Penafsiran sejarah memang harus selalu terbuka terhadap fakta-fakta dan temuan baru. Bahkan, penafsiran sejarah lama yang sudah mapan pun harus rela diubah atau direvisi, jika ada fakta-fakta atau temuan baru yang mendukung penafsiran baru. Nah, salah satu hal yang mungkin perlu "dikoreksi" adalah sejarah masuknya Islam ke Indonesia.
Sering disebut bahwa Laksamana Cheng Ho dari China berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di pulau Jawa. Namun, ada catatan dan temuan baru yang menyatakan, Cheng Ho itu adalah penganut Buddha, bukan Muslim.
Selain itu, ketika kapal armada Cheng Ho berlabuh di pantai timur Jawa, waktu itu sudah ada komunitas Muslim China yang tinggal di sana. Berarti, sebelum kedatangan Cheng Ho, sudah ada Muslim China yang datang dan lalu bermukim di sana.
Temuan sejarah ini mungkin menarik bagi kalangan civil society Indonesia, seperti para dosen, peneliti, sejarawan, pendakwah Islam, ulama, ormas-ormas Islam, yang berkepentingan dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia.
Temuan ini terungkap dalam webinar, yang mendiskusikan buku Islam di China Dulu dan Kini (Penerbit Buku Kompas, 2020) karya Novi Basuki. Dalam diskusi Ahad (29/8/2021) di Jakarta itu, hadir sebagai pembicara Novi Basuki, dengan penanggap sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam. Webinar yang diselenggarakan perkumpulan penulis Indonesia, Satupena, itu diikuti lebih dari 150 orang.
Bukti Langsung dan Tak Langsung
Dalam diskusi itu, Novi yang sedang mengambil studi doktoral di China mengatakan, bukti-bukti historis yang mengatakan Cheng Ho seorang Muslim tetap stagnan. Sementara, bukti-bukti yang mengatakan ia penganut Buddha terus bermunculan.
Bukti yang mengatakan Cheng Ho seorang Muslim adalah "bukti tak langsung," sedangkan yang mengatakan Cheng Ho penganut Buddha adalah "bukti langsung."
Dalam sutra yang dilelang di Balai Sotheby's pada 2015, Cheng Ho mengaku dirinya adalah "Cheng Ho, kasim Ming agung yang menganut Buddha dan mempunyai nama dharma Fu Jixiang."
Sedangkan, bukti keislaman Cheng Ho hanya berdasar pada epitaf ayahnya, yang seorang haji. Karena ayahnya haji, Cheng Ho kemudian diyakini juga sebagai seorang Muslim. Bahkan ada silsilah yang merunut genealogi Cheng Ho sampai pada Sayyid Ajjal Syamsuddin Umar.
Novi tidak menampik bahwa Cheng Ho dilahirkan dari keluarga Muslim. Namun, kata Novi, bukan tidak mungkin Cheng Ho berubah keyakinan di kemudian hari, karena Cheng Ho menjadi "abdi dalem" di kerajaan dinasti Ming sejak usia 11 tahun.
Tidak Ada Diplomasi Agama
Sejak awal, dinasti Ming diketahui sangat tidak ramah terhadap hal-hal yang berbau asing. Agama Islam dan hal-hal yang berasal dari Arab termasuk hal yang asing. Di bawah dinasti Ming, ada kebijakan pelarangan penggunaan bahasa, nama, busana, dan adat istiadat asing. Ini semacam asimilasi paksa, mirip yang diterapkan di Indonesia era Orde Baru.
Maka, karena lingkungan kerajaan yang tidak kondusif, ada dugaan Cheng Ho berganti agama ke Buddha, agama yang didukung dan direstui oleh dinasti Ming. Ada dugaan juga, Cheng Ho mungkin merasa perlu berganti agama, agar karirnya lancar dan akhirnya bisa menjadi Laksamana.
Bahkan, Novi menambahkan, Cheng Ho waktu mungkin saja menganut ajaran campuran "Islam Konghucu." Mirip "Islam Kejawen" di Jawa.
Menurut Novi, keagamaan Cheng Ho saja masih sangat bisa diperdebatkan. Apalagi misi pelayarannya yang disebut-sebut menyimpan "agenda tersembunyi" untuk menyebarkan Islam ke Nusantara. Namun, nyatanya Ma Huan tidak mencatat adanya misi "diplomasi agama."
Dia mencatat, Cheng Ho pernah nyekar ke makam Muslim dan juga membakar dupa di Kuil Mazu (dewi lautan) di Quanzhou. Ma Huan juga mencatat di Jawa, khususnya di pantai timur, banyak orang Tang (China) yang menganut Islam. Berarti sebelum Cheng Ho datang, mereka sudah Muslim.
Islam di China
Islam di China memang merupakan wacana menarik karena dua hal. Pertama, Islam adalah agama dengan jumlah umat terbanyak kedua di dunia saat ini, dengan sedikitnya 1,9 miliar penganut atau 24% dari populasi dunia (2020).
Kedua, China adalah negara dengan penduduk terbanyak di dunia, dengan 1,4 miliar penduduk atau 18% dari total populasi dunia (2021). Dari jumlah itu hanya sekitar 30 juta penduduk China yang memeluk agama Islam. "Salah satu penyebabnya adalah Revolusi Budaya era Mao Zedong yang memberangus eksistensi agama dan penganutnya termasuk Islam," ujar Novi Basuki.
"Namun, penerapan Revolusi Budaya dengan tangan besi sudah tak lagi dijalankan sekarang, sejak dikeluarkannya Dokumen No. 19/1982 termasuk Pasal 36 UUD, yang menjamin kebebasan beragama dan tidak beragama," lanjut mahasiswa doktoral Sun Yat Sen University, Guangzhou ini.
Novi Basuki selama 10 tahun terakhir menuntut ilmu di China. Sejak lulus dari SMA Nurul Jadid, Probolinggo, pada 2010, dia melanjutkan S1 di Huaqiao University jurusan Bahasa dan Budaya, serta S2 di Xiamen University jurusan Hubungan Internasional.
Untuk menulis bukunya itu, Novi melakukan riset terhadap naskah-naskah klasik ratusan tahun dalam bahasa China klasik, yang cukup banyak perbedaannya dengan bahasa Mandarin kontemporer.
Di dalam bukunya, Novi tak hanya menyinggung data historis tentang hubungan Cina dan Arab, melainkan juga peran Laksamana Cheng Ho, yang selama ini dianggap berpengaruh besar dalam penyebaran Islam di Indonesia melalui "jalur Tiongkok," untuk menyandingkan dengan "jalur India" dan "jalur Arab/Hadramaut" yang lebih populer. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H