Setiap anggota tampak lebih mendahulukan tanggung jawabnya, untuk melindungi warga negaranya masing-masing, bukan G20 secara keseluruhan.
Predominasi AS dalam G20 juga menjadi masalah tersendiri. Di bawah kepemimpinan Donald Trump, misalnya, AS memperluas persaingannya dengan China ke dalam G20, sehingga mengganggu upaya-upaya kolektif untuk menangani pandemi.
AUKUS dan Persiapan Indonesia
Situasi seperti itu bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, ketika Presidensi G20 berada di tangan Indonesia. Sehingga Presiden Jokowi, didukung jajaran Kemlu RI yang berada di bawah komando Menlu Retno Marsudi, harus mengantisipasi hal ini dan melakukan langkah-langkah reformasi di dalam G20.
Presiden AS kini dijabat Joe  Biden, yang perilakunya lebih terprediksi dan terkontrol ketimbang Trump.Â
Seperti dinyatakan Suoneto, yang menjadi host Foreign Policy Talks Podcast, Presiden Biden mungkin akan memberikan tingkat solidaritas G20 yang lebih besar. Meski demikian, ketegangan antara AS dan China tampaknya akan tetap ada.
Tantangan berat bagi Indonesia sebagai tuan rumah adalah bagaimana "mengatur" AS dan China. Tujuannya, agar persaingan pengaruh antara dua negara adidaya ini tidak berdampak negatif terhadap agenda-agenda G20.
Apalagi baru-baru ini, AS membuat langkah yang menggusarkan China. AS, Inggris, dan Australia membangun aliansi baru bertajuk AUKUS. Salah satu proyek AUKUS adalah membuat sejumlah kapal selam nuklir bagi Australia, untuk menyaingi kekuatan China di kawasan Indo-Pasifik.
Australia dengan demikian menjadi negara kedua yang diberi akses ke teknologi nuklir AS, untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir. Negara pertama adalah Inggris pada 1958.
Perkembangan AUKUS ini jelas tidak membantu ke arah terwujudnya rasa saling percaya antara AS dan China.Â
Padahal dua negara besar itu berada di dalam G20, yang diharapkan bisa bekerja sama untuk menyukseskan program-program yang dicanangkan. Dengan kata lain, tugas Indonesia cukup berat, untuk memadukan gerak langkah AS dan China, serta negara-negara lain di G20.