Mohon tunggu...
DewantoArt
DewantoArt Mohon Tunggu... Tentara - Seniman

Melestariakan Seni Pewayangan Jawa

Selanjutnya

Tutup

Seni

Kumbakarna Gugur

18 November 2024   13:18 Diperbarui: 18 November 2024   13:32 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Proses menggambar Kumbakarna gugur DewantoArt

Lakon wayang kulit Kumbakarna Gugur dari DewantoArt,
Merupakan sebuah alur cerita pewayangan yang di ambil dalam serat pedalangan yang bertema Ramayana, tujuan karya ini mengajak kita untuk belajar dan melestarikan seni-seni pewayangan jawa agar tidak luntur dimakan zaman.

sumber gambar : Proses menggambar Kumbakarna gugur DewantoArt
sumber gambar : Proses menggambar Kumbakarna gugur DewantoArt

Tokoh Kumbakarna merupakan seorang raksasa yang berasal dari Kerajaan Alengka, yang sangat besar, tinggi, dan mempunyai wajah yang sangat merikan, tetapi di balik wajahnya yang menakutkan itu Kumbakarna memiliki sifat ksatria yang selalu berpihak kepada kebenaran, Kumbakarna adalah putra dari Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara yaitu Dasamuka,Wibisana, dan yang terakhir bernama Sarpakenaka (seorang Reseksi).

Setelah kematian adiknya Serpakenaka beserta putra Prabu Dasamuka, dan di susul lagi oleh kematiannya Patih Prahasta di medan pertempuran, Prabu Dasamuka semakin naik darah dan emosinya semakin tidak terkontrol melihat para ksatria Alengka gugur satu persatu. Akhirnya Prabu Dasamuka membuat keputusan terakhirnya Ia memerintahkan Indrajit bersama beberapa pasukannya  pergi ke gunung Gohkarna untuk membangunkan Kumbakarna dari tidurnya. Sesampai di Gohkarna Indrajit dan pasukan berjuang keras untuk membangunkan Kumbakarna dengan cara apapun, tatapi usahanya sia-sia Kumbakarna tidak bangun sama sekali. Akhirnya Indrajit dan para pasukan kembali kagi ke Alengka dan melaporkan kepada Prabu Dasamuka bahwa Kumbakarna tidak bisa dibangunkan, mendengar laporan itu Prabu Dasamuka semakin marah.
"Keparat..... kowe di, Negaramu lagi bubrah kowe malah ayem anggonmu turu tanpo bebaning opo-opo. Yen pancen mriaptmu gak iso dilekne benke anakmu sing dadi senopatine Alengko". ("keparat.... kamu di, negara kamu lagi hancur kamu malah enak-enakan tidur tanpa memikirkan beban apa-apa, kalau emang matamu tidak bisa di buka biar anakmu yang menjadi senapati Alengka ).

Prabu Dasamuka tetap tidak tinggal diam ia memerintahkan Indrajit pergi ke Pangleburgangsa untuk menyampaikan pesannya kepada Prabu Sumali, agar anak kembarnya Kumbakarna yang bernama Kumba-Kumba dan Aswani Kumba maju kemedan perang sebagai pengganti ayahnya yang tidak pernah patuh pada perintah Prabu Dasamuka.

Sesampai di Pangleburgangsa Indrajit langsung menyampaikan kepada Prabu Sumali yang merupakna eyang dari Kumba-kumba dan Aswani Kumba, Ia menolak keras atas pesan tersebut.
 "Hee ladalah, Aku rasudi, aku ra lilo yen putuku dadi senopati. Bocah lagi wingi sore durung ngerti bab paperangan malah arep ditumbalke, pancen kuwe Rasekso kang ora toto mung nuruti napsumu dewe he Dasamuka". ("He ladalah... Aku tidak sudi, aku tidak rela kalau cucuku jadi senapati. Anak baru kemarin sore belum mengerti cara berperang ingin di jadikan tumbal, emang kamu raksasa tidak tau diri cuman menuruti nafsu kamu sendiri Dasamuka").

Prabu Sumali melarang kedua anaknya Kumbakarna maju ke medan perang, ibunya Dewi Kiswani pun juga merasa keberatan bila kedua anaknya yang belum dewasa maju ke medan pertempuran. Akhirnya Indrajit kembali ke Alengka dan menyampaikan pesan dari Prabu Sumali kepada Ayahnya.

Prabu Dasamuka yang duduk santai di dampar kencana langsung berdiri menyambut kedatangan indrajit agar secepatnya menyampaikan pesan yang di bawa indrajit. tidak lama Indrajit langsung menyampaikan pesan itu kepada ayahnya bahwa permintaan pesan tersebut tidak di persetujui oleh Prabu Sumali. Mendengar kabar tersebut Prabu Damuka terasa kebakar telinganya Ia semakin marah dan tangannya melayang bebas ke arah benda yang ada di pinggirnya.
 "Bangsat....Iblis laknat, wong tuo ora toto, ora keno di eman, yen pancene ngono karepmu, arepo gelem ora gelem bakal tak rudopekso". ("Bangsat...... setan laknat, orang tua tidak tau diri, tidak bisa di biarkan, kalau emang begitu maksudmu, mau tidak mau akan saya bawa secara paksa").
Prabu Dasamuka langsung perintahkan Indrajit buat menyiapkan bebarapa pasukan untuk menjeput putra Kumbakarna secara paksa.

Setelah sampai di Pangleburgangsa Indrajit  tidak lagi banyak bicara ia langsung membawa kedua anak Kumbakarna pergi ke Alengka. Prabu Sumali dan Dewi Kiswani hanya terdiam dengan rasa berat hati melepas Kumba-kumba dan Aswani kumba yang akan maju ke medan perang tanpa restu dari ayahnya Kumbakarna. Setelah sampai di Alengka kedua putra Kumbakarna di beri kata-kata manis ( bujukan ) oleh Prabu Dasamuka agar keduanya mau maju ke medan tempur.

Dengan gagahnya Kumba-kumba  dan Aswani kumba memakai sandangan senapati berangkat menuju medan pertempuran dengan jiwa ksatrianya dan di ikuti oleh  pasukan Alengka. Bendera Alengka dengan pasukan raksasa bersenjata lengkap telah terlihat memasuki daerah pertahanan Suwelagiri, tetapi pasukan Pancawati terlihat tidak gentar sama sekali, mereka telah bersiap untuk menyambut kedatangan pasukan Alengka. Prajurit penjaga perbatasan memberi laporang kepada Kapi Anggada, bahwa pasukan Alengka dengan kekuatan penuh di bawah pimpinan sepasang raksasa kembar.

Saat keduanya memasuki perbatasan pertahanan Suwelagiri, meraka langsung di sambut oleh Kapi Anggada dan Kapi Anila. Pasukan Alengka barisan terdepan telah siap untuk meluncurkan panah api yang membara, sementara itu Wibisana membalas serangan dengan menggunakan panah hujan ke langit, anak panah pun meluncur menembus mega mendung, sehingga hujan pun turun dengan sangat lebat, dan akhirnya panah api dari pasukan Alengka bisa di padamkan.

Tetapi perang pun masih berlanjut antara pasukan raksasa melawan pasukan kera yang jumlahnya puluhan ribu, ditambah lagi bantuan pasukan dari Goa Kiskenda terus memukul mundur pasukan Alengka. Kini giliran panglima perang Alengka melawan panglima Pancawati.

Kumba-kumba berasama Aswani kumba menantang Kapi Anggada dan Kapi Anila untuk berperang dan saling adu kekuata. Kapi Anggada melawan Kumba-kumba dan Kapi Anila melawan aswani kumba, meraka bertarung secara sengit, sehingga membuat para pasukan Alangka dan Pancawati menepi. Setiap kali Kumba-kumba tewas, kemudian Aswani kumba melompatinya maka Kumba-kumba hidup kembali, demikian sebaliknya. Semakin lama tenaga Kapi Anggada dan Kapi Anila melemah, terkuras habis dan jatuh tidak berdaya.

Sukurlah Sugriwa dan Anoman datang untuk menolongnya. melihat ilmu (ajian) yang dimiliki Kumba-kumba dan Aswani kumba, Sugriwa mulai teringat kepada kakaknya yaitu Resi Subali yang pernah menceritakan perang di Goa Kiskenda, pada saat itu melawan Prabu Mahesasura dan Patih Lembusura yang juga memiliki ajian sama seperti Kumba-kumba dan Aswani kumba. Namun Sugriwa merasa dirinya sudah terlalu tua untuk melawan dua raksasa tersebut.

Mendengar cerita tersebut Anoman bersedia untuk menjadi lawan kedua raksasa tersebut, tak lama kemudian Anoman lansung melompat di hadapan Kumba-kumba dan Aswani kumba perang pun terjadi sangat seru. Anoman pun terkena pukulan tangannya Kumba-kumba dan akhirnya jatuh terkapar di tengah-tengah antara Kumba-kumba dan Aswani kumba. Kedua raksasa itu pun merasa bangga ia bisa melangalahkan para ksatria Pancawati.  Anoman yang terjatuh ia masih berusaha bangkit dan berdiri menantang Kumba-kumba dan Aswani kumba, keduanya pun kaget melihat Anoman bisa berdiri tegak seperti semula. Kumba-kumba dan Aswani kumba bersemangat dengan kekuatan penuh ia menyerang Anoman dengan posisi berhadap hadapan, Anoman pun segera menghindar dan meloncat ke atas, sehingga kepala meraka berbenturan dengan keras, hingga akhirnya kepala kedua raksasa itu pun pecah dan tewaslah Kumba-kumba dan Aswani kumba. Melihat kejadian itu Wibisana menangis didalam hati, melihat keponakannya yang masih umur belasan tahun tewas dengan mengenaskan.

Atas kematian Kumba-kumba dan Aswani kumba Prabu Dasamuka semakin berduka. Sudah tidak ada cara lain, Prabu Dasamuka bersama pasukannya berangkat menuju gunug Gohkarna, dibawah langsung kepemimpinannya. Tejamantri Togog dan Sarawita ikut dalam rombongan juga. Dalam perjalanan pasukan juga membawa makanan yang sangat banyak untuk di suguhkan Kumbakarna.


Sesampai di tempatnya Kumbakarna tidur (bertapa), Prabu Dasamuka perintahkan pasukannya untuk membangunkan Kumbakarna. Trompet, ketongan, tambur, sampai meriam di ledakkan berkali kali, Kumbakarna juga tidak merasa terusik sama sekali, membuat Prabu Dasamuka kehabisan akal. Akhirnya Tejamantri Togog menghadap Prabu Dasamuka, kalo diberi ijin Prabu Dasamuka ia sanggup untuk mebangunkan Kumbakarna. Prabu Dasamuka mengijinkan Tejamantri Togog untuk membangunkannya. Tejamantri Togog langsung mendekat kearah kaki Kumbakarna dan menaiki jempol kaki kirinya Kumbakarna, kemudian ia mencabut bulu kaki tersebut. Begitu tercabut tangan Kumbakarna dan kedua kakinya menghentak keras sekali sehingga tanah pun bergetar membuat Tejamantri Togog terpental jauh, dan beberapa pasukan juga banyak yang terinjak dan terpukul oleh kedua tangan dan kakinya. Akhirnya bangunlah sang Kumbakarna.

Kumbakarna dengan mata yang masih remang-remang melihat Prabu Dasamuka ia terkejut dengan kedatangannya kakaknya, ia merasa senang karena sudah di maafkan oleh Prabu Dasamuka. Pasukan pembawa gerobak makan pun mendekat ke Kumbakarna dan menyuguhkan berbagai macam makanan. Seratus kerbau panggang, dua ratus sapi panggang, tujuh ratus rusa panggang, seribu ton nasi dan seratus liter arak. Tidak ada hitungan menit lenyap habis tanpa sisa. Setelah kenyang Prabu Dasamuka baru menjelaskan maksud kedatangannya.
  "Hee.... Kumbakarna, saiki wetengmu wis warek, tenogomu wis puleh. Rungokno aku bukak en kupingmu!!!
Negoromu bubrah di gawe iyak-iyakan munyuk wadyabalane Ramawijaya saka Maliawan, akeh senopati lan satrio sing gugur ing palagan, kowe malah enak anggonmu turu, belas babar pisan ora ngurus kedadean iki.
Deloken kae di lekno mripatmu Ramawijaya sak wadyabalane podo mlumpuk, baris ono gunung Suwelagiri!!  opo saiki baktimu marang negoro lan bangsamu di ?". ("Hee...Kumbakarna, sekarang perutmu sudah kenyang, tenagamu sudah pulih. Dengarkan aku buka telingamu!!! Negaramu rusak di injak-injak kera balatentaranya Ramawijaya dari Maliawan, banyak senapati dan satria yang gugur di medan pertempuran, kamu malah enak caramu tidur, samasekali tidak mengurus kejadian ini. Lihatlah buka matamu Ramawijaya sama balatentaranya pada berkumpul, barir di gunung Suwelagiri!! Apa sekarang baktimu pada negara dan bangsamu di ?").

Kumbakarna terdiam, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Prabu Dasamuka mondar mandir seolah kehabisan kata-kata.
  "He.... Kumbakarna, saiki amung kowe pengarepanku, tak jaluk kuwe meduno ing palagan, kumbakarna. Sirnakno Ramawijaya sak wadyabalane munyuk sing ora toto, Kumbakarna. Selametno negara lan bangsamu iki" . ("He...Kumbakarna, sekarang hanya kamu harapanku, saya minta kamu maju ke medan tempur, Kumbakarna. Bunuhlah Ramawijaya sama semua bala tentaranya kera yang tidak tau diri, Kumbakarna. Selamatkan negara dan bangsamu ini")
Kumbakarna pun akhirnya menjawab omongan dari Prabu Dasamuka.
  "Kakang Dasamuka, kabeh kedadean iki sebab e soko kakang dewe, mung ngrungokne murkane atimu dewe kakang, kuwe kuwalat kakang. Kowe wis kemaki koyo-koyo ora ono menungso ing ndonyo iki sing bisa nandingi kesektenmu. Saiki opo dadine ? Negoro bubrah tanpo siso.
Kakang, kakang Dasamuka sing tak ajeni lan tak wedeni, ngopo mbiyen-mbiyen kowe ora ngrungokne aku lan adimu Wibisana, kakang. Mbiyen Bocah bagus yo adimu Wibisana  iku wis ngilingke wis ngiguhake sing becik, kowe malah nesu ngarani yen adimu rewang marang mungsuh, malah luwih soko kui, kowe nosotake lan ngongkon lungo. Saiki adimu lungo ninggal kowe kui ora mergo khianat marang negoro, naning mbelo ingkang bebener. Saiki kowe lagi ngerti kakang , yen lungone adimu Wibisana, koyo-koyo Alengka ilang cahyone.
Negoro Alangka peteng kakang, koyo uripmu sing saiki, anggenmu melaku nabrak-nabrak koyo wong wuto kelangan teken.
Saiki sing luput sopo kakang???
Tak ilingke sepisan maneh kakang, mumpung isih wancine.  Balikno Dewi Sinta marang Ramawijaya, kanggo keselametane negara Alengka.
Dudu mergo aku wedi maju ing palagan, nanging aku ngerti yen Ramawijaya ono panggon dalan sing bener. Yen iki wis mbuk tindakke kakang, Berarti kowe wis nyelametke negara  lan bangsamu kakang". ("Kakak Dasamuka, semua kejadian ini berawal dari kamu sendiri, yang hanya mendengarkan murka hatimu sendiri kakak, kamu merasakan akibatnya sendiri kakak. Kamu sudah sombong seakan akan tidak ada manusia di dunia ini yang bisa menandingi kekuatanmu. Sekarang apa yang terjadi ? Negara hancur tanpa sisa.
Kakak, kakak Dasamuka yang saya hormati dan saya takuti,  kenapa dulu-dulu kamu tidak mendengarkan aku sama adikmu Wibisana, kakang. Dulu anak bagus iya adikmu Wibisana itu sudah mengingatkan dan memberi saran yang baik, kamu malah marah menuduh adikmu bekerjasama sama musuh, malah lebih dari itu, kamu mengutuknya dan menyuruh ia pergi. Sekarang adikmu pergi meninggalkan kamu itu bukan karna berkhinat kepada negara, tetapi ia membela kebenaran. Sekarang kamu baru tahu kakak, kalau perginya adikmu Wibisana, seakan akan Alangka hilang cahayanya.
Negara Alengka gelap kakak, seperti hidupmu yang sekarang, caramu berjalan menubruk nubruk seperti orang buta kehilangan tongkatnya.
Sekarang yang salah siapa ???
Saya ingatkan sekali lagi kakak, mumpung masih ada waktu. Kembalikan Dewi Sinta kepada Ramawijaya, demi keselamatannya negara Alengka. Bukan karna aku takut untuk maju ke medan perang, tapi aku mengerti kalau Ramawijaya berada di pihak yang benar. Kalau ini sudah kamu kerjakan, berarti kamu sudah menyelamatakan negara dan bangsamu kakak").

Ucapan Kumbakarna membuat Amarah kakaknya semakin menyala, akhirnya Prabu Dasamuka meminta Kumbakarna Untuk mengembalikan semua jumalah makanan yang sudah dimakan olehnya, tidak boleh ada yang kurang dalam setiap jenis makanan yang di suguhkan. Tak lama Kumbakarna langsung menggunakan kesaktiannya dan keluarlah semua makanan yang ada di perutnya, lengkap seperti semula tidak ada satupun yang ketinggalan.
  "Bangsat....Iblis laknat kowe, Kumbakarna. Kowe wani wanine pamer kasekten ning ngarepe Prabu Dasamuka hemm. Iki tandane kowe ra gelem nuturi opo sing dadi kekarepanku, pancen kowe iblis sing ora nduwe ati Kumbakarna". ("Bangsat.....setan laknat kamu, Kumbakarna. Kamu berani beraninya memamerkan kesaktian di depan Prabu Dasamuka hemm. Ini tandanya kamu tidak mau menuruti apa yang sudah menjadi keputusanku, emang kamu setan yang tidak punya hati Kumbakarna").
Kumbakarna menjawab tegas "Aku ora pamer kasekten kakang. Kabeh mau luwih becik tak wuntahke, tinimbang aku belani menungso sing ono dalan kang ora bener". ("Aku tidak pamer kekuatan kakak. Semua itu lebih baik aku keluarkan, dari pada saya membela orang yang ada di jalan tidak benar").

Prabu Dasamuka semakin kehabisan kata-kata. Namun ia masih ada satu cara lagi agar kumbakarna tetap mau maju ke medan tempur.
  "Kumbakarna..., sepiro gedene tresnanmu marang anak-anakmu, hem???  Opo kowe ora kepengin mbaleske matine cah kembar kae hem , Kumbakarna??? ". ("Kumbakarna......., seberapa rasa cintamu kepada anak-anakmu, hemm??? Apa kamu tidak ingin membalasakan kematian anak kembar itu hem, Kumbakarna???").
Kumbakarna pun merasa bingung dengan apa yang baru di ucapkan Prabu Dasamuka.
  "Maksudmu opo, kakang?". ("Maksudmu apa, kakak ?").

Prabu Dasamuka menjelaskan pertanyaan Kumbakarna.
  "Ngertenono Kumbakarna, anakmu kui wis dadi korbaning munyuk-munyuke Ramawijaya, anakmu gugur naliko dadi senopati Alengka". ("Mengertilah Kumbakarna, anakmu sudah menjadi korbannya monyet-monyetnya Ramawijaya, anak kamu mati pada saat menjadi senapati Alengka").
Ucapan Prabu Dasamuka membuat badan Kumbakarna bergetar. Tetapi dalam hatinya Kumbakarna tidak percaya dengan hal itu
  "Aku ora percoyo kakang, ojo ngarang cerito sing ora bener kakang". ("Aku tidak percaya kakak, jangan mengarang cerita yang tidak benar kakak").
Kumbakarna masih tidak percaya. Akhirnya Prabu Dasamuka perintahkan Indrajit bersama pasukannya agar mengambil jasadnya Kumba-kumba dan Aswani kumba untuk di bawa kehadapan Kumbakarna.

Kedatangan Indrajit bersama pasukan Alengka yang membawa jasadnya Kumba-kumba dan Aswani kumba membuat Kumbakarna semakin tidak berdaya dan  meteskan air mata. Kumbakarna yang di selimuti rasa berduka akhirnya ia meralakan dirinya untuk pergi ke medan pertempuran untuk membalas dendamkan kematian anaknya dan membela tanah air tercintanya, bukan karena membela kakaknya Prabu Dasamuka yang angkara murka.

Kumbakarna berapakaian seorang brahmana serba putih, telah bersiap memasuki medan pertempuran. Prabu Dasamuka dan Indrajit pun kembali ke Kerajaan Alengka, sedangkan Teja Mantri Togog dan Sarwita pulang ke Patogogan.

Dari kejahuan Wibisana melihat kedatangan kakaknya Kumbakarna yang di iringi pasukan Alengka. Ia segera menghampiri dan menghadangnya.
  "Kakang Kumbakarna, sakniki kakang ingkang dados senopatine Alengka, kakang. Ilingo ya kakang kedadeane perang iki mergo ulahe kakang Rahwana ingkang duratmaka garwane Prabu Ramawijaya. Opo yo pantes manungso ingkang mekaten di belani kakang?".("Kakak Kumbakarana, sekarang kakak yang menjadi senapatinya Alengka, kakak. Ingat ya kakak terjadinya perang ini karena ulahnya kakak Rahwana yang menculik istri Prabu Ramawijaya. Apa pantas orang seperti itu di bela kakak ?" )

Kumbakarna "Duh adiku ngger Wibisana, ngertenono kakangmu iki yo ngger cah bagus. Aku maju ono ing palagan dudu mergo aku mbelani marang kakang Dasamuka. Aku mung pingin mertahanke kamardikane Alengkadireja, negaraku, tanah wutah getihku, yo bumi kelahiranku. Aku ora pingin perang nangin aku yo ra pingin masi negaraku di gawe iyak-iyakan marang mungsuh, aku rapingin negaraku di jajah negara liya ngger cah bagus". ("Duh adikku Wibisana, mengertilah kakakmu ini ya anak baik. Aku maju di medan pertempuran bukan karna membela kaka Dasamuka. Aku hanya ingin mempertahankan kemerdekaan Alengkadireja, negaraku, tanah tumpah darahku, iya bumi kelahiranku. Aku tidak ingin perang tapi aku juga tidak ingin melihan negaraku di injak-injak sama musuh, akj tidak ingin negaraku di jajah oleh negara lain anak baik").

Mendengar perkataan kakanya Wibisana terdiam dan Kumbakarna melanjutkan bicaranya.
  "Nanging aku janji, aku ora bakal Nyirnakne sopo-sopo. Aku loro ati wis akeh satria Alengka sing dadi tumbale paperangan iki. Ugo anakku Kumba-kumba lan Aswani kumba yo wis gugur di ngger. Sing tak jaluk Prabu Ramawijaya sak wadyabalane bali ono Pancawati...Wibisana. Minggir cah bagus, ben kakang nemoni Prabu Ramawijaya, tak njaluk supoyo mboyong wadyabalane bali marang pancawati ngger Wibisana". ("Tetapi aku janji, aku tidak akan membunuh siapa-siapa. Aku sakit hati karena sudah banyak satria Alengka yang menjadi tumbal perang ini. Begitu juga anakku Kumba-kumba dan Aswani kumba ya gugur di. Aku cuma minta Prabu Ramawijaya sam balatentaranya kembali ke Pancawati....Wibisana. Minggir anak baik, biar kakakmu ini bertemu sama Prabu Ramawijaya, tak minta agar membawa balatentaranya kembali ke Pancawati adikku Wibisana").
 
Kumbakarna meminta untuk membuka jalan tetapi Wibisana tetap menghalanginya, memberontaklah sang Kumbakarna dan memasuki wilayah pertahanan Prabu Ramawijaya, betemulah seekor kera raksasa narpati Sugriwa yang berdiri tegak mengahalangi jalannya. Akhirnya keduanya saling adu kekuatan, tetapi tetap saja Sugriwa bukan tandingannya Kumbakarna.

Menyaksikan narpati Sugriwa yang tidak berdaya, pasukan kera langsung menyerbu Kumbakarna. Lengan sampai bahu sudah ratusan kera yang menungganginya, mencakar dan menggit, tetapi Kumbakarna tetap terdiam. Semakin lama bukan hanya lengan dan bahunya saja tetapi ratusan kera yang baru datang juga naik ke kepala, muka, leher, punggung, perut, paha dan kakinya, tidak ada bagian tubuh Kumbakarna yang terlewatkan, mereka berusaha merobek-robek kulit Kumbakarna. Dalam waktu sekejap seolah olah Kumbakarna menjelma menjadi gunung kera.

Walaupun Kumbakarna merasa dirinya kesakitan, tetapi dalam hatinya masih berpegang teguh bada janjinya, Ia tidak akan melukai siapapun. Tetapi tetap saja tanpa sengaja banyak yang terinjak kaki Kumbakarna.

Kumbakarna akhirnya mengibaskan kedua tangannya, dan rontoklah semua pasukan kera yang ada di sekujur tubuhnya. Para senapati kera, Sugriwa, Anoman, Anggada, dan Anila tetap berusaha mencegah Kumbakarna agar tidak mendekati Prabu Ramawijaya. Mereka memegangi kedua kaki Kumbakarna agar tidak melangkah, tetapi keempat kera tersebut tidak berdaya meraka terpental dan jatuh ketanah, dan hampir saja terinjak oleh kaki Kumbakarna.

Kumbakarna pun berhasil bertatap muka dengan Prabu Ramawijaya, kemudian ia meminta kepada Prabu Ramawijaya agar membawa pasukannya kembali ke Pancawati, tapi sebaliknya Prabu Ramawijaya meminta Kumbakarna yang kembali ke istana Alengka. Akhirnya terjadilah perang antara keduanya. Kumbakarna dengan badannya yang besar serta tenaganya yang kuat, Ia menghentakkan kakinya ke tanah sangat keras higa terjadi hembusan angin yang sangat kencang yang membuat Prabu Ramawijaya tak bisa mengendalikan raganya dan terseret oleh angin tersebut.


Prabu Ramawijaya tak terima dengan perbuatan Kumbakarna, akhirnya ia melepaskn panahnya Guwawijaya kepada Kumbakarna. Panah pertama mengenai bahu sebelah kiri hingga putus. Banyak pasukan kera yang tewas  tertimpa lengan Kumbakarna.

Prabu Ramawijaya memperingatkan jangan maju lagi, tetapi Kumbakarna tetap melangkah maju. Akhirnya Prabu Ramawijaya melepaskan anak panahnya yang ke dua dan putuslah bahu kanan Kumbakarna. Kematian pasukan kera pun bertambah lagi terkena timpahan lengan kanannya Kumbakarna.

Prabu Ramawijaya sekali lagi mengingatkan Kumbakarna, tetapi Kumbakarna tetap melangkah lagi. Prabu Ramawijaya melepaskan anak panahnya yang ke tiga dan ke empat kearah kedua kaki Kumbakarna dan putuslah kaki kanan dan kirinya sehingga tubuhnya Kumbakarna ambruk dan menjatuhi ribuan pasukan kera yang di bawahnya. Kini Kumbakarna tinggal tubuh dan kepalanya saja, dan wajahnya pun hancur tidak berwujud lagi. Kedua mata, hidung, mulut, dan kedua daun telinganya sudah habis di cabik-cabik oleh sisa pasukan kera.

Kumbakarna merintih kesakitan, Ia hanya bisa menggulingkan badannya dan menahan rasa sakit, dan tanpa sengaja banyak pasukan kera yang terlindas oleh badannya.

Wibisana tidak tega melihat keadaan kakaknya. Ia segera berlari menuju Prabu Ramawijaya dan bersujud di kakinya, Wibasana memohon agar Prabu Ramawijaya menyempurnakan kematian kakaknya.

Prabu Ramawijaya melepas anak panahnya yang ke lima kalinya kearah leher Kumbaharna. Kepala dan tubuhnya pun terpisah. Kumbakarna pun gugur dan selesai sudah kewajibannya menjadi senapati. Kumbakarna merelakan jiwa raganya untuk bangsa dan negaranya, bukan untuk membela kakanya Dasamuka yang angkara murka.

Kematian Kumbakarna pun harum bagaikan bunga melati. Tubuh Kumbakarna yang semulanya terpotong, tercecer dimana mana, akhirnya menyatu menjadi utuh kembali wujud Kumbakarna yang berpakaian brahmana serba putih. Kumbakarna pun bangkit kembali, memandang adiknya Wibisanya sambil tersenyum. Tetapi seketika lenyap dari pandangan mata Wibisana. Kumbakarna pun Moksha, dan ia di tempatkan oleh dewa di Sawarga Pangrantunan. Berakhirlah kisah perjalanan hidup Kumbakarna.

Jayapura, 18 November 2024

DewantoArt

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun