[caption caption="pikiran-rakyat.com"][/caption]Simposium nasional yang diselenggarakan untuk membuka tabir gelap sejarah bangsa Indonesia tahun 1965 telah diselenggarakan di Hotel Aryadutha Jakarta, 18-19 April 2016 lalu. Acara akbar tersebut mengundang tokoh nasional, pejabat pemerintahan, pelaku sejarah, anak pahlawan revolusi, sejarawan, kalangan militer atau purnawirawan, perwakilan NU dan Muhammadiyah, aktivis HAM dan terpenting adalah mereka yang disebut dengan “korban” peristiwa 1965. Dalam sejarahanya hingga kini, penyebutan “korban” menjadi kata yang tidak tunggal interpretasinya dalam peristiwa tersebut.
Karena kedua pihak yang terus beroposisi simetris dalam sejarah bangsa sampai saat ini, tetap bersikukuh dalam pendiriannya. Bahwa istilah “korban” pelanggaran HAM berat dalam sejarah 1965, tidak hanya para anggota PKI, underbow-nya dan masyarakat biasa yang “dituduh” PKI, tetapi juga para kyai, santri, ustad dan anggota PSI dan Murba yang dibantai oleh “Pemuda Rakyat” yang notebene PKI, sebelum 1965, ketika PKI sedang mesra-mesranya dengan pemerintah Orde Lama.
Istilah “korban” sedang dan akan terus diperebutkan memang oleh pihak-pihak yang tak mau cacat narasi besar sejarah kelompok atau golongannya. Walaupun Gus Dur telah meminta maaf mengatasnamakan NU kepada “korban” 1965, tapi bagi seorang Pramoedya Ananata Toer tak serta-merta membukakan pintu maafnya, bahkan meresponnya dengan mengatakan “omong-kosong saja rekonsiliasi” (lihat wawancara Pram di Forum Keadilan, 26 Maret 2000). Alhasil cerita tak berhenti di sana.
Sisi yang berbeda diungkap dalam kesaksian mengejutkan, yang muncul di saat mantan anggota RPKAD Letjend (Purn) Sintong Pandjaitan memberikan kesaksiannya di depan para hadirin yang umumnya sudah berumur itu. Tepat di depan orang-orang yang dituduh PKI dan yang sudah dirampas kebebasannya pasca 1965. Sintong mengatakan di wilayah Jawa Tengah, hanya ada 1 orang saja korban dibunuh, tak lebih. Tentu bertolak belakang dengan tulisan para sejarawan dan pemikir Barat seperti Ben Anderson yang mengatakan total korban pembantaian antara 500.000-1.000.000 orang. Sangat tidak mudah memang meluruskan sejarah kelam bangsa ini, khususnya peristiwa sebelum 1965 dan setelahnya.
Tak ingin berlama-lama menyelami jauh sejarah kelam 1965 dengan berbagai narasinya yang kompleks dan kronis itu, mari kita tengok sebuah kejadian yang bagi saya “memalukan” sekaligus “memilukan” di hari ke dua simposium berlangsung, tepatnya Selasa, 19 April 2016. Cerita bermula di saat sastrawan besar yang dimiliki bangsa ini “diusir” dari arena simposium. Ya, begitulah kenyataan pahit yang dihadapi seorang Taufiq Ismail. Saya sengaja menggunakan tanda petik untuk kata “diusir”, karena diksi diusir ini seolah-olah bermakna buruk, tak berguna, pengganggu alias hama untuk sekelas sastrawan besar, tokoh dan seseorang yang mendapatkan gelar doktor honoris causa, gelar kehormatan yang diberikan pula oleh kampus terhormat (UI). Sastrawan gaek ini disuruh pergi dengan paksa oleh (sebagian) peserta simposium dan atau panitia.
Apalah sebab sehingga penulis syair “Karangan Bunga” ini dipaksa berhenti membacakan puisinya di depan peserta simposium dan disuruh keluar oleh (sebagian) peserta dan panitia? Jawabannya adalah hanya satu tindakan “dosa” yang dia lakukan yaitu karena Taufiq Ismail membaca puisi! Ya, Taufiq diminta keluar ruangan karena membaca puisi. Membaca puisi pada hari Selasa siang itu menjadi hal terlarang di ruangan yang berisi orang-orang terhormat, yang katanya sedang berikhtiar membuka luka sejarah 1965.
Awalnya pembacaan puisi berjudul “Angka-angka” itu berjalan dengan baik, tak ada tanda-tanda keributan akan terjadi. Walaupun jika mendengar prolog oleh MC di awal sesi yang mengatakan akan “ada kejutan” dalam simposium di hari kedua ini. Mungkin saja kejutan tersebut bukan berupa seorang kakek tua yang membaca puisi di depan orang-orang yang pernah bermusuhan dengannya, yang baginya orang-orang ini disebut sebagai Komunis atau antek Komunis atau Komunis Gaya Baru (KGB) atau bahkan mantan seniman-sastrawan Lekra. Tapi ternyata kejutan itu adalah sebuah pengusiran seorang tua yang tengah membaca karya sastra.
Publik tahu sudah sedari awal Taufiq Ismail menjadi sosok penyair yang terus berseberangan dengan ideologi Komunisme ini. Khususnya bagi mereka yang bergiat di palagan sastra, pasti lebih mafhum atas sikap Taufiq ini. Bermula sebagai penyair muda yang ikut mendirikan Manikebu (Manifesto Kebudayaan, berdiri pada 17 Agustus 1963) yang beranggotakan para sastrawan dan budayawan dengan prinsip universal “Seni untuk Seni” atau “Seni Bukan untuk Politik”. Manikebu berdiri konfrontatif secara ideologis dengan kelompok para jago sastra lainnya yang lebih dulu dibentuk, yakni Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, berdiri pada 17 Agustus 1950). Prinsip berkebudayaan bagi Lekra adalah bahwa “Politik Sebagai Panglima” atau “Seni untuk Politik”. Dan Pramoedya Ananta Toer berdiri sebagai jagonya.
Polemik budaya dan sastra rentang 1962-1965 ini makin memuncak ketika Pramoedya (dengan nama samaran Abdullah SP) menulis di Harian Bintang Timur tentang kritik sastranya terhadap karya Hamka, “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk”, yang dituduh sebagai karya plagiasi oleh Pram. Hamka seakan-akan menjadi pencuri, pencontek, miskin ide, kering kreasi dan lemah otak. Lebih lanjut lihat buku karangan Muhidin M. Dahlan, “Aku Mendakwa Hamka Plagiat, Skandal Sastra Indonesia 1962-1964" (2011).
Benar-benar judul buku yang berani. Tapi inilah alam akademis, intelek, demokrasi. Apalagi niatnya ingin meluruskan sejarah sastra nasional. Palagan sastra kita kusut dibuatnya. Koran Bintang Timur yang berhaluan kiri ini menelanjangi Hamka terang-terangan. Klaim dan vonis bagi Hamka, bahwa roman beliau adalah karya hasil contekan, tiruan alias plagiat. Roman besar Hamka tersebut dituding Pram sebagai saduran, tiruan dari novel "Magdalena" karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi dari Mesir. Lebih lanjut sila kunjungi tulisan saya.
Membaca sekilas tentang cerita sejarah polemik budaya dan sastra tahun 1960-an ini, tentu kita akan langsung menarik benang merahnya bahwa polemik sastra yang terjadi sangat dipengaruhi oleh pertarungan ideologi dan kepentingan politik praktis di era Orde Lama Soekarno. Pastilah bisa ditebak, dimana posisi tegak seorang Taufiq Ismail? Jawabannya adalah di samping Hamka tentunya. Bersama HB Jassin, Trisno Sumardjo, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, dll.
Permusuhan ideologis dan politis Taufiq Ismail dengan para aktivis Lekra seperti Pram merupakan wujud pertarungan ide, konsepsi-konsepsi atau ideologi dalam kesusasteraan dan kebudayaan umumnya. Yang sepertinya akhir-akhir ini kering kita saksikan, terkhusus di dunia politik yang sudah dipersatukan oleh ideologi ekonomis-transaksional plus kapital. “Lekra adalah sekrup mesin komunisme”, demikianlah ucapan dan pendirian Taufiq untuk menilai Komunisme, PKI dan Lekra.
Genderang perang Taufiq Ismail terhadap ideologi komunisme ini setidaknya dapat dibaca dalam 3 buku yang ditulisnya. Pertama, bersama DS. Moeldjanto mebuat buku berjudul “Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif PKI/Lekra dkk” (1995). Buku kedua, “Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma, Leninisma, Maoisma, Narkoba (2004). Buku ketiga, “Sesudah 50 tahun Gagalnya Kudeta PKI (1965-2015) Dimulai dengan Api Semoga Berakhir dengan Air” (2015).
Dalam 3 buku bertemakan Komunisme dan PKI ini Taufiq mencoba menjaga konsistensi ideologisnya terhadap PKI dan Komunisme. Baginya ideologi ini telah membunuh 120 juta jiwa di 76 negara. Komunisme adalah ideologi bengis, kejam dan haus darah. Dan di dalam angka 120 juta nyawa yang dihabisi oleh Komunisme itu pulalah terdapat di dalamnya anak bangsa Indonesia yang dibantai PKI, demikian tulis Taufiq.
Ya begitulah sikap ideologis seorang penyair tua generasi Manikebu, Taufiq Ismail. Jika kita telusuri kembali, para sastrawan generasi Manikebu ini sudah berusia senja umumnya saat ini. Bahkan sudah banyak yang meninggal dunia. Walaupun usia Manikebu hanya 1 tahun (dibubarkan Soekarno pada Mei 1964 karena dinggap kontra revolusi), tapi perjuangannya untuk menjaga semangat Manikebu terus bergelora agaknya. Dalam manifestonya Manikebu -yang oleh aktivis Lekra diplesetkan menjadi “Manikebo” (sperma kerbau)- menyatakan bahwa Pancasila merupakan falsafah kebudayaan, bukan Komunisme atau Marxisme. Politik bukanlah sebagai panglima. Seni bersifat universal dan tidak boleh menghamba kepada politik atau penguasa. Baginya kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.
Jadi kita sudah bisa menyimpulkan sekarang, ketika Taufiq membacakan puisi “Angka-angka” di depan peserta Simposium 1965 yang juga dihadiri oleh eks seniman Lekra dan underbow PKI lainnya, tentu saja menjadi perang terbuka, berhadap-hadapan dan mendapatkan panggung. Panggung sastra Taufiq distop oleh orang-orang yang mungkin saja baginya dinilai sebagai bekas PKI atau KGB tadi. Bagi (sebagian) peseta simposium tersebut, tindakan Taufiq tak lain tak bukan adalah upaya provokasi, di tengah-tengah ikhtiar kolektif anak bangsa untuk meluruskan sejarah kelam 1965.
Memang di video terlihat yang pertama kali menyela pembacaan puisi Taufiq adalah Ilham Aidit (anak kandung D. N. Aidit-Ketua CC PKI) yang hingga kini nama D.N. Aidit masih divonis sebagai sosok jahat, kejam, di dalam namanya tersimpan keburukan, kumal dan bau dalam sejarah nasional bangsa ini. Aidit masih dicitrakan sebagai pengkhianat bangsa, pemberontak yang tak bisa dimaafkan bahkan bromocorah, oleh generasi tua yang berjaya di masa Orba dan generasi muda yang hanya mengenal Aidit dari buku-buku sejarah buatan masa lalu.
Sebagian peserta simposium 1965, pembaca berita dan yang menyaksikan video tentang aksi pengusiran tersebut, akan terbagi setidaknya ke dalam 3 kelompok. Pertama, tentu yang bersikap antipati dan tidak suka terhadap larik tiap-tiap bait puisi “Angka-angka” yang dibacakan Taufiq. Karena bernada tuduhan dan memanas-manasi forum yang notabene ada di antara pesertanya yang menjadi anggota PKI dulunya atau Lekra dan lainnya. Ketersinggungan itu sebenarnya kalaupun boleh dianggap “menuduh” dan “menyindir” PKI ada pada larik “....Sebabnya adalah mereka membantai bangsanya sendiri, di Indonesia, di Madiun mereka mendengar pembantaian....”.
Pertanyaan mendasarnya adalah kenapa harus tersinggung? Bukankah pembantaian di Madiun tersebut adalah fakta sejarah Muso dan Pemberontakan PKI 1948? Fakta sejarah tersebut diakui oleh para sejarawan dan diimani oleh Soekarno-Hatta sebagai sebuah upaya pemberontakan. Sampai-sampai seorang pejuang kiri Marxisme -juga berjasa besar bagi republik ini- yang bernama Tan Malaka menolak, menentang dan mengutuk pemberontakan PKI Muso 1948 itu. Bagi saya Taufiq tidak sedang berhalusinasi dalam menulis dan membacakan fakta sejarah yang ia konversi ke dalam baris-baris puisinya itu!
Kedua adalah kelompok yang jelas dan tegas konsisten membela Taufiq. Tentu kita sudah bisa menebak siapa, seperti aktivis organisasi Islam atau pegiat anti-komunis. Kelompok kedua ini hanya bicara di level media online yang tidak mainstream. Tapi kita lihat tak ada juga tokoh nasional, tokoh Islam dari ormas semisal NU, Muhammadiyah dan MUI yang membela Taufiq melalui media. Semua itu dapat dilacak di berita online maupun cetak mainstream. Paling juga bentuk pembelaan kepada Taufiq dilakukan di sosmed sebagai sebuah cuitan atau status dan broadcast yang bersifat temporer belaka, dari mereka yang menjadi pengagum kepenyairan beliau atau kumpulan anak-anak muda pegiat sastra yang juga mengidolakan syair-syairnya.
Tidak adanya pembelaan yang berarti untuk Taufiq agaknya wajar, karena dia bukanlah pemimpin ormas seperti NU, Muhammadiyah atau FPI. Bukan pula pengurus inti partai politik. Bukan pula pegiat jagad maya yang aktif berkicau di twitter seperti Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono, yang punya ratusan ribu pengikut. Jadi tak mengherankan, jika Taufiq sepi pemihakan. Karena dia tidak punya pasukan maya. Pada titik ini Taufiq berjuang dalam kesendirian namun tetap konsisten, semenjak era Manikebu yang ideologis, sampai kini di tengah budaya populer yang makin rumit.
Dan ketiga adalah kelompok yang tidak peduli. Karena berpikir bahwa baik simposium 1965 yang seolah-olah memberikan ruang perhatian untuk korban atau harapan bagi “negara yang harus meminta maaf kepada mereka korban pasca 1965” dan sikap anti-komunisme ala Taufiq Ismail sama-sama sia-sia. Sebab generasi muda saat ini akan menjawab sejarah 1965 dengan caranya sendiri tanpa ada intervensi negara atau tindakan “menakut-nakuti” cerita horor kebangkitan hantu yang bernama PKI dan Komunisme itu. Bahkan pada titik tertentu generasi muda ini tak peduli dengan peristiwa sejarah tersebut, karena asik dengan gawai dan obsesinya menjadi karyawan dengan gaji jutaan di perusahaan multinasional ternama.
Terlepas dari suka atau tidak suka dengan isi puisi Taufiq yang dibacakan dalam Simposium 1965, saya memandang bahwa aktivitas kebudayaan mestilah kita hargai. Seorang sastrawan atau penyair itu bekerja untuk kebudayaan, bukan untuk pemerintah atau siapapun. Ketika penyair sedang membaca karya sastranya, inilah puncak prestasi kebudayaan seorang penyair. Kerja budaya tersebut mesti dimaknai dengan budaya dan sastra pula, bukan dengan sentimen politik tertentu. Apalagi jika kita cermati tiap baris puisi “Angka-angka” ini tidak ada yang keliru, karena Taufiq hanya membaca sejarah Komunisme.
Tak perlu ada yang tersinggung, toh hanya seorang renta yang tak punya pasukan, yang tengah membaca. Kenapa mesti takut dan cemas mendengarnya bait puisinya. Bukankah Taufiq Ismail datang dan tegak di depan Simposium 1965 karena diundang oleh Panitia Simposium 1965? Bukankah pula tuan dan nyonya Panitia Simposium 1965 sudah paham bagaimana isi kepala dan sikap ideologis seorang Taufiq Ismail terhadap Komunisme, PKI dan Lekra, yang ditunjukkannya selama ini? Bukankah karena sikap itu pulalah dia diundang dalam Simposium terhormat ini? Keliru besar jika panitia berharap Taufiq akan membaca dan menguraikan kumpulan puisi “Tirani dan Benteng” atau “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” di depan simposium. Karena Simposium 1965 bukanlah kelas sastra.
Langkah terhormat mestinya ditunjukkan oleh panita dan peserta simposium yang terus meneriaki penyair gaek ini dengan makian provokator! Keluarkan dari ruangan ini! Itu bukan puisi tapi provokasi! Bukankah di ruangan juga hadir eks seniman Lekra yang juga jagonya membuat sastra serupa puisi. Sehabis Taufiq diturunkan dari panggungnya, Putu Oka Sukanta yang eks aktivis Lekra itupun membacakan puisinya, tanpa ada teriakan “huuuuuuuu...” dan makian “provokator!” oleh (sebagian) peserta simposium. Sungguh pemandangan yang merisaukan, ketika seorang penyair diusir karena tengah membacakan karyanya, dan karena (sebagian) peserta tak berselera dengan isi syairnya.
Bagi saya pembacaan puisi “Angka-angka” itu tak akan mampu menggerakkan massa untuk terus menghantam PKI dan Lekra! Puisi “Angka-angka” itu tak akan laku dijual dan tak populer laiknya isi “Tirani dan Benteng”. Tak usahlah bersumbu pendek, toh kata “PKI” saja tidak ada dalam puisi tersebut. Tak usahlah khawatir, puisi “Angka-angka” itu tak akan menggerakkan emosi rakyat Indonesia dan tak akan memengaruhi isi otak anak-anak muda yang mengamati jalannya simposium secara streaming di dunia maya. Mungkin malahan akan tertawa dan akan mengolok-oloknya.
Jika tak berselera mendengarnya, silakan tuan dan nyonya olok-olok si pembaca puisi, tutup kuping rapat-rapat ketika si penyair sedang bekerja, tanpa harus mengusirnya ketika membaca karya sastra. Apa bedanya tuan-tuan dengan sekelompok orang yang melarang pementasan monolog Tan Malaka di Bandung sana? Atau sekelompok orang yang dengan bengis memberhentikan diskusi filsafat dan acara musik Lady Fast di Yogyakarta? Atau pelarangan kegiatan BelokKiriFest di TIM beberapa waktu lalu. Apalagi atas nama demokrasi dan hak asasi, tuan dan nyonya duduk manis dan berbicara di dalam sana.
Bukankah seorang Goenawan Mohamad pernah berkata; “Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin”. Dan ada benarnya apa yang dikatakan Pramoedya; “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai". Tulisan ini hanya sekedar tanggapan dari seorang guru biasa yang kebetulan penikmat karya sastra.
Rawamangun, 24 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H