandemi juga membawa perubahan drastis terhadap cara kita bekerja dan belajar, sebab dengan kondisi di mana mobilitas dibatasi, banyak pekerjaan yang harus diperantarai oleh internet. 

Work from home (WFH) dan belajar daring bukan lagi barang langka yang hanya dapat dinikmati para pekerja freelance internasional atau murid-murid kursus digital, sebab perkembangan teknologi terakselerasi oleh keterpaksaan keadaan ini.

Kita sudah cukup paham mengenai perubahan yang mengejutkan ini dan dampak positif yang menyertainya sebagai arus disruptif di tengah peradaban. 

Akan tetapi, kita juga sebagai manusia pada hakikatnya tidak menyukai keteracakan dan kemendadakan. Kita lebih menyukai titik tengah di mana kebaruan dan konvensionalitas bertemu, sebab kita selalu dapat menemukan familiaritas di tengah antusiasme dari suatu inovasi.

Sayangnya dalam situasi yang sepenuhnya baru dan acak, otak manusia yang didesain untuk hidup dengan keteraturan dan pola cenderung ingin menghindari situasi tersebut. Di sinilah kekeliruan dalam bertindak rawan terjadi.

Kondisi bahwa kejutan dalam hidup adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari seharusnya membuat kita lebih bijak dalam menanggapinya, namun seringkali kita justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak perlu, berlebihan, bahkan membahayakan. 

Para pembaca tentu masih ingat dengan momen-momen awal pandemi COVID-19, ketika masyarakat awam masih betul-betul awam dengan COVID-19 sehingga ketika ada orang yang menjadi pasien, orang tersebut justru dirundung alih-alih diberikan dukungan moral. 

Ini adalah salah satu gambaran dari tindakan yang membahayakan ketika masyarakat kita menanggapi suatu pandemi yang masih cukup baru kemunculannya dengan gegabah.

Kegegabahan ini tidak berhenti sampai di situ. Memasuki tahun kedua pandemi di Indonesia, dengan semakin melimpahnya informasi mengenai COVID-19, muncul kegegabahan lain dalam bentuk "Infodemic" yang oleh WHO didefinisikan sebagai kondisi di mana kita dibanjiri oleh informasi keliru yang kemudian menyebabkan kita mengambil langkah yang keliru pula atas dasar keyakinan yang tinggi terhadap kebenaran informasi tersebut.

Contoh dari fenomena ini dapat kita temukan di banyak tempat hari-hari ini. Ambil contoh ludesnya susu kaleng dengan merk tertentu beberapa waktu lalu yang disebabkan oleh anggapan masyarakat mengenai keampuhan susu tersebut dalam menangkal COVID-19. Ada juga contoh lain, dan ini terjadi di lingkungan sekitar penulis, di mana segelintir orang yang tidak memiliki latar belakang kepakaran medis menganjurkan ragam jenis obat, vitamin, dan metode alternatif untuk melawan COVID-19 yang bukan hanya ngawur, melainkan juga berbahaya bagi kesehatan si pendengarnya.

Infodemic juga menyerang para pemangku kepentingan ekonomi dan politik. Derasnya arus informasi tidak dibarengi dengan waktu yang memadai untuk mempertimbangkan semuanya. Tidak heran bila kebijakan penanganan COVID-19 rawan berubah dan tidak konsisten dalam pelaksanaannya (misalnya pelarangan mudik yang kemudian dibarengi dengan kasus WNA masuk ke Indonesia pada waktu yang sama, sesuatu yang jelas memicu kecemburuan sosial dan pertanyaan di benak masyarakat mengenai keseriusan pemerintah dalam menangani COVID-19). 

Serangkaian tindakan gegabah ini menciptakan situasi di mana kerap kali kita melakukan intervensi yang tidak perlu terhadap hal-hal yang sebetulnya diuntungkan dari keteracakan dan kejutan Black Swan semacam ini. 

Coba dipikir-pikir, pernahkah kita selama pandemi ini, dalam situasi serba panik dan penuh kebingungan, melakukan tindakan yang justru merusak hubungan sosial seperti misalnya menutup portal kampung atau perumahan tanpa izin dan tanpa sepengetahuan warga lain demi mencegah penularan virus? 

Atau pernahkah kita, di tengah ketidakpercayaan dengan tenaga medis akibat teori konspirasi yang kita baca atau tonton di internet, menolak memberikan pertolongan medis kepada sanak famili dan justru menyembunyikan informasi mengenai keluarga yang telah tertular sampai akhirnya satu rumah ikut tertular?

Dua hal ini, dan masih banyak intervensi konyol lainnya, justru menyebabkan situasi yang tadinya dapat terkendali menjadi di luar kendali. Di sisi lain, ketidaktahuan serta kekeliruan dalam menginterpretasikan situasi turut membuat kita menciptakan ilusi di dalam kepala mengenai kondisi dunia sekitar. Sehingga pada akhirnya, terjadi feedback loop di mana kedua hal ini saling memperkuat satu sama lain sebagaimana "lingkaran setan".

Dari sini kita dapat melihat bahwa untuk menanggulangi dampak disruptif yang dibawa oleh pandemi COVID-19, tidak cukup bagi kita untuk membekali diri dengan informasi yang melimpah, melainkan juga dengan kapasitas untuk mengelola informasi yang masuk menjadi dasar tindakan yang tepat.

Untuk hal kedua tersebut, kita perlu terlebih dahulu memahami hal-hal apa yang sebetulnya perlu untuk dilindungi dari keteracakan dan hal-hal apa yang sebetulnya perlu dibiarkan untuk menghadapi keteracakan. Hal pertama adalah apa yang disebut oleh Nassim Taleb sebagai "Fragile" dan yang kedua sebagai "Antifragile".

612-pygu-nl-610117a815251009fa262f02.jpg
612-pygu-nl-610117a815251009fa262f02.jpg
Antifragile oleh Nassim Taleb
Sumber: https://www.amazon.com/

Untuk memahami dikotomi ini,diperlukan contoh yang ekstrem. Sesuatu yang fragile sederhananya dapat diibaratkan sebagai ponsel masa kini yang ketika dibanting akan langsung pecah dan mati total. Dengan kata lain, gangguan dari luar memberikan dampak negatif bagi hal yang fragile.

Hal yang antifragile, sebaliknya, diuntungkan dari gangguan yang sama. Artinya, jika dianalogikan dengan ponsel, ponsel antifragile bukan hanya tidak rusak ketika dibanting, melainkan juga mendapatkan upgrade OS, kenaikan spesifikasi perangkat kasar, dan berlipat ganda jumlahnya dari satu menjadi banyak.

Sebetulnya dalam keseharian kita, terdapat banyak hal yang bersifat antifragile alias diuntungkan dari gangguan dan keteracakan. Ambil contoh pada saat berolahraga di gym. Apabila Anda ingin membangun masa otot dan meningkatkan kekuatan, latihan yang lebih efektif adalah dengan mengangkat beban seberat 100 kg sekali angkat ketimbang mengangkat beban seberat 10 kg sebanyak sepuluh kali angkat. 

Mengapa? Karena setelah tubuh Anda mengalami beban seberat 100 kg, ia akan menyiapkan diri untuk mengantisipasi beban yang lebih besar selanjutnya, yakni 101 kg. Dengan demikian, otot dan kekuatan Anda dapat dibangun dengan lebih efektif melalui latihan semacam ini.

Tubuh Anda dalam hal ini bersifat antifragile sampai pada batas tertentu (tentu jika bebannya beberapa kali lipat, Anda bukannya membangun masa otot dan kekuatan, melainkan mencari penyakit :D). Stressor luar berupa beban dalam hal ini baik untuk perkembangan badan Anda. Ketika stressor dikurangi atau bahkan dihilangkan, massa otot akan kembali menyusut.

Dengan memahami ciri-ciri dari sesuatu yang bersifat antifragile, kita kemudian dapat membaca situasi hari ini di tengah pandemi COVID-19 dengan lebih baik. Terdapat dua hal menarik yang bisa digarisbawahi:

Terkait Imunitas dan Kesehatan Tubuh

Kiat Meningkatkan Imun dari MIT Sumber: https://medical.mit.edu/
Kiat Meningkatkan Imun dari MIT Sumber: https://medical.mit.edu/

Di tengah situasi pandemi, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga sistem imun yang baik sudah cukup tinggi, terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan mulai dari rutin berolahraga hingga menjaga asupan makanan. Hal ini tentu merupakan kemajuan dalam pola pikir masyarakat. 

Akan tetapi yang masih kurang disadari oleh masyarakat, imunitas tidak dibangun dalam sekejap dan ia juga tidak lenyap begitu saja. Ada proses panjang di sana. Nassim Taleb memperkenalkan apa yang disebut sebagai "Lindy Effect" yang kurang lebih menyatakan bahwa masa depan dapat tercermin dari masa lalu.

Maksudnya, untuk melihat bagaimana sesuatu berjalan seiring dengan waktu, Anda perlu melihat bagaimana masa lalu membentuknya. Waktu adalah stressor paling penting dalam menentukan apakah sesuatu bersifat fragile atau antifragile. 

Tubuh yang imunnya bagus tidak hanya disebabkan oleh olahraga dan nutrisi yang belakangan saja diperhatikan, melainkan juga oleh seberapa banyak tubuh mengalami kontak dengan stressor seperti virus dan bakteri serta seberapa keras ia pernah memerangi virus dan bakteri tersebut tanpa bantuan medikasi.

Ironisnya, berobat macam-macam sudah menjadi semacam budaya dalam masyarakat kita. Pembaca hampir pasti pernah mendengar nasihat untuk mengonsumsi obat ini-itu ketika sedang sakit. Medikasi berlebih di luar kondisi darurat bukan hanya memperlemah sistem imun (karena "dimanjakan" oleh bantuan obat-obatan), melainkan juga memperkuat virus dan bakteri penyebab penyakit di saat bersamaan.

Lho kok bisa? Jangan lupa, obat-obatan ini tidak hanya menjadi senjata tubuh, melainkan juga stressor bagi virus dan bakteri di saat bersamaan. Keduanya bermutasi dan menjadi lebih resisten terhadap obat-obatan yang sama ke depannya sehingga bukan tidak mungkin suatu saat obat yang sama tidak lagi ampuh.

Tendensi untuk "berobat" setiap kali sakit menunjukkan pula bahwa masyarakat kita lebih mengedepankan praktikalitas dalam menangani masalah. Yang berbahaya dari tendensi ini adalah bahwa kelompok ini kerap, tanpa sadar, rela mengejar keuntungan kecil yang sesaat sembari di saat bersamaan membuka diri terhadap kemungkinan buruk yang dampaknya masih belum diketahui. 

Yang terburuk saat ini belum tentu titik terendah yang mungkin bisa kita alami. Jangan lupa bahwa black swan selalu mengintai dan menunggu momen untuk kembali hadir dalam hidup kita.

Yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan badan yang memiliki tingkat imunitas yang baik. Hal ini, sekali lagi, tidak instan, namun begitu ia terbentuk, ia juga tidak mudah hilang hanya karena kondisi sesaat.

Dengan demikian, apabila pandemi kali ini ada hikmahnya, salah satunya adalah bahwa selepas masa krisis ini kita harus mengubah pandangan kita mengenai medikasi dan dikotomi gaya hidup bersih-kotor. Kita perlu memberanikan diri untuk tidak bergantung dengan obat-obatan setiap kali sakit, sadar mengenai pola asupan yang baik, serta menyempatkan diri terhadap aktivitas luar ruangan. Imunitas tubuh manusia, sekali lagi, dibangun oleh waktu.

Terkait Ekonomi dan Bisnis

Arah Gerak Ekonomi di tengah Pandemi Sumber: https://blogs.worldbank.org/
Arah Gerak Ekonomi di tengah Pandemi Sumber: https://blogs.worldbank.org/

Dampak pandemi terhadap roda ekonomi dan aktivitas bisnis tidaklah merata pada setiap pelaku pasar. Untuk beberapa pihak, pandemi adalah malapetaka karena aktivitas bisnis mereka bergantung pada dimungkinkannya mobilitas masyarakat yang tinggi. Ambil contoh misalnya mall dan restoran yang terpaksa membatasi aktivitas bisnisnya dan tunduk patuh terhadap kebijakan pembatasan sosial. Keduanya, dengan kata lain, fragile terhadap pandemi.

Untuk sebagian lainnya, pandemi tidak ada dampaknya. Usaha-usaha seperti pertanian dan peternakan kurang-lebih masih beraktivitas seperti biasa karena permintaan atas bahan pangan selalu ada, terlepas dari apakah kita sedang berada di kantor atau rumah masing-masing. Kelompok ini adalah yang robust terhadap pandemi.

Terakhir, ada usaha-usaha yang justru diuntungkan dari pandemi seperti logistik dan penyedia transportasi daring. Dengan terbatasnya mobilitas, permintaan pada kedua usaha ini sedang tumbuh pesat dan kadang hal ini terlihat pada capaian keuangan mereka.

Dengan adanya pandemi, hikmah yang bisa kita petik darinya bukan mengenai bagaimana semua perusahaan harus bisa memiliki unit bisnis yang diuntungkan dari situasi sejenis (misalnya kita berasumsi semua perusahaan harus punya unit usaha logistik). Kendati strategi ini bagus dari sudut pandang diversifikasi, hal ini bukanlah yang utama.

Yang utama justru lebih kepada bagaimana dunia bisnis mampu menyadur model-model bisnis mana yang usang dan tidak lagi efektif. Misalnya, dengan adanya pandemi restoran dapat melihat bahwa layanan pesan-antar memiliki potensi yang besar untuk digali sehingga akhirnya model bisnis restoran dapat dimodifikasi untuk mengakomodir perubahan paradigma ini. Perubahan ini juga bermanfaat bagi pemilik modal restoran dalam hal mengatur ulang alokasi modalnya.

Sayangnya, sebagian birokrat tidak justru memandang pandemi dengan mengedepankan intervensi yang tidak perlu terhadap ekonomi. Misalnya, Amerika Serikat yang memberikan stimulus pinjaman bagi beberapa perusahaan, sebagian berakhir dengan kasus manipulasi. Akibatnya, perusahaan menjadi "manja" dalam menangani masalah, mirip seperti bagaimana tubuh menjadi "manja" dalam melawan penyakit akibat keberadaan obat.

Di Indonesia, hal yang mirip juga terjadi ketika pemerintah memberi begitu banyak insentif mulai dari pajak sampai subsidi gaji. Situasi ini, kendati dalam jangka pendek menjadi bantalan agar krisis tidak berdampak parah terhadap daya beli masyarakat, dalam jangka panjang hanya akan melemahkan kemampuan ekonomi real masyarakat.

Situasi ini sudah terjadi sebetulnya di Amerika Serikat di mana negara tersebut saat ini mengalami kekurangan suplai tenaga kerja kasar. Para tenaga kerja lebih menyukai stimulus bulanan ratusan dollar ketimbang harus bekerja. Perusahaan di sana sampai harus memberikan bonus tertentu hanya supaya para kandidat mau datang melamar.

Yang harus kita ingat, dalam ekonomi tidak ada yang gratis. Selalu ada efek sampingan lapis dua, tiga, empat, dan seterusnya yang harus dipertimbangkan. Ketika stimulus secara royal ditebar oleh pemerintah, terlepas dari ada atau tidaknya kepentingan elektoral, pasti ada harga yang harus kita bayar bersama ke depannya. Dan ini terbukti dengan bertambahnya utang pemerintah selama masa pandemi secara signifikan demi membiayai stimulus dan subsidi yang sedang berjalan, sesuatu yang ke depannya harus dibayar kembali dengan beberapa persen bunga menyertainya.

Final Thought

Buku The Black Swan oleh Nassim Taleb Sumber: https://en.wikipedia.org/
Buku The Black Swan oleh Nassim Taleb Sumber: https://en.wikipedia.org/

Pandemi sebagai black swan event membuka mata kita terhadap seberapa rentannya masyarakat, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi, ketika muncul suatu stressor yang bersifat disruptif.

Perlu ada kesadaran dari kita untuk berubah, namun bukan dalam rangka semakin mengisolasi diri dari stressor di masa depan. Sebaliknya, dengan menyadari bahwa tubuh dan ekonomi memiliki potensi antifragile terhadap beberapa stressor, kita dapat dengan lebih bijak mempersiapkan keduanya untuk menghadapi stressor disruptif selanjutnya di masa depan.

Terlepas dari seberapa parahnya media menggambarkan kondisi pandemi saat ini, entah dengan krisis ekonomi yang menyertainya maupun dengan varian virus yang semakin mematikan, ada alasan untuk optimisme. Jika kita perhatikan, baru pada pandemi kali inilah dunia mampu bersinergi lewat riset-riset bersama. Hasilnya, memasuki tahun kedua pandemi, vaksinasi sudah dapat dijalankan dan membuat sebagian negara mampu hidup berdampingan dengan COVID-19 sebagai endemi alih-alih pandemi.

Pada bidang ekonomi dan bisnis, kendati ekonomi terkontraksi dalam dan terjadi koreksi dalam di pasar modal, nyatanya pelaku ekonomi dan bisnis dapat dengan mudah beradaptasi dan menyesuaikan tindakannya dengan situasi. Dengan semakin banyaknya masalah ekonomi yang pernah kita alami, kita memiliki sumber daya yang semakin memadai pula untuk belajar.

Semoga pandemi COVID-19 bukan hanya berujung pada new normal dari segi gaya hidup, melainkan juga perkembangan pada cara pikir kita dalam memandang masalah yang bersifat disruptif. Sekian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun