Mohon tunggu...
dewan -
dewan - Mohon Tunggu... -

Tinggal di Medan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Seandainya SBY Bisa Marah

20 Agustus 2010   17:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:51 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seandainya SBY Bisa Marah

Dewan

Bukan meragukan kemampuan SBY untuk marah apalagi dengan latar belakang militer. Bukan pula berasumsi bahwa latar belakang militer determinan terhadap temperamen seseorang. Ini hanyalah keyakinan bahwa didikan tertentu sangat efektif membentuk karakter, mental serta intelijensia di atas rata-rata. Bukan meragukan adanya kemarahan SBY terhadap kekurang ajaran Malaysia terhadap kedaulatan Indonesia. Hanya untuk melihat seberapa jauh perbedaan kadar kemarahan seorang Presiden dengan seorang saya. Bagaimana mengendalikan kemarahan. Bagaimana kemarahan bisa dimanipulasi dalam bingkai kesantunan dan ketenangan bersikap. Bagaimana memetakan setiap pemicu kemarahan dengan pilihan sikap sehingga dapat diketahui seberapa besar reaksi yang diperlukan untuknya.

Orang sering menegasikan kemarahan dengan kesenangan. Pertanyaannya, apakah kemunculan kemarahan tergantung kepada besar dan kecilnya kesenangan yang terusik. Disini, kesenangan saya sama artikan sebagai kecintaan, kepada negeri misalnya. Jika ada yang mencoba membedakan antara kesenangan dan kecintaan pada wilayah yang benar-benar jauh, mungkin demi kebaikan dan selesainya tulisan ini, bisa ditunda dulu. Seperti kemarahan dapat ditempatkan dalam satu kotak bersama kebencian, kemuakan, dll. Tetapi, bukankah keduanya mengekspresikan sesuatu?

Masud saya, tertawa dan senyuman bukanlah cara yang bijak untuk mengekspresikan kemarahan. Begitu juga bermacam-macam kutukan dan makian tidaklah tepat untuk menunjukkan kesenangannya. Kecuali saat itu orang tersebut sedang terganggu jiwanya atau berlebih-lebihan ketika mendapatkan sesuatu. Atau mungkin saja ketika hatinya merasa senang atau marah, tubuhnya tidak mampu menerjemahkannya dengan benar akhirnya ekspresi yang muncul tidak sesuai dengan penyebabnya. Inilah yang saya anggap sebagai keganjilan ekspresi, kegagalan ekspresi, uncontrolled result, tidak baik-tidak benar-tidak perlu. Yang baik, yang benar dan yang perlu adalah, berekspresilah secara rasional dan terkendali.

Seandainya kemarahan saya juga menjadi kemarahan orang lain, semestinya ada kemungkinan kemarahan ini milik seorang SBY. Seorang Pramoedya Ananta Toer tidak mesti merasa terbakar sendirian, karena menurut seorang Hasyim Wahid, burung Garuda terbakar di dada seorang Rendra. Seandainya kemarahan saya terhadap penghinaan tidaklah beralasan bukankah orang lain sangat mengerti tentang sebuah penghinaan dan karena itulah saya dan orang lain sama? Seandainya saya memiliki ekspresi kemarahan yang benar-benar rasional dan terkendali (semampu saya) bukankah saya pantas mengharapkan orang lain mampu menunjukkan kemarahannya dengan cara yang jauh lebih cerdas?

Saya sudah mendobrak meja dan mengucapkan beberapa makian terhadap Malaysia, bukankah orang lain juga mampu melakukan hal yang sama dan sangat tidak tertutup kemungkinan melakukan hal lainnya dengan lebih efektif? Dalam salah satu khotbahnya Malcolm X meyakinkan audiensnya tentang kemestian melakukan dan memberi sekecil apapun : "By any means necessary!!".

Saya sudah berteriak dalam diskusi emosional, "Dia harus diganti!! M.N harus diganti!! Tak ada gunanya punya pemimpin b****ong!! Boleh saja ahli matematika berhitung kekuatan militer kita tidak ada apa-apanya dibanding Malaysia, dan sangat banyak biaya harus keluar untuk sebuah keputusan penting, saya bertanya, untuk manusia semacam kita, apa tindakan paling masuk akal dan tepat jika pencuri yang mengaku saudara serumpun meludahi ubun-ubun kita lalu tanpa pernah minta maaf sedikitpun kita harus bersantun dengan lebih rendah dari penundukan yang tidak perlu? Tulang punggung negeri ini terlalu tegak untuk tunduk. Sayangnya tulang punggung seperti itu tidak dimiliki oleh elit. Tulang punggung yang terlalu tegak untuk tunduk itu hanya dimiliki oleh mereka yang tidak memiliki secuilpun kefasihan menjilat!! Meskipun setiap harinya harus ikhlas mengakui kelihaian para elit menutupi rasa takut lewat ‘jalan damai'. "

Sambil gondok saya berteriak lagi "..kenapa kemarahan yang membakar ini tidak memercik sedikitpun di dada para elit. Kenapa harus terbakar di satu sisi dan sisi lainnya tidak? Apakah para elit masih mewakili sisi yang terbakar ataukah para elit tidak pernah sekalipun punya apapun kecuali kepandaian untuk bersembunyi dari musuh tanpa melakukan perlawanan sama sekali? Oh.. penguasa!!! Oh.. penguasa!! Sadarlah, untuk saat ini, negosiasi, diplomasi atau apalah sejenisnya hanyalah proses memperpanjang lidah untuk menjilat sepatu para pencuri yang culas. Hitunglah berapa juta orang-orang kita di rumah mereka yang pandai merampas setrika dari tangan mereka? Mereka pasti bisa melakukan sesuatu yang lebih mematikan dari pada sebatang bambo runcing. Ya, kenapa? Karena toh, senjata, pesawat tempur, tank, intelijen perang tidak akan turun karena pemimpin tidaklah terbakar seperti kita " dan yang lain menyahuti dengan lebih bertaji, "..tarik dan tutup kantor kedutaan kita di Malaysia dan usir perwakilan mereka dari Jakarta!! Kita sudah harus siap wajib militer!! Kita siapkan diri dengan peralatan apapun, karena ini bukan lagi persoalan berapa dan bagaimana kecanggihan peralatan militer, ini tentang mental dan karakter manusia Indonesia sejati yang tidak punya sedikitpun rasa takut untuk membela harga diri, martabat dan kedaulatan bangsa."

Jika pengandaian SBY bisa marah seperti marahnya saya, tentu saja meja yang didobraknya dapat mengembalikan martabat dan harga diri bangsa ini. Tentu saja dobrakannya tidaklah sama persis dengan yang saya lakukan, karena seorang saya hanyalah riak yang mencoba menggeliat di kubangan para pemalas yang bahkan tidak hafal lagu Indonesia Raya dan mencemooh nasionalisme ketika berteriak tentang kerakyatan dan keadilan.

Idenya adalah seorang saya bisa menjadi riak -yang biarpun kecil dan keberadaannya tergantung pada berhembusmnya angin di atas permukaan air- yang tetap bangga menjadi orang Indonesia dan tidak akan jatuh malu meskipun orang menyoal kebobrokan dan kelemahannya.[1] Aku cinta Indonesia.

Siapapun yang malu dengan keindonesiaannya ataupun dengan seloroh enggan mengakui keindonesiaannya karena hal-hal yang tidak jelas, saya tetap menghargai meskipun dengan penyesalan yang sangat. Siapapun mereka tidak perlu mengajukan permohonan suaka ke negara lain karena setiap orang pasti bertanya mereka dari mana dan apa yang akan mereka jawab? Mungkinkah mereka mengatakan dari Indonesia? Lucu kan?

Saya hanya khawatir tentang kemampuan mereka untuk melakukannya dan mempertanyakan identitas mereka selama ini beserta keluarga mereka yang sudah meminum air dari bumi Indonesia, menghirup udara segar dari oksigen yang melimpahi hutan negeri ini, meemakan protein hewani yang berkeliaran di daratan dan lautan sebagai anugerah atas negeri ini. Kukatakan, tak akan kuingkari asal-usulku. Dari sinilah saya mengerti makna sebuah kecintaan, kehormatan, harga diri, martabat sebuah bangsa dan belajar bebas tentang apa saja karena pendiri negara ini dulu serius memperjuangkannya.[2] Dari sini pulalah, saya mendapatkan alasan untuk sebuah kemarahan yang tidak mungkin dapat dibantah.

Kecintaan dan kemarahan adalah ekspresif, terlihat jelas, nyata, tidak ada kompromi, tegas, bukan bayangan yang tidak dapat diraba dan meragukan. Saya ingat bahwa Tan Malaka pernah menulis dalam bukunya, Massa Aksi "Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah".

Benar bahwa saya bukan meragukan SBY bisa marah, saya hanya mulai kehilangan keyakinan untuk itu. Seandainya SBY bisa marah, dengan pertimbangan yang bagaimana kah?

[1] Negeri Yang Tetap Kucintai, Fachrurrazy "rajidt" Ch Malley

[2] Tak mau Kuingkari Asal-Usulku, Fachrurrazy "rajidt" Ch Malley

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun