Mohon tunggu...
Satriwan Salim
Satriwan Salim Mohon Tunggu... profesional -

Pendidik di SMA Labschool Jakarta-Univ. Negeri Jakarta (UNJ). Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pengurus Asosiasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI). Alumni Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Bisa kunjungi Blog saya di www.satriwan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penyair Manikebu Ini Diusir Karena Satu Hal: Membaca Puisi!

24 April 2016   14:21 Diperbarui: 24 April 2016   17:07 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlepas dari suka atau tidak suka dengan isi puisi Taufiq yang dibacakan dalam Simposium 1965, saya memandang bahwa aktivitas kebudayaan mestilah kita hargai. Seorang sastrawan atau penyair itu bekerja untuk kebudayaan, bukan untuk pemerintah atau siapapun. Ketika penyair sedang membaca karya sastranya, inilah puncak prestasi kebudayaan seorang penyair. Kerja budaya tersebut mesti dimaknai dengan budaya dan sastra pula, bukan dengan sentimen politik tertentu. Apalagi jika kita cermati tiap baris puisi “Angka-angka” ini tidak ada yang keliru, karena Taufiq hanya membaca sejarah Komunisme.

Tak perlu ada yang tersinggung, toh hanya seorang renta yang tak punya pasukan, yang tengah membaca. Kenapa mesti takut dan cemas mendengarnya bait puisinya. Bukankah Taufiq Ismail datang dan tegak di depan Simposium 1965 karena diundang oleh Panitia Simposium 1965? Bukankah pula tuan dan nyonya Panitia Simposium 1965 sudah paham bagaimana isi kepala dan sikap ideologis seorang Taufiq Ismail terhadap Komunisme, PKI dan Lekra, yang ditunjukkannya selama ini? Bukankah karena sikap itu pulalah dia diundang dalam Simposium terhormat ini? Keliru besar jika panitia berharap Taufiq akan membaca dan menguraikan kumpulan puisi “Tirani dan Benteng” atau “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” di depan simposium. Karena Simposium 1965 bukanlah kelas sastra.

Langkah terhormat mestinya ditunjukkan oleh panita dan peserta simposium yang terus meneriaki penyair gaek ini dengan makian provokator! Keluarkan dari ruangan ini! Itu bukan puisi tapi provokasi! Bukankah di ruangan juga hadir eks seniman Lekra yang juga jagonya membuat sastra serupa puisi. Sehabis Taufiq diturunkan dari panggungnya, Putu Oka Sukanta yang eks aktivis Lekra itupun membacakan puisinya, tanpa ada teriakan “huuuuuuuu...” dan makian “provokator!” oleh (sebagian) peserta simposium. Sungguh pemandangan yang merisaukan, ketika seorang penyair diusir karena tengah membacakan karyanya, dan karena (sebagian) peserta tak berselera dengan isi syairnya.

Bagi saya pembacaan puisi “Angka-angka” itu tak akan mampu menggerakkan massa untuk terus menghantam PKI dan Lekra! Puisi “Angka-angka” itu tak akan laku dijual dan tak populer laiknya isi “Tirani dan Benteng”. Tak usahlah bersumbu pendek, toh kata “PKI” saja tidak ada dalam puisi tersebut. Tak usahlah khawatir, puisi “Angka-angka” itu tak akan menggerakkan emosi rakyat Indonesia dan tak akan memengaruhi isi otak anak-anak muda yang mengamati jalannya simposium secara streaming di dunia maya. Mungkin malahan akan tertawa dan akan mengolok-oloknya.

Jika tak berselera mendengarnya, silakan tuan dan nyonya olok-olok si pembaca puisi, tutup kuping rapat-rapat ketika si penyair sedang bekerja, tanpa harus mengusirnya ketika membaca karya sastra. Apa bedanya tuan-tuan dengan sekelompok orang yang melarang pementasan monolog Tan Malaka di Bandung sana? Atau sekelompok orang yang dengan bengis memberhentikan diskusi filsafat dan acara musik Lady Fast di Yogyakarta? Atau pelarangan kegiatan BelokKiriFest di TIM beberapa waktu lalu. Apalagi atas nama demokrasi dan hak asasi, tuan dan nyonya duduk manis dan berbicara di dalam sana.

Bukankah seorang Goenawan Mohamad pernah berkata; “Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin”. Dan ada benarnya apa yang dikatakan Pramoedya; “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai". Tulisan ini hanya sekedar tanggapan dari seorang guru biasa yang kebetulan penikmat karya sastra.

Rawamangun, 24 April 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun