Alhasil, Soeharto berhasil menguasai kembali Lapangan Monas dan RRI yang diduduki oleh 1000 tentara itu tanpa sebutir pelor pun: satu batalyon menyerahkan diri ke Kostrad, satu batalyon lari ke Halim (sumber: Katoppo, “Menyingkap Kabut Halim 1965”, hlm 129).
11.2. Bersihkan Halim
Sesudah Lapangan Monas dibersihkan, Soeharto mengarahkan perhatiannya ke Halim. Ia mengetahui bahwa Soekarno dan Supardjo berada di sana. Untuk mengisolasi Halim, ia melarang seluruh perwira AD pergi ke Halim, meski dipanggil Presiden sekalipun (Reksosamodra, “Memoar”, hlm 247-248).
Soekarno siang itu telah mengangkat Pranoto sebagai caretaker Pangad, dan memanggil Pranoto ke Halim. Namun Soeharto tak mengijinkannya. Sungguh luar biasa, seorang Pangkostrad memerintahkan Pangad untuk membangkang perintah Presiden selaku Panglima Tertinggi ABRI.
Soeharto mulai memberikan perintah-perintahnya kepada Presiden. Melalui kurir, sekitar jam 8 malam ia mengatakan pada Presiden agar segera meninggalkan Halim supaya tidak jadi korban dalam pertempuran yang akan terjadi. Soekarno kemudian meninggalkan Halim naik mobil menuju istana Bogor, dan tiba di sana jam 10 malam (sumber: Hughes, “End of Sukarno”, hlm 82).
11.3. Temukan Sumur Jenazah
Tanggal 3 Oktober, Soeharto diangkat Presiden menjadi Pangkopkamtib. Pada hari yang sama, ia langsung menemukan sumur tempat disembunyikannya jenazah korban G30S di Lubang Buaya.
11.4. Naik Daun
Soeharto tampaknya tahu persis apa yang harus dilakukan untuk mematahkan G30S, dikala sebagian besar perwira militer di Jakarta tak tahu harus bertindak bagaimana. Suatu tindakan yang dikatakan oleh Prof. Wertheim sebagai “efisiensi yang ajaib di tengah-tengah keadaan yang luar biasa membingungkan” (sumber: Wertheim, “Suharto and the Untung Coup”, hlm 53).
Selanjutnya, Prof. Wertheim dengan analisis yang tajam dan penuturan yang ajeg menulis bahwa G30S kelihatan begitu semrawut dan sia-sia karena merupakan operasi gadungan yang dibuat untuk dipatahkan dengan mudah (sumber: Wertheim, “Whose Plot?” hlm 204-205).
Menariknya, analisis Wertheim itu matching dengan pernyataan Dubes AS Howard Jones 6 bulan sebelum terjadinya G30S, “Dari sudut pandang kita, tentu saja, percobaan kup yang gagal oleh PKI akan jadi perkembangan yang paling efektif untuk memulai pembalikan kecenderungan politik di Indonesia” (sumber: “American-Indonesian Relations,” presentasi oleh Howard P. Jones kepada Chiefs of Mission Conference, Baguio, Filipina).
12. Laporan Tiga Badan Intelijen AS
Seperti telah dikemukakan di muka, temuan menarik dalam beberapa tahun terakhir adalah dibukanya beberapa arsip rahasia di AS, yang isinya dapat menjungkirbalikkan asumsi dan pemahaman kita selama ini.
Dokumen disusun bersama oleh CIA, NSA (National Security Agency) danDIA(Defense Intelligence Agency)di AS.Judulnya menggambarkan isinya:“The Prospects for and Strategic Implementations of a Communist Takeover in Indonesia” (Prospek dan Implikasi Strategis Pengambilan Kekuasaan Komunis di Indonesia). Dokumen itu disusun sebagai laporan kepada Presiden Lyndon B. Johnson. Untuk singkatnya, dalam tulisan ini dokumen tersebut kita sebut “Laporan CIA”.