Di sebuah ruang kelas yang remang-remang, sekelompok mahasiswa sastra berkumpul untuk membahas buku "Bunga Penutup Dosa" karya Idrus. Di tengah hiruk pikuk diskusi, muncul suara yang menyeruak di antara dominasi pemikiran laki-laki.
"Kok masih banyak yang memandang perempuan sebagai objek seksual, sih? Padahal, bukan itu inti ceritanya. Ada pesan yang lebih dalam tentang kebebasan perempuan!" Suara Rani, mahasiswi yang memiliki ambut pendek berwarna biru, menggelegar.
Rani, seorang pejuang feminis muda, tak pernah takut bersuara. Ia menyuarakan kegelisahan tentang pandangan yang masih dominan terhadap perempuan dalam sastra. Rani melihat bagaimana perempuan sering digambarkan sebagai objek seksual, atau figure yang lemah dan tergantung pada laki-laki.
"Ya, kalau masih melihat perempuan hanya dari sudut pandang seksualitas, artinya kita masih terjebak dalam framing patriarki," ujar Arya, seorang mahasiswa laki-laki yang ikut terusik oleh pemikiran Rani.
Arya mengakui bahwa ia pun pernah terjebak dalam pola pandangan yang dominan terhadap perempuan. Namun, setelah memperhatikan pendapat Rani, ia mulai mempertimbangkan ulang pemahaman tentang sastra dan perannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
"Aku nggak mau sastra cuma dijadikan alat untuk menegakkan norma patriarki. Sastra harus menjadi media untuk menguak peran perempuan yang sebenarnya," kata Rani, matanya berbinar antusias.
Diskusi tersebut menjadi semakin panas ketika Rani mengungkapkan pandangan kritis terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan dalam masyarakat. Rani mencontohkan bagaimana perempuan sering dikekang oleh norma-norma sosial yang menekan dan menghukum perempuan yang berani melawan kemapanan.
"Sastra feminis adalah bentuk protes dan resistensi terhadap ketidakadilan gender yang merata di masyarakat," tegas Rani.
Rani menjelaskan bagaimana sastra feminis menawarkan sudut pandang baru tentang perempuan, mengenalkan perempuan sebagai subjek yang berdiri sendiri, yang memiliki keinginan dan kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri.
"Sastra feminis bukanlah sekedar tentang perempuan, tapi juga tentang keadilan dan kesetaraan bagi semua manusia. Sastra feminis mengajak kita untuk menentang segala bentuk penindasan dan ketidakadilan," tegas Rani.
Rani membawa suara perempuan yang sering terabaikan. Ia menentang stigma dan ketidakadilan yang dialami perempuan dalam masyarakat. Ia menyebarkan semangat feminis melalui sastra, mengajak semua orang untuk memahami perempuan dengan lebih dalam dan menghormati hak-hak perempuan yang sama dengan laki-laki.
Di tengah diskusi yang mendalam, Rani mencoba menciptakan ruang yang aman bagi semua orang untuk berbicara tentang gender tanpa rasa takut atau dihakimi. Ia mengajak para mahasiswa untuk membaca karya-karya perempuan, seperti karya Syaiful W. Harahap, dan menganalisisnya dengan kacamata feminis.Â
"Menjadi feminis bukanlah menghujat laki-laki, tapi mengajak semua orang untuk memahami perempuan dengan lebih dalam," tegas Rani.
Rani mengajak para mahasiswa untuk berpikir kritis tentang peran gender dalam masyarakat dan mencari jalan untuk menciptakan kesetaraan gender yang sejati.
"Saya sempat merasa ketakutan untuk mengungkapkan pendapat tentang feminis di kelas," akui Fajar, mahasiswa laki-laki yang selama ini terdiam menyaksikan diskusi panas tersebut.
"Saya takut dianggap lemah atau di bully oleh teman-teman lain," lanjutnya sambil menunduk.
Rani tersenyum hangat. "Jangan takut, Fajar. Berbicara tentang feminis bukanlah sesuatu yang mengerikan. Justru, kita harus berani bersuara untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua orang."
"Sastra feminis memiliki kekuatan untuk merubah cara pandang kita terhadap gender," ujar Rani, matanya berbinar antusias.
"Saya mulai mengerti sekarang," kata Fajar, suaranya menunjukkan ketertarikan yang baru terbangun.
Diskusi malam itu menorehkan jejak dalam hati para mahasiswa. Rani, dengan suara feminin yang teguh dan pemikiran yang kritis, telah menciptakan perubahan yang signifikan. Ia mengajak para mahasiswa untuk menemukan makna baru dalam sastra dan mengukuhkan kesetaraan gender sebagai nilai yang penting dalam kehidupan.
Di balik suara feminin yang bersuara, Rani berhasil menguak keterbatasan pemikiran yang dominan di lingkungan akademis. Ia mengajak semua orang untuk melihat sastra sebagai wadah untuk merangkul keberagaman dan menciptakan dunia yang lebih adil dan setara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H