Klimaks itu dimotori oleh Raja Wiliam yang memiliki orientasi berbeda dengan para pendahulunya. Raja Wiliam bersama parlemen yang sudah tak sabar menantikan penghapusan sistem monarki---meski dalam beberapa kasus ada anggota parlemen yang pro kerajaan (monarki)---melakukan sebuah revolusi bernama Glorious Revolution.Â
Revolusi itu berupa pendaurulangan konstitusi yang pada intinya ada beberapa poin yang dimuat: 1)Inklusifitas, 2)Parlementarian, 3)Demokrasi partisipatif, dan yang paling penting adalah sistem perekrutan pemegang kekuasaan tidak lagi berdasarkan latar belakang politis, namun lebih kepada kapabilitas seseorang. Hal itu benar-benar dipegang teguh oleh para petinggi negara karena mereka peka dan mau berusaha untuk merespon keadaan sosial yang sangat tidak adil karena sistem monarki.Â
Ditambah lagi adanya sebuah program petisi yang memungkinkan siapa saja yang memiliki kepentingan untuk melayangkan petisi kepada parlemen. Dan yang membuat terkesan adalah para anggota parlemen mendengarkan dengan seksama petisi petisi yang dibacakan---tentu hal ini karena sistem perekrutan petinggi negara secara kapabilitas, bukan politis semata.
Poin keempat itulah yang sangat menentukan titik balik sejarah Inggris dari yang awalnya paling terpuruk dalam kungkungan bangsa Romawi menjadi negara pertama yang berhasil melakukan Revolusi Industri dan menjadi negara termakmur pada era itu---jika dikonveksikan pada era sekarang melebihi kekayaan Amerika Serikat.
Tetapi, keberhasilan warga Inggris untuk memperbaiki segala kebobrokan tersebut tidak terlepas dari halangan yang sulit.Tidak sedikit pula korban yang berjatuhan, entah itu dari pembereontakan kelompok, maupun kesewenang-wenangan pihak kerajaan untuk menghabisi siapa saja yang berpotensi menggeser kekuasaan dan penjegalan inovasi invoasi dari talenta muda seperti yang dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya
Preseden perjuangan warga inggris untuk mereformasi sistem itu persis terjadi sekarang di Indonesia. Kanca perpolitikan masih berorientasi latar belakang politis, bukan didasarkan pada kapabilitas calon yang hendak menduduki posisi posisi strategis.
Seperti misalnya seleksi di dalam partai politik. Hari ini penulis mengikuti webinar mengenai kompleksitas pemilu yang dibicarai oleh Perludem. Dalam menggaet suara, terkadang ketua parpol membutuhkan orang yang memiliki 'citra' tinggi untuk menggaet suara. Meskipun ada sebagian anggota parpol yang memiliki kapabilitas dan sepak terjang baik dalam pengabdian di parpol dan sudah paten secara kualitas saat bekerja, akan tersingkirkan oleh orang yang sekedar memiliki citra atau latar belakang politis, karena ketua parpol membutuhkannya untuk menggaet suara.
Ada lagi kasus tentang inovasi mobil listrik yang dipelopori oleh Dahlan Islan. Tiga BUMN membiayai proyek tersebut. senilai 32 miliar. Namun dalam pengerjaannya, banyak oknum-oknum yang menuduh Dahlan Iskan melakukan korupsi dari pembiayaan proyek tersebut. Hal itu bertepatan dengan rencana keikutsertaan proyek mobil listrik tersebut pada Konferensi Kerjasama Asia-Pasifik dalam bidang ekonomi. Kementrian perhubungan juga tidak memberi izin layak jalan pada mobil listrik ciptaan Dahlan Iskan. Ketika ditanyai mengenai  alasannya, pun kementrian perhubungan tidak ada jawaban akan pertanyaan tersebut.
Bisa dibaca pola pola ekonomi yang ekstraktif tersebut yang mencoba untuk menjegal inovasi-inovasi yang dapat meningkatkan kemakmuran negara.
Itulah praktik praktik ekstraktifitas yang dilakukan oleh institusi maupun petinggi-petinggi negara yang akan berevolusi menjadi gargantua yang menjegal dan menghambat  terciptanya cita-cita reformasi.
Sebagai mahasiswa yang merasakan merasakan betul kondisi ekstraktif itu, secara nasional maupun di kampus sendiri, penulis masih menemukan praktik praktik yang agak ekstraktif yang dilakukan para penerus bangsa ini dan parahnya itu dilakukan oleh mereka yang mengkritik praktik KKN dan menyuarakan #ReformasiDikorupsi.