Mohon tunggu...
Satrio Anugrah
Satrio Anugrah Mohon Tunggu... Lainnya - Football Coach, Football Writer

Menulis untuk menyenangkan diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Tuchel, Seorang Idealis

27 Januari 2021   15:49 Diperbarui: 28 Januari 2021   21:58 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thomas Tuchel saat memberi arahan dalam pertandingan semifinal Liga Champions antara RB Leipzig vs PSG di Stadion Luz di Lisbon pada 18 Agustus 2020. Tuchel dikabarkan akan menggantikan Frank Lampard sebagai pelatih Chelsea. (Foto: AFP/MANU FERNANDEZ via kompas.com)

Dua hari terakhir ada dua nama yang jadi trending topic di Twitter. Keduanya adalah pelatih sepakbola, dan putaran nasib memertemukan mereka. 

Frank Lampard, dipecat. Seorang Legenda yang telah menjadi ikon klub nyatanya tidak membuat ia kebal dari pemecatan. Tidak seperti keputusan pengangkatannya yang bersifat emosional, pemecatan ini adalah langkah rasional yang diambil Abramovic dan kolega. Walau sudah pasti tidak mudah melakukannya.

Tomas Tuchel di lain sisi, diproyeksikan Chelsea sebagai pengganti. Tidak ada jaminan bahwa Tuchel akan melakukan pekerjaan yang lebih baik dari Lamps. Tiada yang tahu apakah ia masih akan menjadi pelatih Chelsea sebelum kontraknya berakhir 18 bulan kedepan. Tapi kalau kita bicara Tuchel, maka kita bicara idealisme.

Tuchel menampilkan sepakbola yang menarik dilihat. Menyerang dengan penguasaan bola satu waktu, kemudian di waktu yang lain memeragakan tontonan yang pragmatis nan efektif. Seperti para pelatih yang meninggalkan sidik jari pada perkembangan sepakbola modern, Tuchel adalah seorang idealis yang kadang sulit dimengerti. 

di Mainz, Tuchel melatih para pemain muda dan membuat mereka mampu mencapai potensi maksimal. Pekerjaan bagus disana membawanya menjadi suksesor Juergen Klopp di Dortmund. 

Gegenpressing yang secara fisik sangat melelahkan beradaptasi menjadi permainan menyerang satu dua sentuhan yang menawan. Sayang, perseturuan dengan direksi membuat ia harus mengundurkan diri lebih cepat. 

PSG yang gagal juara di bawah komando Unai Emery menghubungi Tuchel. Nasser Al Khelaifi meminta dua hal, yang pertama kembali menguasai prancis, dan yang kedua menaklukkan eropa. 

Bermodalkan Neymar dan Mbappe, serta beberapa pemain bintang di berbagai posisi, target ini diamini Tuchel. Tak butuh waktu lama, Klub asal Paris kembali menguasai Prancis. 

Tuchel juga menorehkan sejarah baru di kompetisi eropa dengan membawa PSG ke Final Liga Champions pertama mereka sepanjang sejarah klub berdiri.

Performa naik turun yang dialami klub paska kekalahan di final itu kemudian memicu perselihan antara Tuchel dengan Leonardo, Direktur PSG. Tuchel merasa direksi tidak serius mendatangkan pemain pengganti untuk Cavani dan Silva, dua legenda PSG yang berakhir kontraknya. Seperti di Dortmund, keributan ini berakhir dengan pemecatan.

Tuchel adalah seorang idealis. Ia punya sebuah gagasan besar bagaimana sepakbola seharusnya dimainkan. Pria asal jerman butuh lingkungan yang mendukung serta waktu yang cukup untuk mengimplementasikan ide-idenya. 

Seperti Johan Cruyff, ia adalah pembangkang. Membenci aturan dan tradisi, percaya bahwa pelatih jugalah seniman yang harus dihargai. Seperti Bill Shankly, ia berani menentang para petinggi. 

Tuchel tidak takut untuk mengemukakan pendapat, menyejajarkan diri dengan pemilik klub dan menuntut setiap orang untuk bekerja keras agar ide-idenya terimplementasi dengan baik.

Begitulah para pemikir. Memegang teguh apa yang mereka percayai. Kalau Tuchel memilih nurut pada keputusan klub, pasti kini ia masih di Dortmund

Begitulah para Filsuf. Berjalan sendirian adalah hal yang lumrah. Penting memiliki sebuah gagasan, lebih penting lagi berani mengutarakannya. Kalau ia tak mendamprat wajah direksi, ia pasti masih di PSG kini. 

Begituah John Lennon, Steve Jobs, dan Stanley Kubrick. mereka tidak akan jadi John Lennon, Steve Jobs, dan Stanley Kubrick kalau mereka setuju menyerah pada ide sendiri dan mengikuti ide orang lain.

Roman Abramovic kini memiliki pelatih/pemikir/filsuf brilian. Jangan coba mengerti dia Roman. Turuti saja apa maunya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun