Darmi meletakkan satu tangannya di gerbang besi itu. Ia mendongak, memerhatikan tiap sudut dari kastil yang megah berdiri di hadapannya. Sukma nya bergetar. Menahan tangis, ia berjalan pelan ke arah Satpam.
"Saya ibunya" Ucap Darmi singkat, Satpam itu berdiri dan memeriksa Darmi dari ujung kepala hingga kaki.
"saya titip pesan, sampaikan pada Amel anaknya meninggal minggu lalu."
Satpam itu menyeringai, lagi, matanya memeriksa darmi dari ujung kepala hingga kaki. Darmi berpaling, melihat sekali lagi kastil besar itu. Ia berdiri mematung, para tetangga di belakangnya gelisah menunggu apa yang akan dilakukan Darmi selanjutnya.Â
Saat suasana mulai riuh karena pak supir turun dan bersitegang dengan satpam karena tatapan merendahkannya pada si carry tua, seekor anak kucing datang menghampiri Darmi. Menyundul-nyudulkan kepalanya pada ujung sendal Darmi. Sang Nenek tua menggendong anak kucing itu, ia lihat mata kecilnya, bulu-bulu tipis warna jingga, juga hidung kecil merah jambu. Â
"Ni Darmi, ayo kita masuk" desak seorang wanita paruh baya anggota rombongan
"pulang neng, kita pulang saja" kata Darmi tegas
"loh ni, ini kan rumah si Amel tuh, Nini kalo ketemu Amel gausah hidup susah di gubuk lagi" seru pak RT-orang yang tadi juga menyiapkan kalimat-kalimat untuk Darmi.
Darmi bergeming, ia masuk ke mobil, memangku si anak kucing.
Langit berubah menjadi gelap. Panas membakar tadi perlahan menghilang. Rintik-rintik air mulai berjatuhan, disusul gerimis yang bising. Rombongan Darmi bergegas menaiki mobil. Perbincangan tak lagi soal Amel yang durhaka, Amel yang kaya, Amel yang menelantarkan ibunya. Kini, para tetangga bersungut-sungut. Darmi si Nenek Tua kembali ke kampung membawa anak kucing botak kutuan, Â alih-alih membawa uang untuk melanjutkan hidupnya.Â
"maaf ya, saya tak bawa pulang uang untuk mengupahi kalian semua" kata Darmi, tiba-tiba