Strategi kemudian berkembang jadi skenario “kup PKI prematur” yang “sengaja dirancang untuk gagal” sehingga memberi “kesempatan yang sah dan memuaskan bagi AD untuk menghancurkan PKI dan membuat Soekarno sebagai tawanan niat baik AD” (sumber: Neville Maxwell, peneliti Inggris, Journal of Contemporary Asia 9 no. 2, 1979).
4.3. Ganti Dubes
Juli 1965, Dubes Jones yang dekat dengan Soekarno diganti dengan Dubes Marshall Green, Top Executive CIA di bidang subversif. Sebelumnya, Green ditugaskan di Korsel dan sukses membantu kudeta militer Jenderal Park Chung Hee. Green diberi wewenang untuk bersikap lebih keras terhadap Soekarno.
Seiring dengan itu, AS menjalankan “low-posture policy” dengan mengurangi peran intelijen mereka, termasuk pengurangan personil Kedubes AS besar-besaran, sebagai antisipasi kemungkinan chaos dan demonstrasi, sekaligus agar rencana konflik AD dengan PKI tampak seperti persoalan domestik (sumber: Bunnel, “American Low-Posture Policy, hlm 50).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa AS memang merancang skenario “kudeta komunis yang gagal” agar ada alasan bagi AD untuk menyerang PKI. Tapi belum sampai pada detail action plan. Tak sulit membayangkan bahwa ide tentang “kudeta gagal” -- yang gencar disosialisasikan oleh Dubes Jones di kalangan diplomat asing itu -- juga disalurkan ke aliansi lokal lewat penasehat civic action, Kol. George Benson, figur yang dihormati dan dikagumi ibarat mentor bagi para perwira intel, termasuk Ali-Yoga.
5. Isu Dewan Jenderal
5.1. Angkatan Kelima
Kembali pada situasi Konfrontasi. Seperti telah dikemukakan pada butir 3.1, pimpinan Komando AD tidak mendukung operasi Ganyang Malaysia, disebabkan para elite yang pro-Barat tak ingin perang dengan Inggris. Meski secara formal mendukung, namun di lapangan justru menyabot, serta membina relasi intel dengan pemerintah Inggris dan Malaysia.
Karena kurangnya dukungan AD terhadap Ganyang Malaysia, serta melihat tawaran bantuan peralatan militer dari RRC seperti diuraikan pada butir 3.2, Soekarno bermaksud membentuk “Angkatan Kelima”. Ia sebenarnya tak pernah menjelaskan apa dan siapa yang dimaksud dengan Angkatan Kelima. Jika dilihat dari Surat Keputusan Presiden, tampaknya yang dimaksud Angkatan Kelima adalah pasukan sukarelawan, dari kalangan mana saja.
Padahal sebenarnya, RRC tidak “diam-diam mempersenjatai PKI”, melainkan menawarkan bantuan peralatan militer kepada pemerintah RI secara resmi lewat jalur diplomatik (Menlu). Penggunaanya untuk operasi Ganyang Malaysia, bukan untuk kudeta atau perang saudaradengan AD. Jumlah persenjataannya juga untuk 40 batalyon saja, bukan untuk jutaan orang seperti yang kemudian dipropagandakan.
Menpangad Yani menolak pembentukan Angkatan Kelima. Hubungan AD semakin merenggang dengan Presiden. Sementara, di sisi lain, friksi ini membuat PKI jadi semakin merapat ke Presiden. Dari situ timbul isu adanya “beberapajenderalyangtidak puas dengan Presiden akan melakukan kudeta”. Isu ini menyulut kubu pro-Soekarno, baik di kalangan PKI, angkatan militer lain, termasuk faksi perwira-perwira AD yang pro-Soekarno.
Ketidaksukaan kelompok kiri terhadap kelompok kanan bahkan sampai ke masalah pribadi. Mereka menyoroti gaya hidup Yani cs yang mereka anggap kebarat-baratan dan borjuis. Sehingga, timbul istilah “kabir” (kapitalis birokrat). Juga sebutan-sebutan kebencian lain seperti “jenderal antek CIA” yang akan “menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi”. Dari situlah isu “Dewan Jenderal” menjadi panas.