Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dollar Cost Averaging, Ketika Investor "Amatir" Mengalahkan Profesional

9 Oktober 2020   12:42 Diperbarui: 10 Oktober 2020   09:28 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya dibutuhkan indikator. Salah satu indikator yang cukup sederhana dan andal adalah dengan membandingkan performa reksadana itu sendiri dengan kinerja bursa.

Sebagai salah seorang investor ritel, penulis kerap melakukan perbandingan rutin mengenai hal ini untuk mengetahui bagaimana posisi penulis sebagai seorang investor ritel jika disandingkan dengan performa para profesional yang mengelola reksadana saham. 

Catatan penulis pada tanggal 8 Oktober 2020 memberikan kesimpulan yang berlawanan dengan anggapan umum:

Kinerja IHSG vs Berbagai Produk Reksadana Saham Sepanjang 2020 hingga 8 Oktober 2020 (Sumber data: Indopremier Sekuritas):

  1. IHSG: -20,01%
  2. Schroder Dana Prestasi (SCRS1): -17,73%
  3. Schroder Dana Prestasi Plus (SCRS2): -17,79%
  4. Bahana Dana Prima (BARS2): -20,59%
  5. Batavia Dana Saham (BTRS1): -20,7%
  6. Ashmore Dana Ekuitas Nusantara (AHRS1): -22,24%
  7. Manulife Saham Andalan (MNRS10): -22,36%
  8. Mandiri Saham Atraktif (MARS22): -23,03%
  9. Manulife Dana Saham (MNRS2): -23,39%

Data ini, kendati bersifat jangka pendek, menggambarkan bagaimana produk reksadana unggulan dari sejumlah manajemen investasi papan atas sekalipun mengalami kesulitan untuk menjaga performanya lebih baik dibanding indeks. 

Tentu kita dapat berdalih bahwa situasi saat ini adalah anomali, dan bahwa secara jangka panjang sebagian investor lebih baik tetap berinvestasi di reksadana ketimbang saham.

Pernyataan ini ada benarnya. Berinvestasi di pasar saham sebagai investor ritel memiliki tantangannya tersendiri, mulai dari sisi kapasitas kognitif dalam melakukan analisis, hingga kapasitas emosional untuk menahan diri dari perilaku impulsif seperti membeli ketika harga sedang menanjak dan menjual ketika harga terjun bebas.

Lagipula, tujuan berinvestasi pada akhirnya adalah tentang menumbuhkan uang untuk dinikmati belakangan, bukan untuk memuaskan ego pribadi yang ingin selalu lebih unggul dibanding pihak lain. 

Itu sebabnya kendati reksadana saham terlihat tidak lebih baik performanya dibanding indeks, penulis tetap akan menyarankan sebagian kalangan menjauhi saham dan berinvestasi di instrumen yang lebih sedikit fluktuasinya seperti reksadana, emas, dan sebagainya. 

Kendati demikian, bagi para investor ritel yang tetap ingin menjaga independensinya dalam memilih saham namun ragu apakah dirinya dapat menghasilkan imbal hasil yang lebih baik ketimbang para profesional dari institusi, penulis memiliki beberapa masukan yang dikutip dari Peter Lynch, salah seorang investor legendaris dunia yang penulis rangkum dalam beberapa poin sebagai berikut:

Pertama, investor "amatir" tidak perlu meniru cara kerja para profesional
Dengan perbedaan di antara keduanya seperti yang disinggung di atas, menjadi jelas bahwa perlu ada perbedaan cara berinvestasi pula antara investor ritel "amatir" dengan kalangan institusi profesional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun