Mohon tunggu...
Satria Sambijantoro
Satria Sambijantoro Mohon Tunggu... -

economics student at University of Indonesia and contributor of The Jakarta Post newspaper. http://puterasatria.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wawancara dengan Pak Chatib Basri Soal Pendidikan Indonesia

16 September 2014   16:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:32 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1410835853315389079

Hari ini saya mewawancara Menteri Keuangan Chatib Basri di kantornya dan ada pesan penting tentang masa depan pendidikan Indonesia yang beliau ucapkan. Saya bertanya tentang mengapa beliau, sebagai menteri keuangan, kok concern sekali terhadap isu pendidikan, hal yang biasanya tidak begitu dipedulikan oleh ekonom-ekonom lain. Ini diwujudkan dalam usahanya di program LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang dibawahi langsung oleh kementeriannya dan anggaran APBN yang khusus dialokasikan untuk lembaga beasiswa ini.

Lagipula, bukankah hal seperti ini diurusi oleh pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?

Sebenarnya saya bukanlah penggemar berat dari Pak Chibi, sapaan akrab sang menteri keuangan dikalangan jurnalis ekonomi. Bahkan, beberapa kali saya dikecam beliau karena menulis terlalu kritis dan terus menerus mengkritik kebijakannya.

Tapi, seorang jurnalis harus fair: memberikan kritik jika diperlukan, tapi memberikan apresiasi jika memang seorang policymaker pantas mendapatkannya. Dan, menurut saya, perspektif dan usaha-usaha beliau dalam mengusahakan agar mahasiswa-mahasiswi Indonesia bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi perlu diapresiasi.

Berikut adalah petikan jawaban dari wawancara Pak Chatib Basri, ketika ditanya soal isu pendidikan di Indonesia:

-------

"Saya mau cerita karena ini penting. Saya ngeliat resources boom is over. Indonesia harus berubah strateginya dari resource-based growth menjadi human capital-based growth. Kalau kita hanya bergantung pada sumber daya alam, gak bisa lagi. Itu sebabnya saya sama Freeport keras bikin smelter segala macem -- semua yg ada di kepala saya itu resources boom is over.

Berapa waktu lalu saya ketemu lagi dengan teman-temen ekonom dari Australia. Australia juga mengalami persoalan yg sama dengan commodity prices yg turun mereka harus mentransformasi ekonominya. Tapi mereka lebih beruntung karena human capital-nya lebih baik. Kalau resources boom is over, itu indonesia harus pindah dari resources-based dancheap labor ke unsur innovation dan skills.

Sayangnya, kita gak siap untuk ini. Education level attainment di Filipina itu lebih baik dibandingkan kita. Malaysia lebih baik. Singapura lebih baik. Sehingga saya gakmelihat pilihan lain selain orang Indonesia musti disekolahkan.

Rp 1 triliun ini yg kita punya untuk digunakan sebagai beasiswa. Syaratnya anak Indonesia harus diterima di 200 universitas top di luar negeri. Ini saya gak mau denger lagi ada anak Indonesia keterima di Harvard, MIT, Cambridge, Oxford, LSE, tapi gak bisa sekolah karena gak ada uang. Kalau dia diterima di top 200 universities, pemerintah dan LPDP akan bayar, untuk full scholarship dan living cost expense. Syaratnya cuma satu: pulang ke Indonesia.

Hanya dengan cara ini kita bisa catch-up dengan Malaysia, Filipina dan Singapura.

Mungkin gak kerasa sekarang. Tapi mungkin kita bisa berharap punya orang-orang di Sillicon Valley seperti India. Nah kalau ini dilakukan, itu Indonesia akan terhindar dari middle-income trap. Karena dari history of economic development itu Afrika Selatan, Brasil, Korea Selatan semuanya masuk sebagai middle-income country seperti kita, di akhir 1970an. Tetapi, hanya Korea Selatan yg jadi negara industri karena dia emphasize di human capitaldan innovation.

Korea Selatan coba aja dilihat, dia kirim orang sekolah ke Amerika, banyak sekali orang kuliah di Ivy League segala macem. Brasil? Afrika Selatan? They stayed as middle-income countries. Kadang-kadang ekonominya naik tinggi, tapi mengalami boom-bust cyclestergantung harga komoditas. Nah saya gak mau Indonesia mengulangi kesalahan yang sama. Caranya hanya satu: Produktifitas. Satu-satunya produktifitas yg gak ada diminishing return-nya adalah human capital.

Disini peran dari negara itu bisa masuk. Caranya gimana? Endowment fund, itu bisa dialokasikan dari silpa, sisa lebih pembiayaan. Misalnya defisit APBN 2.5 persen, trus ternyata realisasinya cuma 2.3 persen. Kan ada Rp 20 triliun uang sisanya. Nah yang sisanya ini bisa dimasukkan ke endowment fund tiap tahun. Kita lagi siapin institusinya kalau kita ngelola dana besar. Nah ini makanya saya juga selalu bilang temen-temen wartawan juga: ya mbok kalian sekolah. Pergi dulu sekolah trus pulang lagi.

Saya bener-bener berkomitmen untuk ini. Ide ini pertama kali dimajuin oleh Bu Sri Mulyani [Indrawati], Pak Agus [Martowardojo] jalanin, dan sekarang saya yang implementasi.

Ada juga untuk top 50 universities yaitu Presidential Scholarships. Nanti, jadi Pak Jokowi bakal punya presidential scholarships. Itu apa? Buat anak-anak Indonesia yang bisa keterima di MIT, Harvard atau Ivy League universities. Bayangan saya seperti Singapura yg punya presidential scholarships. Kan anaknya juga bangga dong, dapet Ivy League. Diapresiasi oleh negara. Saya kalau ketemu orang-orang diluar, mereka seneng ada beasiswa LPDP. Saya juga bangga lihat anak-anak Indonesia diluar.

Satria, saya menganggap human capital yang bisa menyelamatkan kita; hanya itu. Game changer-nya adalah itu. Tanpa itu, gak akan bisa."

[caption id="attachment_324223" align="aligncenter" width="346" caption="Menteri Keuangan Chatib Basri dan ajudannya"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun