Mohon tunggu...
Satriwan Salim
Satriwan Salim Mohon Tunggu... profesional -

Pendidik di SMA Labschool Jakarta-Univ. Negeri Jakarta (UNJ). Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pengurus Asosiasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI). Alumni Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Bisa kunjungi Blog saya di www.satriwan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penyair Manikebu Ini Diusir Karena Satu Hal: Membaca Puisi!

24 April 2016   14:21 Diperbarui: 24 April 2016   17:07 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permusuhan ideologis dan politis Taufiq Ismail dengan para aktivis Lekra seperti Pram merupakan wujud pertarungan ide, konsepsi-konsepsi atau ideologi dalam kesusasteraan dan kebudayaan umumnya. Yang sepertinya akhir-akhir ini kering kita saksikan, terkhusus di dunia politik yang sudah dipersatukan oleh ideologi ekonomis-transaksional plus kapital. “Lekra adalah sekrup mesin komunisme”, demikianlah ucapan dan pendirian Taufiq untuk menilai Komunisme, PKI dan Lekra.

Genderang perang Taufiq Ismail terhadap ideologi komunisme ini setidaknya dapat dibaca dalam 3 buku yang ditulisnya. Pertama, bersama DS. Moeldjanto mebuat buku berjudul “Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif PKI/Lekra dkk” (1995). Buku kedua, “Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma, Leninisma, Maoisma, Narkoba (2004). Buku ketiga, “Sesudah 50 tahun Gagalnya Kudeta PKI (1965-2015) Dimulai dengan Api Semoga Berakhir dengan Air” (2015).

Dalam 3 buku bertemakan Komunisme dan PKI ini Taufiq mencoba menjaga konsistensi ideologisnya terhadap PKI dan Komunisme. Baginya ideologi ini telah membunuh 120 juta jiwa di 76 negara. Komunisme adalah ideologi bengis, kejam dan haus darah. Dan di dalam angka 120 juta nyawa yang dihabisi oleh Komunisme itu pulalah terdapat di dalamnya anak bangsa Indonesia yang dibantai PKI, demikian tulis Taufiq.

Ya begitulah sikap ideologis seorang penyair tua generasi Manikebu, Taufiq Ismail. Jika kita telusuri kembali, para sastrawan generasi Manikebu ini sudah berusia senja umumnya saat ini. Bahkan sudah banyak yang meninggal dunia. Walaupun usia Manikebu hanya 1 tahun (dibubarkan Soekarno pada Mei 1964 karena dinggap kontra revolusi), tapi perjuangannya untuk menjaga semangat Manikebu terus bergelora agaknya. Dalam manifestonya Manikebu -yang oleh aktivis Lekra diplesetkan menjadi “Manikebo” (sperma kerbau)- menyatakan bahwa Pancasila merupakan falsafah kebudayaan, bukan Komunisme atau Marxisme. Politik bukanlah sebagai panglima. Seni bersifat universal dan tidak boleh menghamba kepada politik atau penguasa. Baginya kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.

Jadi kita sudah bisa menyimpulkan sekarang, ketika Taufiq membacakan puisi “Angka-angka” di depan peserta Simposium 1965 yang juga dihadiri oleh eks seniman Lekra dan underbow PKI lainnya, tentu saja menjadi perang terbuka, berhadap-hadapan dan mendapatkan panggung. Panggung sastra Taufiq distop oleh orang-orang yang mungkin saja baginya dinilai sebagai bekas PKI atau KGB tadi. Bagi (sebagian) peseta simposium tersebut, tindakan Taufiq tak lain tak bukan adalah upaya provokasi, di tengah-tengah ikhtiar kolektif anak bangsa untuk meluruskan sejarah kelam 1965.

Memang di video terlihat yang pertama kali menyela pembacaan puisi Taufiq adalah Ilham Aidit (anak kandung D. N. Aidit-Ketua CC PKI) yang hingga kini nama D.N. Aidit masih divonis sebagai sosok jahat, kejam, di dalam namanya tersimpan keburukan, kumal dan bau dalam sejarah nasional bangsa ini. Aidit masih dicitrakan sebagai pengkhianat bangsa, pemberontak yang tak bisa dimaafkan bahkan bromocorah, oleh generasi tua yang berjaya di masa Orba dan generasi muda yang hanya mengenal Aidit dari buku-buku sejarah buatan masa lalu.

Sebagian peserta simposium 1965, pembaca berita dan yang menyaksikan video tentang aksi pengusiran tersebut, akan terbagi setidaknya ke dalam 3 kelompok. Pertama, tentu yang bersikap antipati dan tidak suka terhadap larik tiap-tiap bait puisi “Angka-angka” yang dibacakan Taufiq. Karena bernada tuduhan dan memanas-manasi forum yang notabene ada di antara pesertanya yang menjadi anggota PKI dulunya atau Lekra dan lainnya. Ketersinggungan itu sebenarnya kalaupun boleh dianggap “menuduh” dan “menyindir” PKI ada pada larik “....Sebabnya adalah mereka membantai bangsanya sendiri, di Indonesia, di Madiun mereka mendengar pembantaian....”.

Pertanyaan mendasarnya adalah kenapa harus tersinggung? Bukankah pembantaian di Madiun tersebut adalah fakta sejarah Muso dan Pemberontakan PKI 1948? Fakta sejarah tersebut diakui oleh para sejarawan dan diimani oleh Soekarno-Hatta sebagai sebuah upaya pemberontakan. Sampai-sampai seorang pejuang kiri Marxisme -juga berjasa besar bagi republik ini- yang bernama Tan Malaka menolak, menentang dan mengutuk pemberontakan PKI Muso 1948 itu. Bagi saya Taufiq tidak sedang berhalusinasi dalam menulis dan membacakan fakta sejarah yang ia konversi ke dalam baris-baris puisinya itu!

Kedua adalah kelompok yang jelas dan tegas konsisten membela Taufiq. Tentu kita sudah bisa menebak siapa, seperti aktivis organisasi Islam atau pegiat anti-komunis. Kelompok kedua ini hanya bicara di level media online yang tidak mainstream. Tapi kita lihat tak ada juga tokoh nasional, tokoh Islam dari ormas semisal NU, Muhammadiyah dan MUI yang membela Taufiq melalui media. Semua itu dapat dilacak di berita online maupun cetak mainstream. Paling juga bentuk pembelaan kepada Taufiq dilakukan di sosmed sebagai sebuah cuitan atau status dan broadcast yang bersifat temporer belaka, dari mereka yang menjadi pengagum kepenyairan beliau atau kumpulan anak-anak muda pegiat sastra yang juga mengidolakan syair-syairnya.

Tidak adanya pembelaan yang berarti untuk Taufiq agaknya wajar, karena dia bukanlah pemimpin ormas seperti NU, Muhammadiyah atau FPI. Bukan pula pengurus inti partai politik. Bukan pula pegiat jagad maya yang aktif berkicau di twitter seperti Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono, yang punya ratusan ribu pengikut. Jadi tak mengherankan, jika Taufiq sepi pemihakan. Karena dia tidak punya pasukan maya. Pada titik ini Taufiq berjuang dalam kesendirian namun tetap konsisten, semenjak era Manikebu yang ideologis, sampai kini di tengah budaya populer yang makin rumit.

Dan ketiga adalah kelompok yang tidak peduli. Karena berpikir bahwa baik simposium 1965 yang seolah-olah memberikan ruang perhatian untuk korban atau harapan bagi “negara yang harus meminta maaf kepada mereka korban pasca 1965” dan sikap anti-komunisme ala Taufiq Ismail sama-sama sia-sia. Sebab generasi muda saat ini akan menjawab sejarah 1965 dengan caranya sendiri tanpa ada intervensi negara atau tindakan “menakut-nakuti” cerita horor kebangkitan hantu yang bernama PKI dan Komunisme itu. Bahkan pada titik tertentu generasi muda ini tak peduli dengan peristiwa sejarah tersebut, karena asik dengan gawai dan obsesinya menjadi karyawan dengan gaji jutaan di perusahaan multinasional ternama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun