Mohon tunggu...
Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mampukah Indonesia "Mengatur" AS dan China di G20?

18 September 2021   23:03 Diperbarui: 20 September 2021   21:47 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Presidensi G20 Indonesia 2022. (Sumber: kemlu.go.id)

Perjalanan sejarah kadang-kadang menempatkan sebuah bangsa di posisi penting dan kunci, bahkan ketika bangsa itu tidak menyadarinya. Itulah yang dialami Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo. 

Tanpa disadari banyak kalangan di dalam negeri, Indonesia seolah-olah "disuguhi" peluang apik untuk berperan besar dalam percaturan global.

Presiden Jokowi akan berkunjung ke Roma, menghadiri penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di ibukota Italia itu pada 30-31 Oktober 2021. Kunjungan Jokowi adalah untuk menerima "tongkat" estafet Presidensi G20, yang tahun ini dipegang Italia. Ini adalah momen yang krusial.

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, serta ekonomi yang baru pelan-pelan bangkit, Indonesia mendapat kepercayaan dari negara-negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, untuk memegang Presidensi G20. 

G20 beranggotakan antara lain: AS, China, Rusia, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, India, Jepang, dan Uni Eropa.

G20 adalah forum ekonomi global, yang awalnya dibentuk sebagai respons terhadap krisis ekonomi 1997-1998. G20 beranggotakan 20 negara, yaitu 19 negara utama penggerak ekonomi dunia --termasuk Indonesia-- ditambah perwakilan Uni Eropa, yang memiliki produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia.

G20 berkontribusi 85% dari PDB dunia, 75% perdagangan internasional, dan 80% investasi global. Populasi anggota G20 mencakup 2/3 dari penduduk dunia. 

Maka setiap langkah yang diambil G20 punya arti strategis. Kehadiran Indonesia di dalam G20 sering dipandang sebagai mewakili aspirasi dan pandangan negara-negara berkembang.

Mulai 1 Desember 2021 hingga 31 November 2022, Indonesia akan menjadi tuan rumah Presidensi G20. Rencananya, akan ada 150 pertemuan selama periode tersebut. Mulai dari pertemuan working group tingkat Sherpa, finance, sampai deputy.

Ujungnya adalah KTT G20, yang akan dihadiri oleh seluruh kepala negara dan kepala pemerintahan. Jumlah delegasi berbagai pertemuan itu sekitar 500 sampai 5.800 orang, dan ini adalah event sepanjang tahun.

Arti Politis yang Strategis

Ada beberapa manfaat besar yang akan diperoleh Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20. Mulai dari segi ekonomi, pembangunan sosial, maupun manfaat dari segi politik. Pertama, KTT G20 akan meningkatkan konsumsi domestik yang diperkirakan mencapai Rp 1,7 triliun. Ada penambahan PDB sebesar Rp 7,47 triliun, dan keterlibatan tenaga kerja sekitar 33.000 dari berbagai sektor.

Ajang G20 juga menjadi momentum untuk menampilkan keberhasilan dari beberapa kebijakan pemerintah RI. Diharapkan, ini juga akan mendorong rasa percaya dari para investor global untuk percepatan ekonomi, dan mendorong kemitraan global yang saling menguntungkan.

Menjadi tuan rumah KTT G20 juga punya arti politis yang besar dan strategis. Di samping merupakan apresiasi dunia terhadap Indonesia, ini juga sebentuk pengakuan bahwa Indonesia dianggap mampu, untuk ikut menentukan arah desain kebijakan pemulihan ekonomi global.

Kebijakan pemulihan yang dimaksud terutama adalah ekonomi global pasca-pandemi Covid-19. Tema Presidensi G20 di bawah Indonesia adalah "Recover Together, Recover Stronger," yang artinya pulih bersama dan pulih lebih kuat.

Selain membahas soal pemulihan ekonomi negara anggota di tengah pandemi, pertemuan G20 tahun depan juga akan membahas soal perubahan iklim, Global Taxation Principal, hingga inklusi keuangan.

Pengamat kebijakan luar negeri Noto Suoneto menyatakan, meskipun G20 dianggap berhasil mengatasi dampak resesi ekonomi global 2008, ternyata G20 tidak cukup kompak dalam mengatasi pandemi Covid-19. 

Krisis yang ditimbulkan Covid-19 memang bersifat lebih kompleks, lebih parah, dan multi-aspek.

Tantangan-tantangan yang muncul akibat pandemi Covid-19 mengungkapkan realitas di dalam G20, di mana terdapat kesenjangan kekuatan dan aspirasi di antara anggota-anggotanya. 

Hal ini menghasilkan langkah dan kebijakan G20 yang kurang koheren, lambat, dan kurang efektif dalam mengatasi berbagai dampak Covid-19.

Langkah-langkah aksi, yang diusulkan G20 untuk mengatasi dampak pandemi, tampaknya "tidak nyambung" dengan insentif-insentif masing-masing pemerintah. 

Setiap anggota tampak lebih mendahulukan tanggung jawabnya, untuk melindungi warga negaranya masing-masing, bukan G20 secara keseluruhan.

Predominasi AS dalam G20 juga menjadi masalah tersendiri. Di bawah kepemimpinan Donald Trump, misalnya, AS memperluas persaingannya dengan China ke dalam G20, sehingga mengganggu upaya-upaya kolektif untuk menangani pandemi.

AUKUS dan Persiapan Indonesia

Situasi seperti itu bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, ketika Presidensi G20 berada di tangan Indonesia. Sehingga Presiden Jokowi, didukung jajaran Kemlu RI yang berada di bawah komando Menlu Retno Marsudi, harus mengantisipasi hal ini dan melakukan langkah-langkah reformasi di dalam G20.

Presiden AS kini dijabat Joe  Biden, yang perilakunya lebih terprediksi dan terkontrol ketimbang Trump. 

Seperti dinyatakan Suoneto, yang menjadi host Foreign Policy Talks Podcast, Presiden Biden mungkin akan memberikan tingkat solidaritas G20 yang lebih besar. Meski demikian, ketegangan antara AS dan China tampaknya akan tetap ada.

Tantangan berat bagi Indonesia sebagai tuan rumah adalah bagaimana "mengatur" AS dan China. Tujuannya, agar persaingan pengaruh antara dua negara adidaya ini tidak berdampak negatif terhadap agenda-agenda G20.

Apalagi baru-baru ini, AS membuat langkah yang menggusarkan China. AS, Inggris, dan Australia membangun aliansi baru bertajuk AUKUS. Salah satu proyek AUKUS adalah membuat sejumlah kapal selam nuklir bagi Australia, untuk menyaingi kekuatan China di kawasan Indo-Pasifik.

Australia dengan demikian menjadi negara kedua yang diberi akses ke teknologi nuklir AS, untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir. Negara pertama adalah Inggris pada 1958.

Perkembangan AUKUS ini jelas tidak membantu ke arah terwujudnya rasa saling percaya antara AS dan China. 

Padahal dua negara besar itu berada di dalam G20, yang diharapkan bisa bekerja sama untuk menyukseskan program-program yang dicanangkan. Dengan kata lain, tugas Indonesia cukup berat, untuk memadukan gerak langkah AS dan China, serta negara-negara lain di G20.

Mereka diharapkan untuk fokus dan berkomitmen pada berbagai program bersama dan rencana aksi G20, yang bertujuan memberi solusi kolektif bagi problem-problem global. 

Apakah Presiden Jokowi, jajaran Kemlu RI, berbagai kementerian beserta lembaga pendukung lain sanggup memikul tanggung jawab itu? Kita doakan saja. ***

*Satrio Arismunandar adalah alumnus S3 Filsafat UI, Co-Founder Fokus Wacana UI, Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, dan Pemimpin Redaksi Majalah Pertahanan ARMORY REBORN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun