Mohon tunggu...
Satriwan Salim
Satriwan Salim Mohon Tunggu... profesional -

Pendidik di SMA Labschool Jakarta-Univ. Negeri Jakarta (UNJ). Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pengurus Asosiasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI). Alumni Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Bisa kunjungi Blog saya di www.satriwan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru PKn: Antara Ahok dan Pendidikan Politik Pilkada

20 Desember 2016   21:06 Diperbarui: 20 Desember 2016   21:16 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Antara Pilkada dan pendidikan memang secara sekilas tampak tak berhubungan. Tapi mesti diingat bahwa Pilkada yang berkualitas akan terkontruksi, jika dalam masyarakatnya sukses membangun pendidikan politik demokrasi yang mencerahkan sekaligus mencerdaskan. Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang bertanggungjawab memberikan pendidikan politik demokrasi yang mencerahkan itu? Jawaban normatifnya adalah tentu tugasnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan media. Tapi agaknya peran media saat ini sudah melampaui peranan partai politik, disebabkan media (media sosial) memiliki ketakterbatasan akses untuk dinikmati masyarakat, apalagi bagi warga Jakarta.

Jika melepaskan fungsi pendidikan politik demokrasi hanya kepada media sosial atau media massa secara umum, bagi saya ini sungguh akan menciderai makna pendidikan itu sendiri. Sebagaimana Ki Hadjar Dewantara (1889 – 1959) katakan, “pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.

Utopis rasanya jika ingin memajukan budi pekerti umat manusia, jika diserahkan kepada media sosial yang tak berbatas itu. Maka disinilah fungsi klasik pendidikan persekolahan, yang masih dianggap penting. Saya ingin mengatakan jika pendidikan (politik demokrasi) akan lebih terarah, terencana dan melibatkan orang dewasa secara rasional dan terlembaga jika melalui sekolah

Seperti dikatakan John Dewey (1859-1952), “pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin  terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan sosial. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup”.

Sementara itu pendidikan politik menurut Rusadi Kartaprawira (1977) adalah upaya untuk meningkatkan pengetahun politik rakyat, dan akhirnya rakyat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik tersebut. Bagi Mansour Fakih (1999), pendidikan politik adalah setiap usaha untuk melahirkan kesadaran kritis bagi penghormatan atas hak asasi manusia. Baginya pendidikan politik yang kritis dan demokratis akan menciptakan sistem politik yang demokratis pula.

Dalam konteks inilah korelasi antara Pilkada DKI Jakarta sebagai sebuah aktivitas politik praktis, dengan pendidikan politik demokrasi yang dilakukan oleh lembaga persekolahan. Bagi saya secara spesifik dan substantif, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan/PKn/PPKn (civic education) berperan sebagai media pendidikan politik demokrasi di lembaga persekolahan. Secara teroretik PKn berfungsi untuk memberikan pendidikan politik-demokrasi bagi warga negara. Seperti yang dikatakan Nu’man Soemantri (2001), Sapriya (2007) bahwa salah satu fungsi PKn adalah sebagai pendidikan politik. Atau bagi Udin S. Winataputra (2001), fungsi PKn sebagai pendidikan demokrasi.

Pendidikan politik demokrasi dalam PKn bertujuan agar terbentuknya civic disposition (watak/karatkter kewarganegaraan) seutuhnya. Karakter kewarganegaraan merupakan muara dari civic skills (keterampilan kewarganegaraan) yang di dalamnya berisikan keterampilan intelektual (intellectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills), dan civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan). Setidaknya inilah 3 komponen utama civic education menurut Margaret S. Branson (1994).

Jika dikaitkan dengan fenomena Pilkada di DKI Jakarta, maka guru mata pelajaran PKn/PPKn, yang paling punya landasan epistemologis dan relevan untuk melakukan misi pendidikan politik demokrasi. Level satuan pendidikan yang juga pas sebagai sasaran adalah di tingkat SMA/SMK/MA. Jadi sebagai mata pelajaran yang melakukan pendidikan politik demokrasi, keberadaan guru PKn/PPKn di kelas sangat penting, karena akan mampu memengaruhi persepsi siswa terhadap suatu objek politik (bisa Pemilu, Pilkada, tokoh politik atau peristiwa politik lainnya). 

Walaupun persepsi yang dibangun itu bisa bernuansa positif atau negatif. Di sinilah dibutuhkan profesionalitas seorang guru PKn/PPKn, agar tak terjebak pada pemihakan yang berujung indoktrinasi, yang nyata-nyata tak akan membangun watak kewarganegaraan seutuhnya.

Persoalannya kemudian adalah, politik Pilkada DKI Jakarta yang turbulensinya sedang meninggi ini dicoba dibawa-bawa ke ranah pendidikan oleh guru (PKn/PPKn). Tepatnya, gurupun melibatkan diri memengaruhi siswa sebagai pemilih pemula untuk membangun persepsi para pemilih muda ini. Perlu diingat data dari KPUD, jumlah pemilih pemula pada Pilkada DKI 2017 adalah 10,07% yaitu mencapai angka 718.571 orang. Ini merupakan angka yang besar dan potensial. Apalagi dalam politik Pilkada, satu suara adalah sangat berarti.

Bagaimana cara guru memengaruhi persepsi pemilih pemula yang nota bene adalah siswa didiknya? Setidaknya bisa melalui 2 cara pembangunan persepsi. Pertama, membangun persepsi positif terhadap Agus-Sylviana, Basuki-Djarot atau Anies-Sandi (tentu denga posisi lebih condong pada salah satunya/sesuai preferensi politik guru tersebut). Memberikan pujian, menampilkan keunggulan-keunggulan personal, prestasi, track records, kinerja selama menjadi tokoh politik bahkan dari sisi keturunan. Hal ini dalam pendekatan positif.

Kedua, bisa berbentuk seruan untuk tidak memilih salah satu kandidat, bahkan bisa dengan menyerang satu kandidat tersebut. Model yang ini bersifat terang-terangan mengkampanyekan untuk memilih/tidak memilih salah satu calon. Agaknya yang paling bisa menjadi sasaran empuk saat ini, untuk menjadi target upaya pembangunan persepsi negatif ini adalah Basuki-Djarot.

Karena faktor pemberitaan yang masif, ramainya viral di sosial media sampai kepada aksi demonstrasi 411 dan 212 yang bertajuk Aksi Bela Islam. Mampu mengundang partisipasi publik tak hanya dari Jakarta tapi seluruh Indonesia, dengan beragam cerita yang “heroistik” menuju Jakarta. Terkait dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Basuki yang sudah berstatus terdakwa. Meminjam istilah para siswa yaitu berita Ahok itu “happening banget, Pak!”. Ditambah yang bersangkutan merupakan calon petahana, paling mudah dilihat kinerjanya saat ini. Otomatis serangan (baik kampanye negatif dan kampanye hitam) paling banyak amunisinya ditembakkan pada Basuki.

Secara minimalis keterlibatan guru (PKn/PPKn) dalam 2 model aktivitas tersebut, paling efektif jika dilakukan di depan kelas ataupun dalam diskusi-diskusi dengan siswa. Ketika dikritik, adakalanya seorang guru PKn/PPKn berlindung dalam balutan jubah akademis, yaitu sedang melakukan pendidikan politik demokrasi kepada siswa, agar melek dan paham politik Pilkada. Agar siswa bisa bersikap kritis katanya. Alih-alih melakukan pendidikan politik demokrasi, ternyata guru terjebak pada aksi kampanye dan pemihakan tanpa kendali.

Lantas apa yang perlu dikhawatirkan dan dampaknya, jika para guru khususnya guru PKn/PPKn di sekolah melakukan kampanye terselubung, yang bernaung di bawah alasan, ini merupakan pendidikan politik demokrasi? Yang dikhawatirkan adalah sekolah sebagai logosentrisme keadaban, rumah bagi terbangunnya virtues bagi kehidupan siswa, akan direduksi menjadi sekedar panggung politik, arena politik praktis yang profan itu. Ruang kelas semula tempat aktivitas pedagogis berlangsung, berubah menjadi panggung kampanye. 

Guru tak ubahnya seperti juru bicara kandidat atau minimal petugas kampanye. Jika itu terbukti, maka tak ada harapan lagi bagi sekolah, khususnya bagi tercapainya misi Pendidikan Kewarganegaraan, yang muara akhirnya diharapkan dapat membentuk civic virtues (kebajikan kewarganegaraan) bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun