Di tengah diskusi yang mendalam, Rani mencoba menciptakan ruang yang aman bagi semua orang untuk berbicara tentang gender tanpa rasa takut atau dihakimi. Ia mengajak para mahasiswa untuk membaca karya-karya perempuan, seperti karya Syaiful W. Harahap, dan menganalisisnya dengan kacamata feminis.Â
"Menjadi feminis bukanlah menghujat laki-laki, tapi mengajak semua orang untuk memahami perempuan dengan lebih dalam," tegas Rani.
Rani mengajak para mahasiswa untuk berpikir kritis tentang peran gender dalam masyarakat dan mencari jalan untuk menciptakan kesetaraan gender yang sejati.
"Saya sempat merasa ketakutan untuk mengungkapkan pendapat tentang feminis di kelas," akui Fajar, mahasiswa laki-laki yang selama ini terdiam menyaksikan diskusi panas tersebut.
"Saya takut dianggap lemah atau di bully oleh teman-teman lain," lanjutnya sambil menunduk.
Rani tersenyum hangat. "Jangan takut, Fajar. Berbicara tentang feminis bukanlah sesuatu yang mengerikan. Justru, kita harus berani bersuara untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua orang."
"Sastra feminis memiliki kekuatan untuk merubah cara pandang kita terhadap gender," ujar Rani, matanya berbinar antusias.
"Saya mulai mengerti sekarang," kata Fajar, suaranya menunjukkan ketertarikan yang baru terbangun.
Diskusi malam itu menorehkan jejak dalam hati para mahasiswa. Rani, dengan suara feminin yang teguh dan pemikiran yang kritis, telah menciptakan perubahan yang signifikan. Ia mengajak para mahasiswa untuk menemukan makna baru dalam sastra dan mengukuhkan kesetaraan gender sebagai nilai yang penting dalam kehidupan.
Di balik suara feminin yang bersuara, Rani berhasil menguak keterbatasan pemikiran yang dominan di lingkungan akademis. Ia mengajak semua orang untuk melihat sastra sebagai wadah untuk merangkul keberagaman dan menciptakan dunia yang lebih adil dan setara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H