"Tetap saja kita harus segera pergi, sayang!" Suami meninggalakan istri tuk pergi mengemasi barang.
Kontrakan seminggu lagi akan di jual pemilik. Kemana mereka harus menyandarkan seluruh tubuhnya. Kembali ke Tenggara juga bukan itikad baik bila mau. Tetapi tetap saja manusiawi mereka manusia.
"Ayo kita berangkat." Si suami mengajak.
"Kemana tujuan kita berikutnya, sayang?" keluh sang istri menutup mukanya dengan kedua belah tangan. "Aku lelah jika harus hidup menggelandang lagi," tambahnya.
Kaki sudah merintih dan nafas setengah mati. Mereka tanpa sadar terlelap di bangunan rungsep tak berpunya. Kemelaratan yang di romantisir masih saja mereka nikmati walau di atas tikar. Saling jaga saling menghangatkan.
Gerak-gerik hidup mereka menumbuhkan rasa empati pada umat manusia di sekeliling. Kepala sipir penjara yang tinggal di depan mereka memberikan suami istri itu pekerjaan. Suami berkebun dan istri mengurus dapur.
Dengan gaji kerja selama tujuh tahun, perlahan-lahan mereka menata rumah yang nyaris roboh itu. Pertama-pertama fondasinya, berikutnya atap dan dinding. Rumah semakin layak untuk ditinggali saat dicat dengan warna abu-abu. Hiasan bunga petrea semakin melengkapi. Perpaduan antara warna ungu lembut dengan daunnya yang kaku berwarna hijau gelap menambah kesan inderawi awam.
"Tuan rumah memberikan bunga petrea sewaktu aku berkebun. Dia orang baik. Dimana kita harus menaruhnya?" Tanya suami.
"Tanaman rambat itu harus diletakkan menggantung, sayang!" Kau itu!
Mereka akan tinggal dalam waktu yang cukup lama di ruangan sempit---di rumah yang tak berpunya sebelum tekanan hidup akan datang lagi di hidup mereka nanti, yakni pemilik rumah yang sah.