Hal ini pula yang kemudian menginspirasi munculnya bisnis reasuransi yang memungkinkan perusahaan asuransi mengasuransikan polis yang telah dibeli nasabahnya kepada perusahaan asuransi lain. Dengan cara demikian, sebagian beban klaim yang berpotensi terjadi di masa depan dapat dipindahkan kepada pihak lain.
Akan tetapi, bisnis asuransi tentu tidak senantiasa nampak sempurna dari segala sisi. Salah satu tantangan dari perusahaan asuransi adalah mengenai bagaimana mereka mengelola pendapatan yang mereka peroleh dari premi di muka.
Premi yang diterima ini lazim disebut sebagai “float” dalam dunia asuransi. Bagi perusahaan asuransi, float memiliki posisi unik tersendiri. Float belum dapat serta-merta dikatakan sebagai aset milik perusahaan. Kendati demikian, perusahaan berhak menginvestasikan float tersebut agar memperoleh imbal hasil, misalnya dengan membeli saham, obligasi, atau reksadana yang dipandang mampu mengalami apresiasi harga di masa depan.
Itu mengapa jika Anda mempelajari laporan keuangan dari perusahaan asuransi, Anda akan selalu menjumpai bagian aset berupa investasi yang sangat besar nilainya dengan komponen yang sangat bervariasi jenisnya.
Misalnya saja dalam laporan keuangan 2019, PT Paninvest Tbk., anak usaha dari Panin Group di bidang asuransi, memiliki komponen investasi sebesar 25% dari total asetnya yang berjumlah Rp. 30 triliun lebih. Demikian juga dengan PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia yang memiliki Rp. 8 triliun aset investasi dari keseluruhan aset sebesar Rp. 20 triliun.
Pertanyaannya kemudian, mengapa perlu dibuat pengaturan semacam ini? Jawaban sederhananya adalah karena model bisnis asuransi secara alamiah akan menyebabkan kerugian kepada perusahaan asuransi apabila perusahaan tersebut hanya mengandalkan uang yang dihimpun dari premi untuk menutupi klaim.
Memang benar bahwa perusahaan asuransi memiliki kalkulasinya tersendiri pada saat menetapkan premi. Misalnya saja dalam bisnis asuransi kesehatan, faktor seperti riwayat penyakit, usia, jenis kelamin, dan seterusnya mempengaruhi berapa premi yang harus nasabah bayarkan.
Akan tetapi kalkulasi tersebut juga didasari pertimbangan mengenai ekspektasi imbal hasil investasi yang dapat perusahaan peroleh ketika uang premi diinvestasikan. Tanpa pertimbangan tersebut, boleh jadi meskipun premi akan menjadi lebih besar nilainya, perusahaan asuransi akan tetap mengalami kerugian.
Ini dikarenakan adanya kemungkinan terjadi fenomena-fenomena langka seperti “black swan” yang sebelumnya tidak diketahui dan diperkirakan probabilitasnya sehingga ketika terjadi menghasilkan dampak signifikan terhadap perusahaan.
Dari sinilah kemudian bisnis asuransi dimodelkan sedemikian rupa sehingga perusahaan dapat memastikan seluruh klaim dapat terbayar tanpa menyebabkan perusahaan mengalami kerugian besar.
Oleh karena cara perusahaan asuransi menginvestasikan premi yang diperolehnya menjadi salah satu faktor krusial di sini, kita tentu membayangkan bahwa pihak perusahaan akan berhati-hati dalam bertindak. Sayangnya, sebagaimana dapat Anda ketahui dari judul dan sebagaimana pula dapat Anda bayangkan sembari terkekeh dalam hati, kenyataannya tidak senantiasa berjalan demikian.