Darmi menyaksikan Ucup,cucunya-meregang nyawa di atas dipan. Susah payah ia mencari napas, dan bila akhirnya udara itu ditemukan, disusul suara batuk yang lebih mirip suara robekan. Darmi tak punya uang untuk membawa cucunya ke dokter, tabungan terakhir dihabiskan membayar jasa dukun untuk membersihkan gubuk kecilnya dari dedemit.Â
Dan begitulah akhir hidup ucup. Meninggalkan seorang nenek tua tinggal sendirian di gubuknya yang kusam. Darmi menangis bersama tetangga terdekat. Darmi menangisi cucunya yang masih sangat muda, sedang para tetangga teriris hatinya membayangkan masa depan yang sepi untuk sang nenek tua.
Darmi beranak satu. Perempuan cantik yang sekaligus ibu dari Ucup itu bernama Amel. Namun sudah tak ingat lagi Darmi kapan terakhir kali ia melihat rupa anaknya itu. Darmi ingat momen-momen tertentu, yakni saat Amel mengaji di surau dan pulang beriringan bersama seorang anak laki-laki bernama Wahyu. Beberapa tahun kemudian guru ngaji bertamu ke rumah Darmi guna mencetuskan sebuah rencana menikahkan Amel dengan Wahyu.Â
"lebih baik dinikahkan bu. saya sudah liat mereka saling mau. daripada jadi fitnah, amit-amit jadi zinah!" kata Guru Ngaji itu, sibuk betul tangannya memperbaiki sorban yang kian lama kian longgar.
Saat itu, Darmi manut saja. Tak peduli kedua mempelai adalah bocah-bocah tengik yang masih senang main petak umpet, akad dilaksanakan, dihadiri kerabat dekat yang tertawa penuh basa-basi serta tetangga yang datang berlagak peduli. Semua tersenyum di akhir hari, Darmi lega, setidaknya acara pernikahan berjalan lancar.
Setahun kemudian, Amel menjanda. Keduanya berpisah baik-baik setelah puluhan pertengkaran yang tidak baik. Setahun kemudian Amel dijemput seorang lelaki jakarta.
"Kerja bu." kata Amel pada ibunya
"kerja apa? kamu kan masih 18 tahun" tanya Darmi pada putrinya
"di cafe bu, tenang saya jagain Amel" tanpa ditanya, laki-laki berbau asap rokok itu menjawab.
Amel sejak itu pulang hanya seminggu sekali. Pulang membawa susu, popok, dan baju baru untuk Ucup. Sabtu datang, berangkat lagi minggu. Lama kelamaan Amel bahkan tak menginap.Â
Datang bak tukang listrik yang mengecek meteran. Pada kali terakhir Amel pulang, Amel menyalimi tangan ibunya-sesuatu yang hanya ia lakukan bila sedang ada maunya- dan sejak itu Amel tak pernah pulang. Darmi tak punya telepon genggam, tak ditinggalkan pesan, tak juga ciuman perpisahan.Â
Darmi meneruskan hidup dengan menjadi kuli di sawah. Apa saja Darmi kerjakan. Mulai dari mencabuti rumput hingga menggembala kambing. Tak perlu waktu lama bagi Ucup untuk ikut serta. Segera setelah kedua kakinya cukup kuat berlari, Ucup telah resmi jadi kawan kerja Darmi.
Darmi tak punya cukup uang untuk menyekolahkan Ucup. Ucup juga tak kepikiran ingin sekolah, karena sejak awal hidupnya ia lebih banyak berbincang dengan kambing daripada anak manusia. Walau begitu, Darmi mengacari Ucup berbagai hal yang ia tau. Pada Usia 10 tahun, bermodalkan golok tua dan sumbangsih bambu dari tetangga, Ucup telah berhasil membuat kandang ayam sendiri. Ucup mungkin tak sekolah, namun ia bukan anak yang bodoh.
Walau tak pernah melihat langsung, Ucup bisa mengenali ibu, ayah dan kakeknya melalui album foto. Ucup tau kakeknya meninggal tertimpa tanah saat menggali tambang, tau pula bahwa ibu dan ayahnya masih hidup. Namun ia tak pernah ingin mencari.
"kalau kamu sudah besar, kamu susul ibumu" harap Darmi.
Ucup tak pernah menjawab keinginan Darmi sampai hari kematiannya tiba.
"Nini gausah cari ibu, cukup Nini"
Berkat bantuan para tetangga-yang salah satunya bekerja sebagai supir kontainer di priok-Amel berhasil ditemukan. Kini, menurut laporan si supir, Amel menikah dengan seorang pengusaha otomotif sukses nan mahsyur. Rumahnya di daerah kelapa gading, tiap hari minum smoothies, tiap minggu memandikan anjing pomeranian di salon hewan paling mahal se-DKI. Entah apa yang dipikirkan si supir hingga ia menceritakan detil-detil tak penting ini pada Darmi.Â
Berangkatlah Darmi beserta para pengawalnya ke Jakarta, menaiki carry tua berwarna merah muda. Mobil semakin penat sebab para tetangga nampaknya lebih antusias ingin melabrak Amel. salah satu dari mereka bahkan membisikan pada Darmi sebuah kalimat pembuka saat ia bertatap muka dengan putrinya nanti, disusul kalimat lain bila kalimat pembuka tidak berfungsi.
Di depan gerbang rumah megah itu Darmi terpaku. Hatinya berdebar, seperti tubuh putrinya memanggil-manggil dari dalam, minta dipeluk.Â
"Ini rumah bu Amel pak?" tetangga yang paling muda turun dan bertanya pada satpamÂ
"betul" jawab pak satpam dingin.
Darmi meletakkan satu tangannya di gerbang besi itu. Ia mendongak, memerhatikan tiap sudut dari kastil yang megah berdiri di hadapannya. Sukma nya bergetar. Menahan tangis, ia berjalan pelan ke arah Satpam.
"Saya ibunya" Ucap Darmi singkat, Satpam itu berdiri dan memeriksa Darmi dari ujung kepala hingga kaki.
"saya titip pesan, sampaikan pada Amel anaknya meninggal minggu lalu."
Satpam itu menyeringai, lagi, matanya memeriksa darmi dari ujung kepala hingga kaki. Darmi berpaling, melihat sekali lagi kastil besar itu. Ia berdiri mematung, para tetangga di belakangnya gelisah menunggu apa yang akan dilakukan Darmi selanjutnya.Â
Saat suasana mulai riuh karena pak supir turun dan bersitegang dengan satpam karena tatapan merendahkannya pada si carry tua, seekor anak kucing datang menghampiri Darmi. Menyundul-nyudulkan kepalanya pada ujung sendal Darmi. Sang Nenek tua menggendong anak kucing itu, ia lihat mata kecilnya, bulu-bulu tipis warna jingga, juga hidung kecil merah jambu. Â
"Ni Darmi, ayo kita masuk" desak seorang wanita paruh baya anggota rombongan
"pulang neng, kita pulang saja" kata Darmi tegas
"loh ni, ini kan rumah si Amel tuh, Nini kalo ketemu Amel gausah hidup susah di gubuk lagi" seru pak RT-orang yang tadi juga menyiapkan kalimat-kalimat untuk Darmi.
Darmi bergeming, ia masuk ke mobil, memangku si anak kucing.
Langit berubah menjadi gelap. Panas membakar tadi perlahan menghilang. Rintik-rintik air mulai berjatuhan, disusul gerimis yang bising. Rombongan Darmi bergegas menaiki mobil. Perbincangan tak lagi soal Amel yang durhaka, Amel yang kaya, Amel yang menelantarkan ibunya. Kini, para tetangga bersungut-sungut. Darmi si Nenek Tua kembali ke kampung membawa anak kucing botak kutuan, Â alih-alih membawa uang untuk melanjutkan hidupnya.Â
"maaf ya, saya tak bawa pulang uang untuk mengupahi kalian semua" kata Darmi, tiba-tiba
"Ni, bukan masalah duit, kita antar Nini..."
"tentu bukan. Amel sudah pilih hidup yang dia mau, dia bisa datangi saya kalau dia mau, tapi dia gapernah lakukan itu" kata Darmi
"Benar kata Ucup, saya gaperlu cari Amel" kata Darmi lagi
Tamat.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H