Kedua, bisa berbentuk seruan untuk tidak memilih salah satu kandidat, bahkan bisa dengan menyerang satu kandidat tersebut. Model yang ini bersifat terang-terangan mengkampanyekan untuk memilih/tidak memilih salah satu calon. Agaknya yang paling bisa menjadi sasaran empuk saat ini, untuk menjadi target upaya pembangunan persepsi negatif ini adalah Basuki-Djarot.
Karena faktor pemberitaan yang masif, ramainya viral di sosial media sampai kepada aksi demonstrasi 411 dan 212 yang bertajuk Aksi Bela Islam. Mampu mengundang partisipasi publik tak hanya dari Jakarta tapi seluruh Indonesia, dengan beragam cerita yang “heroistik” menuju Jakarta. Terkait dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Basuki yang sudah berstatus terdakwa. Meminjam istilah para siswa yaitu berita Ahok itu “happening banget, Pak!”. Ditambah yang bersangkutan merupakan calon petahana, paling mudah dilihat kinerjanya saat ini. Otomatis serangan (baik kampanye negatif dan kampanye hitam) paling banyak amunisinya ditembakkan pada Basuki.
Secara minimalis keterlibatan guru (PKn/PPKn) dalam 2 model aktivitas tersebut, paling efektif jika dilakukan di depan kelas ataupun dalam diskusi-diskusi dengan siswa. Ketika dikritik, adakalanya seorang guru PKn/PPKn berlindung dalam balutan jubah akademis, yaitu sedang melakukan pendidikan politik demokrasi kepada siswa, agar melek dan paham politik Pilkada. Agar siswa bisa bersikap kritis katanya. Alih-alih melakukan pendidikan politik demokrasi, ternyata guru terjebak pada aksi kampanye dan pemihakan tanpa kendali.
Lantas apa yang perlu dikhawatirkan dan dampaknya, jika para guru khususnya guru PKn/PPKn di sekolah melakukan kampanye terselubung, yang bernaung di bawah alasan, ini merupakan pendidikan politik demokrasi? Yang dikhawatirkan adalah sekolah sebagai logosentrisme keadaban, rumah bagi terbangunnya virtues bagi kehidupan siswa, akan direduksi menjadi sekedar panggung politik, arena politik praktis yang profan itu. Ruang kelas semula tempat aktivitas pedagogis berlangsung, berubah menjadi panggung kampanye.
Guru tak ubahnya seperti juru bicara kandidat atau minimal petugas kampanye. Jika itu terbukti, maka tak ada harapan lagi bagi sekolah, khususnya bagi tercapainya misi Pendidikan Kewarganegaraan, yang muara akhirnya diharapkan dapat membentuk civic virtues (kebajikan kewarganegaraan) bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H