Mohon tunggu...
Satriyo Wahyu Utomo
Satriyo Wahyu Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Egalite

Each works as its abilities, each takes as its needs | Instagram : @satriyowu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Agenda Reformasi Tak Kunjung Nyata: Telaah Preseden Gaya Pemerintahan Inggris Sebelum Revolusi Industri

23 Mei 2021   06:56 Diperbarui: 7 Januari 2022   03:57 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kejatuhan Soeharto 1998 menandai transisi politik kita menuju masa reformasi. Transisi itu muncul atas tuntutan untuk mereformasi pelbagai sektor dari orang banyak. Namun disini penulis tidak fokus mengulas alasan tuntutan tersebut, tetapi lebih pada sarat transisinya.

Gaungan #ReformasiDikorupsi mulai disuarakan beberapa hari kebelakang untuk tetap merawat ingatan berbagai peristiwa yang mewarnai transisi politik serta untuk menagih hasil dari transisi itu yang bagi kebanyakan pelajar dirasa masih belum maksimal 'blueprint'nya.

Banyak preseden yang bisa kita telaah yang menjadi alasan mengapa transisi politik dari orde baru ke reformasi masih belum menenui klimaksnya, artinya masih ada sisa sisa praksisme orde baru yang masih menempel.

Ngomongin politik, selain secara makro pasti tidak terlepas dari sektor mikro, yaitu apalagi kalau bukan tentang akumulasi aktivitas politik setiap individu---khususnya para penerus generasi---yang akan berevolusi menjadi gargantua politik pengganti skrip-skrip lama.

Tetapi mengapa akumulatif politik itu tak kunjung berevolusi menjadi sesuatu yang baru? Ada dua probabilitas. Pertama, transisi reformasi itu hanya sebatas pergantian nama-nama pemegang kekuasaan tanpa ada blueprint baru yang bakal disodorkan. Kedua, para pembuat proposal baru itu tak tahu bagaimana cara menjalankannya, khususnya dalam ruang lingkup mikro.

Mungkin kalau kita sekarang memilih salah satu negara yang memiliki strata kemajuan yang di atas rata-rata, Inggris adalah salah satu kandidatnya. Kekuasaan Romawi begitu besar hampir menyelimuti seluruh benua eropa---menurut peta modern. Pada awal berdirinya hingga akhir riwayatnya, kekuasaan Romawi sering mengalami gejolak politik dan ekonomi, sampai pada akhirnya kekuasaan Romawi yang feodal itu runtuh karena ulah para pemegang kekuasaan yang menerapkan gaya kekuasaan ekstraktif yang menyebabkan warga-warga Romawi enggan untuk tinggal disana lagi.

Namun yang unik adalah, dengan kondisi geografis yang sama, mengapa justru Inggris yang berhasil melakukan revolusi industri? Mengapa tidak negara-negara eropa yang lain, terkhusus bagian timur? Secara sangat singkat jawabannya adalah bagaimana parlemen ataupun lembaga-lembaga pemerintahan itu dibentuk.

Sebelum tahun 1688, kemakmuran di Inggris masih sangat timpang, dan ketimpangan tersebut bukanlah karena kalahnya persaingan antara warga negara dalam hal ekonomi. Gaya perpolitikan untuk memenangkan kandidat di parlemen adalah sangat politis. Politis disini maksutnya adalah hanya mementingakan latar belakang seseorang yang menjadi patokan utama, bukan talenta atau kinerjanya. Itulah salah satu yang mungkin kita rasa sepele, tapi akan menjadi benalu besar yang menghambat kemajuan sebuah negara.

Pengagungan seseorang berdasarkan latar belalang politis akan berakibat pada pudarnya talenta-talenta muda dan inovasi yang akan meningkatkan taraf hidup warga negara.

Resistensi warga Inggris pada penerapan gaya politik yang ekstraktif dan politis itu mencapai puncaknya pada tahun 1688. Warga negara sudah muak dengan berbagai praktik nepotisme kalangan elit yang memiliki kekuasaan besar yang hanya mementingkan latar belakang daripada talenta dan kinerja.

Nepotisme itu selain memonopli sektor ekonomi, juga memonopi sektor politik yang hanya menghasilkan orang orang penindas rakyat dan menjegal talenta muda yang memiliki kapabiltas bagus untuk maju di Parlemen atau berkontribusi pada lembaga-lembaga politik dan ekonomi.

Klimaks itu dimotori oleh Raja Wiliam yang memiliki orientasi berbeda dengan para pendahulunya. Raja Wiliam bersama parlemen yang sudah tak sabar menantikan penghapusan sistem monarki---meski dalam beberapa kasus ada anggota parlemen yang pro kerajaan (monarki)---melakukan sebuah revolusi bernama Glorious Revolution. 

Revolusi itu berupa pendaurulangan konstitusi yang pada intinya ada beberapa poin yang dimuat: 1)Inklusifitas, 2)Parlementarian, 3)Demokrasi partisipatif, dan yang paling penting adalah sistem perekrutan pemegang kekuasaan tidak lagi berdasarkan latar belakang politis, namun lebih kepada kapabilitas seseorang. Hal itu benar-benar dipegang teguh oleh para petinggi negara karena mereka peka dan mau berusaha untuk merespon keadaan sosial yang sangat tidak adil karena sistem monarki. 

Ditambah lagi adanya sebuah program petisi yang memungkinkan siapa saja yang memiliki kepentingan untuk melayangkan petisi kepada parlemen. Dan yang membuat terkesan adalah para anggota parlemen mendengarkan dengan seksama petisi petisi yang dibacakan---tentu hal ini karena sistem perekrutan petinggi negara secara kapabilitas, bukan politis semata.

Poin keempat itulah yang sangat menentukan titik balik sejarah Inggris dari yang awalnya paling terpuruk dalam kungkungan bangsa Romawi menjadi negara pertama yang berhasil melakukan Revolusi Industri dan menjadi negara termakmur pada era itu---jika dikonveksikan pada era sekarang melebihi kekayaan Amerika Serikat.

Tetapi, keberhasilan warga Inggris untuk memperbaiki segala kebobrokan tersebut tidak terlepas dari halangan yang sulit.Tidak sedikit pula korban yang berjatuhan, entah itu dari pembereontakan kelompok, maupun kesewenang-wenangan pihak kerajaan untuk menghabisi siapa saja yang berpotensi menggeser kekuasaan dan penjegalan inovasi invoasi dari talenta muda seperti yang dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya

Preseden perjuangan warga inggris untuk mereformasi sistem itu persis terjadi sekarang di Indonesia. Kanca perpolitikan masih berorientasi latar belakang politis, bukan didasarkan pada kapabilitas calon yang hendak menduduki posisi posisi strategis.

Seperti misalnya seleksi di dalam partai politik. Hari ini penulis mengikuti webinar mengenai kompleksitas pemilu yang dibicarai oleh Perludem. Dalam menggaet suara, terkadang ketua parpol membutuhkan orang yang memiliki 'citra' tinggi untuk menggaet suara. Meskipun ada sebagian anggota parpol yang memiliki kapabilitas dan sepak terjang baik dalam pengabdian di parpol dan sudah paten secara kualitas saat bekerja, akan tersingkirkan oleh orang yang sekedar memiliki citra atau latar belakang politis, karena ketua parpol membutuhkannya untuk menggaet suara.

Ada lagi kasus tentang inovasi mobil listrik yang dipelopori oleh Dahlan Islan. Tiga BUMN membiayai proyek tersebut. senilai 32 miliar. Namun dalam pengerjaannya, banyak oknum-oknum yang menuduh Dahlan Iskan melakukan korupsi dari pembiayaan proyek tersebut. Hal itu bertepatan dengan rencana keikutsertaan proyek mobil listrik tersebut pada Konferensi Kerjasama Asia-Pasifik dalam bidang ekonomi. Kementrian perhubungan juga tidak memberi izin layak jalan pada mobil listrik ciptaan Dahlan Iskan. Ketika ditanyai mengenai  alasannya, pun kementrian perhubungan tidak ada jawaban akan pertanyaan tersebut.

Bisa dibaca pola pola ekonomi yang ekstraktif tersebut yang mencoba untuk menjegal inovasi-inovasi yang dapat meningkatkan kemakmuran negara.

Itulah praktik praktik ekstraktifitas yang dilakukan oleh institusi maupun petinggi-petinggi negara yang akan berevolusi menjadi gargantua yang menjegal dan menghambat  terciptanya cita-cita reformasi.

Sebagai mahasiswa yang merasakan merasakan betul kondisi ekstraktif itu, secara nasional maupun di kampus sendiri, penulis masih menemukan praktik praktik yang agak ekstraktif yang dilakukan para penerus bangsa ini dan parahnya itu dilakukan oleh mereka yang mengkritik praktik KKN dan menyuarakan #ReformasiDikorupsi.

Sebagai penutup, penulis ingin mengutip salah satu pemikiran Yuval Noah Harari, bahwasannya latar belakang politis, yang biasanya berupa ideologi-ideologi partai, komunitas, dan berbagai pemikiran fundamental sama saja dengan agama, yang dijadikan pondasi melakukan praktik praktik politik yang ekstraktif itu memiliki dasar kepercayaan moral yang harus direalisasikan.

Namun, sekali lagi banyak yang belum bisa menempatkan ruang privat yang dilembagakan tersebut sebagai pemantik untuk mencari tahu secara ilmiah dibaliknya.

Kalau hanya secara praktis mengagungkan berbagai pemikiran yang berdasarkan kepercayaan tersebut, kembali lagi pada preseden Inggris sebelum revolusi Inggris, yaitu ketidakmakmuran sebuah negara yang berujung pada instabilitas politik dan tinggal menunggu kehancurannya, karena lupa akan usaha pencaritahuan ilmu ilmiah dan pemberangusan talenta talenta yang berkapabilitas.

Jika anda, pembaca, menyerukan reformasi yang nyata, maka lawan anda yang sebenernya adalah mereka yang melakukan praktik praktik ekstraktif seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun