Menurut Wikipedia, Kurikulum Merdeka adalah kurikulum pembelajaran intrakurikuler yang beragam dengan konten yang lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan memperkuat kompetensi. Dari sudut pandang saya sendiri, Kurikulum Merdeka adalah kurikulum berbasis kemampuan guru dan siswa yang berfokus pada suatu tema tertentu, dengan tujuan menghasilkan suatu produk berupa karya nyata (gelar karya).
Kurikulum Merdeka merupakan langkah baru yang diterapkan di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga SMK. Pendekatan ini tidak lagi menitikberatkan pada hafalan semata, tetapi pada praktik yang relevan dengan kebutuhan dunia nyata. Namun, implementasinya menuai beragam tanggapan. Beberapa siswa, guru, maupun orang tua merasa kurikulum ini menghadirkan tantangan yang tak mudah diatasi. Jadi, bagaimana sebenarnya pandangan siswa terhadap Kurikulum Merdeka? Berikut adalah beberapa poin berdasarkan pengalaman saya dan teman-teman:
1. Kurikulum Merdeka menjadi peluang besar bagi fleksibilitas dalam pembelajaran
Fleksibilitas dalam belajar adalah salah satu hal paling kami rasakan dalam Kurikulum Merdeka. KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) tidak lagi terbatas di dalam kelas, tetapi bisa dilakukan di tempat-tempat yang lebih santai seperti taman sekolah atau perpustakaan. Hal ini membuat suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dan tidak monoton.
Selain itu, kami mendapatkan kesempatan untuk aktif dalam proses belajar. Ketika saya dan teman-teman menyusun materi presentasi atau menjelaskan subbab pelajaran kepada yang lain, kami merasa memiliki kendali lebih atas apa yang kami pelajari. Proses ini terasa lebih bermakna dibandingkan hanya mendengarkan guru menjelaskan sepanjang waktu.
2. Kurikulum Merdeka mendorong siswa menjadi lebih kreatif
Proyek seperti P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) benar-benar mendorong kreativitas siswa. Dalam tema seperti "Kewirausahaan," kami diajak untuk berpikir di luar kebiasaan dengan menciptakan produk nyata, seperti makanan, kerajinan tangan, atau rencana bisnis sederhana. Proses ini mengajarkan kami untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan menemukan solusi dari berbagai tantangan yang muncul.
Misalnya, saat teman-teman dan saya membuat produk makanan, kami belajar mulai dari konsep, perencanaan, hingga eksekusi. Meskipun hasilnya tidak selalu sempurna, pengalaman ini membuat kami merasa lebih percaya diri dalam menciptakan sesuatu yang baru. Proyek ini juga memberikan kami kesempatan untuk menunjukkan hasil kerja kami kepada orang lain, yang tentu sangat memotivasi.
3. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran semakin besar
Keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar menjadi perubahan besar yang kami rasakan. Tidak hanya duduk mendengarkan guru, kami sering diminta untuk berpartisipasi langsung, baik melalui diskusi, simulasi, maupun kerja kelompok.
Bagi saya pribadi, kesempatan ini melatih keberanian berbicara di depan kelas dan bekerja sama dengan teman-teman. Misalnya, ketika diminta memimpin kelompok dalam menyelesaikan proyek, saya belajar untuk membagi tugas, mendengarkan ide-ide orang lain, dan memastikan semua anggota berkontribusi. Pengalaman ini memberikan pelajaran berharga yang tidak hanya relevan untuk sekolah, tetapi juga kehidupan sehari-hari.
4. Kurikulum Merdeka cukup menguras tenaga, waktu, dan biaya
Meski memberikan banyak manfaat, proyek-proyek dalam Kurikulum Merdeka sering kali terasa cukup melelahkan. Tugas-tugas yang harus diselesaikan sering membutuhkan waktu tambahan di luar jam pelajaran, belum lagi bahan-bahan yang harus kami cari sendiri.
Bagi teman-teman yang berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi, proyek semacam ini menjadi tantangan tersendiri. Beberapa dari kami bahkan harus mengorbankan waktu istirahat untuk menyelesaikan semua tugas tepat waktu. Hal ini membuat kami berharap ada dukungan lebih dari sekolah, baik dalam bentuk bantuan biaya maupun pengelolaan waktu yang lebih efektif.
5. Banyak sekolah yang belum siap menerapkan Kurikulum Merdeka
Ketidaksiapan sekolah sering kali menjadi hambatan dalam menjalankan Kurikulum Merdeka. Misalnya, beberapa fasilitas seperti komputer di laboratorium sering kali tidak berfungsi, sehingga proses belajar menjadi terhambat.
Selain itu, beberapa guru terlihat masih belum terbiasa dengan metode pengajaran yang baru. Sebagai siswa, kami kadang merasa bingung ketika guru tampak kurang percaya diri atau tidak tahu cara menjelaskan materi yang sesuai dengan pendekatan kurikulum ini. Hal ini membuat kami berharap ada lebih banyak pelatihan untuk guru, sehingga mereka bisa mendukung pembelajaran kami dengan lebih baik.
6. Siswa sering dituntut menghasilkan produk dalam waktu terbatas
Salah satu tantangan terbesar bagi kami adalah waktu yang terbatas untuk menyelesaikan proyek-proyek yang diminta. Sering kali, tugas-tugas tersebut harus diselesaikan dalam waktu singkat, sementara kami juga harus mengerjakan tugas lain dari pelajaran yang berbeda.
Sebagai contoh, ketika diminta membuat karya seni untuk P5, kami hanya diberi beberapa hari untuk menyelesaikannya. Akibatnya, hasil karya kami sering kali terasa kurang maksimal karena terlalu terburu-buru. Situasi ini membuat kami merasa belajar hanya untuk memenuhi target, bukan benar-benar memahami prosesnya dengan baik.
Kurikulum Merdeka membawa banyak perubahan positif dalam proses belajar, terutama dalam hal kreativitas dan keterlibatan siswa. Namun, tantangan-tantangan seperti keterbatasan fasilitas, waktu, dan biaya masih perlu diatasi agar implementasi kurikulum ini dapat berjalan dengan maksimal. Dengan dukungan yang tepat, Kurikulum Merdeka berpotensi menciptakan generasi yang lebih mandiri dan kreatif. Bagaimana menurut Anda? Apakah kurikulum ini sudah cukup memberikan manfaat sesuai harapan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H