Kol. Latief tidak disidangkan selama 13 tahun. Selama itu, ia dibungkam dan ditempatkan di sel pengasingan. Alasan pemerintah, Latief tidak disidangkan karena sakit-sakitan. Padahal, sejak tertangkap kakinya ditusuk bayonet hingga membusuk dan pincang seumur hidup, akibat sengaja tidak diberikan pengobatan(sumber: ibid., hlm 54-59).
Ketika disidang tahun 1978, Latief menyatakan bahwa pernyataan Soeharto di Der Spiegel itu tak masuk akal. Jika ia bermaksud membunuh Soeharto di RSPAD, seluruh gerakan menculik 7 jenderal di rumah masing-masing pasti berantakan. Ia bersikeras bahwa malam itu ia melaporkan adanya gerakan untuk menggagalkan kup Dewan Jenderal pagi itu, dan bahwa Soeharto sudah diberitahu pula sehari sebelumnya ketika Latief dan istri mengunjungi rumah Soeharto.
Tahun 1978 itu, Latief mengajukan permohonan pada Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Bagian Barat agar memanggil Presiden Soeharto dan Ibu Tien sebagai saksi a de charge(sumber: Eksepsi yang dibacakan oleh tertuduh Kol. Latief didepan sidang Mahmilti II Jawa Bagian Barat, 5 Mei 1978). Namun, tentu saja, permohonan ditolak Mahmilti dengan alasan permohonan itu tidak relevan.
Alhasil, Kol. Latief adalahsatu-satunya perwira pemimpin G30S yang tidak divonis hukuman mati seperti pimpinan G30S yang lain.
Tentang laporan Latief kepada Soeharto sebelum pelaksanaan G30S itu, Prof. Wertheim menulis bahwa -- terlepas dari Soeharto terlibat atau tidak -- setidaknya Soeharto membiarkan peristiwa G30S terjadi. Sebab, setidaknya, dia dilapori tapi tak lapor pada atasannya (Yani dan Nasution). Pembiaran seperti itu disebut "conspiracy of silence".
8.3. Dua Batalyon Kostrad G30S
G30S sebenarnya terdiri dari dua gerakan: satu gerakan diam-diam dan tersembunyi di Halim untuk menculik para jenderal, satu lagi gerakan terang-terangan berupa dua batalyon AD yang menduduki Lapangan Merdeka dan RRI (untuk menyiarkan pengumuman radio keesokan paginya).
Sekitar seribu prajurit di dekat Istana Merdeka ini terdiri dari Batalyon 454 dari Jateng dan Batalyon 530 dari Jatim. Kedua pasukan G30S itu dengan nyaman berada di dekat Markas Kostrad dan Mabes AD, tanpa berusaha menduduki atau melumpuhkannya terlebih dahulu. Tampaknya, dua batalyon G30S itu menganggap Kostrad dan MBAD bukan musuhnya.
Namun tak pernah terungkap, atas perintah siapa kedua komandan batalyon itu bergerak menduduki Lapangan Merdeka, sehari setelah dikunjungi Pangkostrad di perkemahannya.
9. Eksekusi G30S
9.1. Berantakan di Lapangan
Setelah bertemu Soeharto di RSPAD tanggal 30 September menjelang tengah malam itu, Latief pergi ke Halim. Supardjo datang bersama Syam. Supardjo memiliki posisi yang unik. Dia adalah "orang luar" (tak ikut perencanaan-perencanaan G30S sebelumnya) yang “ada di dalam” (hadir dan mengamati komando G30S). Supardjo tak bawa pasukan seperti yang dilakukan Untung, Latief dan Suyono. Tugas Supardjo, sesuai permintaan Syam, adalah menjadi jurubicara G30S ke Presiden setelah Dewan Jenderal itu ditangkap, untuk diambil tindakan oleh Presiden.
9.1.1. Tak Ada Komandan Tunggal
Disitu ia melihat 5 pemimpin G30S, yakni Untung, Latief dan Suyono (dari militer) serta Syam dan Pono (dari PKI). Sebagai petinggi militer (Panglima Komando Tempur II Kolaga), Supardjo kaget melihat persiapan di Halim. Tidak ada garis komando. Tidak ada komandan tunggal. Tidak jelas siapa pemimpin sesungguhnya. Kelima orang itu (Untung, Latief, Suyono, Syam dan Pono) sibuk berdebat sendiri, tak ada pengambil keputusan akhir.