Melepaskan Yang Bukan Milik Kita
Peristiwa kehilangan itu mungkin sudah secara alamiah akan menjadi pemicu rasa kecewa pada diri kita terhadap momen itu sendiri. Yang berarti bahwa sebenarnya kita lebih menyetujui konsep kepemilikan itu bersifat kekal. Tapi kita lupa bahwa kita harus menerima konsep yang sudah kita sepakati di awal sejak kita lahir bahwa, kita hanyalah kertas kosong yang tidak memiliki apapun. Kemudian kita datang ke dunia. Segala sesuatu yang kita dapatkan di dunia ini hanyalah fasilitas dari Tuhan untuk kita menjalani hidup dengan skenario - skenario tertentu.Â
Dalam pangung drama kehidupan, kita itu hanya berperan. Terlepas dari apakah kita menjadi seorang giver atau receiver. Itu hanyalah peran yang sudah diberikan oleh Sang Sutradara yaitu Tuhan yang menciptakan semua peran dalam panggung ini. Ketika drama atau peran kita sudah selesai, yaudah properti yang kita gunakan dalam drama akan di kembalikan ke pemilik properti. Dan kita tidak bisa mengklaim bahwa itu adalah milik pribadi.Â
Ini memang konsep yang sebetulnya sederhana tapi sangat sulit untuk kita terima. Tapi terlepas dari semua kesimpulan yang ada, pada akhirnya kita pun akan memahami bahwa kesempuraan dalam bersikap untuk menerima kenyataan yang pahit memang tidak semua orang memiliki kapasitas itu atau bahkan mungkin tidak ada kalaupun ada mungkin tidak secara konsisten. Kita hanya bisa berusaha untuk mencapai atau mendekati setidaknya setengah dari kesempurnaan itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H