Beberapa hari kemarin, sempat muncul di beranda twitter saya film Don't Look Up. Postingannya direpost oleh salah aktivis lingkungan. Terlintas di benak bahwa saya harus menonton film tersebut, namun karena kesibukan kuliah, saya memutuskan untuk menontonnya di kemudian hari.Â
Di tengah-tengah perjalanan menuju libur akhir tahun, saya disarankan oleh salah satu teman GMNI---saya menyebutnya karena memang film ini bagaikan sebuah oasis bagi  anggota organisasi tersebut---untuk menonton film Don't Look Up. Rencana awal yang mana saya menaruh prioritas menonton film tersebut di akhir berubah. Saya kemudian menata ulang jadwal-jadwal saya dan menyempatkan dengan segera untuk menonton.
Film ini tidak menjelaskan secara teoretis-ekonomik atas punahnya manusia, namun secara langsung memiliki alur cerita yang frontal dengan adanya suatu kegentingan yang prioritasnya terkalahkan oleh kepentingan politik dan bisnis semata yang mana hal itu menyebabkan kiamat secara langsung.
Pembuka untuk penjelasan film Don't Look Up adalah bahwa kapitalisme adalah, secara awam, merupakan keegoisan---bukan lagi kekikiran dan sebuah kerusakan metabolisme-natural yang seperti Marx jelaskan pada Kapital 1---yang dapat menyebabkan kehancuran bagi seluruh umat manusia, termasuk si kapitalis itu sendiri. Â
Berikut di bawah adalah sinopsis singkat tentang film dan sebagai landasan analisis.
Sinopsis:
Dalam tujuan untuk mendapat gelar doktor, seorang mahasiswa astronomi mengamati segenap langit berhadap akan menemukan benda langit yang sebelumnya belum ditemukan.Â
Mahasiswa tersebutpun kemudian menemukan sebuah komet yang tertangkap kamera satelit. Seisi kelas pun ikut senang atas penemuan tersebut.Â
Dosen dan para mahasiswa pun kemudian menghitung jarak komet awal ketika terpotret oleh satelit sampai dengan jarak terdekat dengan bumi saat nanti komet akan melintas dekat bumi. Namun, orang-orang di kelas itu pun sangat terkejut ketika mendapatkan bahwa perhitungan jarak komet yang akan melintas dekat bumi terus mengecil dan menuju nol, yang artinya komet akan menabrak bumi.
Sebagai saintis yang memiliki kesadaran penuh atas fakta-fakta penelitian, dosen dan mahasiswa penemu komet sangat amat cemas, keringat dingin, dan bingung apa yang harus dilakukan.Â
Waktu menuju tabrakan adalah 6 bulan. Tak tahu harus mengatakannya kepada siapa, mereka kemudian mengatakannya pada seorang astronom NASA yang memiliki koneksi ke pemerintah.Â
Astronom NASA tersebut pun yang juga sangat terkejut dengan kabar tersebut  langsung memberi tahu kepada pemerintah pusat presiden dan menyarankan dosen dan mahasiswa tadi berangkat ke White House untuk membeberkan kepada presiden mengenai pentingnya penemuan itu.
Sesampai di istana presiden, dosen dan mahasiswa pun langsung menjelaskan bagaimana kegentingan yang terjadi. Namun, betapa geramnya mereka ketika orang-orang yang berwenang dalam ruangan presiden, terutama presiden itu sendiri, tidak terkejut sama sekali dengan sedikit cengar-cengir dan malah memprioritaskan pembahasan kampanye pemilihannya untuk periode selanjutnya. Mereka tetap berusaha untuk meyakinkan para orang-orang dalam ruangan presiden karena orang-orang tersebut benar-benar meremehkan kegentingan ini.Â
Tak berubah sikap atas usaha dosen dan mahasiswa meyakinkan, mereka pun kemudian kesal dan memilih untuk keluar ruangan dan berencana untuk memberitahu publik atas kegentingan yang sedang terjadi---mereka tak memberi tahu langsung publik karena khawatir akan terjadi 'ketidakstabilan sosial'.
Dosen dan mahasiswa yang diremehkan kabarnya oleh para petinggi negara kemudian berpuaya tampil di salah satu acara televise ternama untuk memberi tahu publik bahwa pada saat itu umat manusia terancam kepunahan oleh tabrakan komet.
Namun sekali lagi, host acara tersebut juga memiliki sikap yang sama dengan presiden tetapi tidak meremehkan, lebih kepada untuk membawa konversasi secara 'konsumtif-santai'.Â
Lagi-lagi, dosen dan mahasiswa itu, geram dan mahasiswa tersebut spontan mengatakannya secara lantang bahwa saat itu situasi sedang genting di acara televisi yang sedang ditonton ribuan orang.Â
Setelah itu, publik bukannya ikut merasakan kegentingan yang dirasakan astronom, malah membuat meme tentang ke-alay-an dosen dan mahasiswa yang mencemaskan sesuatu yang hoaks. Tetapi, justru disinilah titik tolak sikap pemerintah berubah.
Viralnya perkataan spontan mahasiswi tadi mengakibatkan sosial media dipenuhi berita tentang tabrakan komet membuat pemerintah perlu menyelediki lebih lanjut tentang kebenaran informasi komet tersebut.Â
Untuk sementara waktu, mahasiswa astronomi tadi ditangkap oleh FBI untuk disembunyikan dan dirahasiakan identitasnya agar kegaduhan viralnya meme di sosial media dapat mereda---ini mungkin berkolerasi dengan kampanye presiden.
 Selesainya pemerintah meneliti kebenaran informasi tersebut, dosen dan mahasiswa pun kemudian diundang lagi ke istana presiden untuk dimintai usulan dan solusi. Akhirnya, pemerintah pun menyepakati usulan dosen dan mahasiswa itu dan mulai merencanakan sebuah proyek roket nuklir untuk meledakkan komet tersebut sebelum menghantam bumi.
Pada saat eksekusi rencana, semua berjalan lancar hingga roket pun meluncur menuju komet. Namun, seketika jalannya rencana itu batal, dan roket pun berbalik arah kembali, ketika seorang pengusaha di bidang perangat teknologi informasi dan komunikasi (handphone) masuk ke ruang kendali roket dan meminta presiden untuk keluar sejenak.Â
Ternyata, pengusaha tersebut meminta presiden untuk membatalkan pengancuran komet dengan roket dengan alasan bahwa komet itu memiliki sumber daya melimpah yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan perangkat keras dan memiliki nilai profit dari pengelolaan komet tersebut.Â
Lantas pengusaha itu menawarkan kepada presiden dan jajarannya sebuah rencana lain yang mana bukan untuk mencegah hancurnya bumi atas tabrakan komet dengan menhancurkannya dan tidak membiarkan setitik debu pun menyentuh bumi, justru membiarkan komet menghantam bumi dengan memecahnya menjadi 30 bagian dan memperlambat kecepatannya menuju bumi dengan suatu drone canggih dimiliki oleh pengusaha itu.
Namun, apa daya rencana pengusaha itu gagal karena beberapa drone-drone yang hendak meledakkan dan memperlambat laju komet hancur terhantap bebatuan di sekeliling komet. Akhirnya, komet pun menghantam bumi dengan tetap utuh dan memusnahkan seluruh kehidupan di bumi.
Pembahasan:
Dari sini mungkin pembaca sudah dapat menangkap pesan yang disampaikan. Penyebab utama hancunya bumi bukanlah ketidakmampuan umat manusia untuk mencegah hal itu terjadi, tetapi justru dari sisi internal manusia itu sendiri, yang secara valid tidak mau mencegah hal itu terjadi. Terdapat beberap poin yang dapat diuraikan dan dianalisis, sumber dari bencana yang dahsyat itu serta bagaimana sumber itu memainkan peran jahatnya.
Pertama, adalah pemerintah yang tak patuh terhadap sains atau mengabaikan para ilmuwan. Hal ini menjadi semakin riuh ketika bahkan petahana hanya menggunakan negara dan birokrasi untuk melanggengkan kekuasaan politiknya, bukan lagi sebagai organisasi yang hadir untuk menampung seluruh anggotanya.Â
Kurangnya entusias pemerintah terhadap ilmu pengetahuan jelas akan membuat negara mundur dalam berbagai bidang. Pemerintah yang apatis terhadap sains dan acuh terhadap saran-saran para ilmuwan sudah pasti bukanlah pemerintah yang ideal. Lalu bagaimana hal tersebut dapat memicu bencana seperti yang disebutkan di film?Â
Dengan pemerintah secara frontal tidak terkejut dengan penemuan-penemuan ilmuwan yang dapat mengancam keberlangsungan, minimal, kehidupan negaranya sendiri, maka otomatis langkah-langkah yang diambil pun tidak akan merespon terhadap ancaman itu sendiri.Â
Ketika tidak ada respon serius dari pemerintah, maka kebijakan yang diambil pun tidak akan merujuk pada masalah yang hendak muncul maupun yang ada. Ketika kebijakan yang diambil tidak responsif terhadap masalah, maka masalah itu akan tetap ada dan mengganggu kehidupan sosial warga negara dan menjadi boomerang bagi negara itu sendiri.Â
Teori-teori kebijakan publik, betapapun berbedanya satu diantara yang lain, dalam agenda setting, pasti berangkat dari analisis kondisi material masalah yang dihadapi dan hendak diselesaikan dan berakhir pada analisis probabilitas solusi yang kemudian dari sekian kemungkinan diambil yang paling solutif, efektif serta efisien. Pemahamannya sangat mudah, bahwa negara harus berangkat dari kondisi masyarakatnya, bukan hal lain selain itu, terutama dalam membuat kebijakan publik.
Kedua adalah praktik kapitalisme. Praktik kapitalisme yang hanya berorientasi pada profit, dan menggunakan profit itu untuk menghasilkan profit lagi hingga seterusnya, akan selalu membutuhkan sumber daya untuk dieksploitasi. Mengapa saya sebut demikian?Â
Karena rumus kapitalisme adalah sebagai berikut: U-B-U (Uang-Barang-Uang). Jika seharusnya manusia membutuhkan barang sesuai kebutuhannya, maka rumusnya adalah: B-U-B (Barang-Uang-Barang), manusia bekerja membuat barang yang dibutuhkan di pasar, kemudian dijualnya barang tersebut untuk mendapat uang, dan digunakannya uang itu untuk membeli barang yang dibutuhkan.Â
Pergerakan komiditi itu berakhir pada sebuah komiditi. Tetapi, dalam rumus kapitalisme, U-B-U, pergerakan tidak berakhir pada barang kebutuhan, namun memang tidak ada akhirnya. Rumus itu menunjukkan bahwa memang kapitalisme adalah perilaku eksploitatif yang tiada hentinya, karena dalam rumusnya sendiri pun tidak ada batas akhir pergerakan.Â
Dalam film Don't Look Up, praktik kapitalisme pengusaha yang memanggil presiden meminta untuk dibatalkan misi penghancuran komet adalah mencoba memanfaatkan sumber daya mineral yang terdapat dalam komet untuk keperluan pengembangan modal, karena pada saat itu sumber daya mineral di bumi untuk produksi perusahaan sudah mulai terbatas, dengan membiarkannya jatuh ke bumi untuk kemudian dikelola, meskipun si kapitalis itu sendiri mengerti bahwa rencana itu adalah ancaman bagi kehidupan di bumi. Dari sini saya kira kita bisa memahami bagaimana logika eksploitatif dalam kapitalisme itu bekerja.
Tetapi, mungkin pembaca disini ragu-ragu, bagaimana bisa kapitalisme itu termasuk menjadi sumber masalah, padahal praktik tersebut dilakukan oleh individu dan pemerintah punya kekuasaan untuk membatasi perilaku kapitalisme. Justru disinilah yang menjadi lebih buruk. Kapitalisme tidak dapat berdiri sendiri, ia memerlukan intervensi lembaga-lembaga, bahkan lembaga formal sekalipun, yaitu pemerintah. Kapitalisme melalui pemerintah melancarkan aksi eksploitatif. Inilah yang disebut dengan oligarki. Oligarki adalah, singkatnya, persekongkolan antara segelintir pihak yang menguasasi jalannya pemerintahan dan penetapan kebijakan, yaitu: pemodal (kapitalis), politikus, dan pemerintah.Â
Cara kong-kalikongnya adalah si pemodal menyiapkan modal sebagai bekal untuk pembelian alat-alat ekstraktif, politisi memberikan peta situasi politik, dan pemerintah menyediakan lahan konsesi. Berpihaknya politisi dan pemerintah kepada pemodal bukanlah semata-mata karena mereka sedang dalam cengkraman kapitalisme, melainkan memang politisi dan pemerintah berpihak kepada pemodal. Ketiganya saling berjejaring satu sama lain untuk melancarkan aksi eksploitatif tersebut.Â
Sistem tersebut sama sekali tidak egaliter, tidak memberi kesempatan yang setara bagi semua orang, karena yang memiliki akses menuju kemakmuran adalah orang-orang bermodal, sementara orang yang tidak bermodal tidak memiliki akses kesana. Ini jelas tidak demokratis, dan negara yang terpapar praktik kapitalisme akan mengalami penyelewengan fungsi secara hakikat. Mungkin pembaca masih ragu-ragu bahwa modal yang dimiliki kapitalis itu bisa didapat karena kerja keras.Â
Nyatanya, jika diruntut secara historis, tidak. Modal-modal itu didapat dari sistem yang sebelumnya, feodalisme. Saya tidak menjabarkan tentang feodalisme disini, silahkan pembaca mencari tahu sendiri, karena pembahasan akan menjadi sangat panjang.
Praktik di atas, dalam film Don't Look Up, diilustrasikan ketika pemerintah tidak patuh pada sains dan menurut pada ilmuwan dengan membatalkan misi pengahncuran komet sebelum menuju bumi.Â
Si pemodal menyiapkan modal untuk membangun perusahaan komersial dan membuat drone-drone dan tentu untuk membuat pemerintah menggadaikan wibawanya, si politisi menyiapkan peta situasi politik yang mendukung kebijakan pemerintah alias menggencarkan aksi pro-pemerintah, pemerintah menyediakan konsesi bagi si kapitalis untuk melancarkan aksinya melakukan praktik kapitalisme, yaitu memberikan izin pada perusahan kapitalis untuk mengambil alih secara pribadi hak pengelolaan atas sumber daya di komet itu, yang pada akhirnya keuntungan yang di dapat darinya diinvestasikan untuk beternak politisi dan menyuap pemerintah.Â
Namun kali ini naasnya, kesalahan teknis dan dibarengi dengan ancaman besar yang efeknya akan langsung terasa jika tidak ditangani secara tanggap yang tidak terekspektasi, menyebabkan operasi rencana pemanfaatan komet tersebut dengan memecahnya menjadi beberapa bagian kecil gagal dan akhirnya komet menghantam bumi dengan keadaan utuh dan menyebabkan kepunahan seluruh makhluk hidup di bumi.
Sungguh bencana massal ini hanya bermula dari suatu keputusan pemerintah yang tidak patuh pada sains dan egosentris kapitalisme yang terus mencengkeram negara untuk terus membuat putusan kebijakan yang tidak berdasarkan sains.
Source:
Bambang Widjojanto, d. (2017). Penguasaan sumber daya alam dalam cengkerama oligarki dan rezim Neoliberal.
Marx, K. (n.d.). Kapital 1
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI