Apa jadinya jika para bayi, yang akan menjadi insan penerus bangsa, menggunakan vaksin yang ternyata tidak resmi/palsu? Berbagai spekulasi dan kecemasan berkembangan dimasyarakat. Sebagian pihak mengatakan bahwa akibat dari pemberian vaksin palsu adalah bayi tidak memiliki daya imunitas yang tinggi, dan sebagain lain mengatakan bahwa ini merupakan ancaman besar bagi harapan terciptanya para penerus bangsa yang sehat dan cerdas.
Persoalan vaksin palsu memang sangat meresahkan, namun yang perlu diperhatikan ialah mengapa hal ini bisa terjadi, dan siapa yang semestinya harus bertanggung jawab? Pemakaian vaksin palsu tidak hanya dilakukan dibeberapa rumah sakit kecil, namun beberapa rumah sakit besar juga diduga menggunakan vaksin palsu tersebut. Beberapa pihak berdalih bahwa pemakaian vaksin palsu ini akibat langkanya vaksin resmi dari beberapa distributor resmi. Kelangkaan vaksin ini, disebabkan kosongnya vaksin yang diproduksi oleh perusahaan Biofarma, sebagai perusahaan ditunjuk pemerintah sebagai produsen vaksin.
Permasalahan kelangkaan vaksin ini ternyata jauh-jauh hari telah disampaikan kepada Parlemen, dan Parlemen telah menyampaikan persoalan tersebut kepada Direkur Jendral Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesahatan. Namun sepertinya persoalan ini tidak semenarik persoalan nasional lainnya, sehingga akibatnya banyak rumah sakit yang “terpaksa” menggunakan vaksin palsu tersebut.
Terdapat beberapa pihak yang saat ini mulai saling lempar tanggung jawab. Pihak rumah sakit sebagai tempat dimana masyarakat mendapatkan vaksin mulai berdalih bahwa mereka tidak tahu bahwa vaksin yang mereka pakai adalah palsu, serta juga berdalih terjadinya kelangkaan vaksin yang diproduksi oleh Biofarma sehingga memakai vaksin milik produsen lain, yang kini diketahui merupakan vaksin yang tidak menggunakan kandungan yang seharusnya/palsu.
Belakangan beberapa dokter telah ditetapkan sebagai tersangka dalam penggunaan vaksin palsu. Serta kalau mau jujur, permasalahan vaksin palsu ini bermula dari kurangnya pengawasan dan keseriusan pemerintah untuk memastikan ketersediaan dan penggunaan vaksin yang resmi. Lalu, siapa yang sesungguhnya harus bertanggungjawab?
Penetapan beberapa dokter sebagai tersangka merupakan tindakan yang dapat dikatakan keliru. Seseorang dapat dijadikan tersangka jika ia telah melakukan kesalahan, baik itu sengaja maupun lalain, dan telah melanggar peraturan perundnag-undangan yang berlaku. Apakah para dokter telah bersalah? Seseorang dapat dikatakan bersalah jika ia menyadari atau sedikitnya mengetahui bahwa tindakannya tersebut akan menimbulkan suatu keadaan yang dilarang dan diancam oleh hukum. Dalam artian bahwa seseorang dapat dikatakan bersalah jika ia telah memiliki niat untuk berbuat jahat, atau setidaknya dia mengetahui suatu akibat buruk yang akan terjadi, namun lalai dalam mengantisipasi agar akibat tersebut tidak terjadi.
Para dokter yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka, bekerja pada rumah sakit yang menggunakan vaksin tersebut. Vaksin palsu yang berada dirumah sakit tersebut, merupakan barang yang dibeli dan dimiliki oleh rumah sakit. Dokter merupakan pihak yang bekerja didalam rumah sakit tersebut. Artinya, jika yang dipersoalkan itu adalah penggunaan vaksin, maka yang seharusnya dipermasalahkan adalah, mengapa vaksin palsu itu dibeli dan dimiliki oleh rumah sakit?
Dokter hanyalah pihak yang mengerjakan apa yang menjadi kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai pihak yang bekerja bagi rumah sakit tersebut. Didalam hukum pidana dan perbuatan melawan hukum dalam perdata, seseorang yang diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, jika perbuatan itu atas dasar melaksanakan tugas atau perintah yang diberikan oleh atasan atau instansinya, maka dia tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau dengan kata lain perbuatanya tersebut dibenarkan secara hukum.
Pembenaran tersebut tidak menghilangkan unsur perbuatan melawan hukum atas penggunaan vaksin tersbut, namun pembenaran tersebut menunjukan bahwa ada pihak lain yang secara hukum seharusnya dan wajib bertanggung jawab. Dalam hal ini pihak rumah sakitlah yang seharusnya bertanggung jawab.
Pihak rumah sakit sebagai instansi yang “mempekerjakan” dokter, bertanggungjawab atas setiap perbuatan melanggar hukum, yang dilakukan oleh pegawainya, termasuk dokter yang dipekerjakannya, selama tindakan perbuatan melawan hukum tersebut masih dalam koridor tanggungjawab dan kewajibannya.
Tindakan pihak rumah sakit yang telah membeli vaksin palsu tersebut, meskipun pihak rumah sakit mengetahui bahwa vaksin tersebut tidak resmi karena bukanlah vaksin yang diproduksi oleh produsen resemi, merupakan bentuk kesalahan yang dilakukannya, karena secara sadar telah membeli vaksin yang tidak memenuhi standar kesehatan yang diwajibkan, atau dengan kata lain membeli vaksin yang palsu. Kesalahan ini merupakan unsur yang sangat penting dalam menuntut pertanggungjawaban terhadap suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Sebagai pihak yang telah bersalah, maka pihak rumah sakit wajib mempertanggungjawabkan kesalahan tersbut.
Siapa orang yang secara hukum dapat diminta pertanggungjawabannya dari satu instansi rumah sakit yang telah membeli vaksin palsu? Pihak yang membuat keputusan dalam pembelian vaksin tersebut merupakan pihak yang diminta pertanggungjawabnnya. Rumah sakit hanya bisa bertindak dalam hubungan hukum hanya melalui orang-orang yang bekerja untuk kepentingan rumah sakit dan atas nama kepentingan rumah sakit. Pihak yang pembuat keputusan ini menjadi pihak yang mewakili kepentingan rumah sakit.
Sebagai pihak yang mewakili rumah sakit, maka pihak yang membuat kebijakan pembelian ini memiliki kewajiban untuk berhati-hati dan teliti dalam setiap kebijakan yang dilakukannya (duty of care). Kewajiban tersebut merupakan kewajiban hukum yang disandangnya sebagai pihak yang mewakili kepentinga rumah sakit. Serta kewajiban tersebut untuk memastikan pertama agar tindakan yang dilakukan olehnya sesuai dengan tanggungjawabnya, dan yang kedua bertujuan agar tindakan yang dilakukannya tersebut tidak merugikan pihak rumah sakit, sebagai tempat dimana ia bekerja dan yang pihak yang kepentingannya diwakilinya.
Salah satu bentuk pelaksanaan duty of care ialah pembuat keputusan harus memastikan setiap kebijakan yang diambilnya tersebut tidak bertentangan dengan hukum, karena jika itu bertentangan dengan hukum, maka pihak pembuat keputusan sendiri yang akan bertanggungjawa secara pridari.
Maka dengan demikian semestinya sebelum ia membuat keputusan dalam membeli vaksin tersebut, pembuat kebijakan memiliki kewajiban untuk memastikan dan memeriksa bahwa vaksin yang dibeli ialah vaksin yang secara hukum adalah legal, dan diproduksi oleh produsen yang resmi. Jika kewajiban itu tidak dilakukan, dalam artian pihak pembuat keputusan tidak memastikan dan memeriksa secara cermat, maka ia telah lalai dalam melakukan suatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya. Kelalaiannya tersebut secara hukum dijadikan sebagai bentuk kesalahannya, dengan demikian harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan hukum yang dilanggarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H