Pagi ini, Ratih mengajakku keluar. Tanpa Gito.
Ratih mengajakku duduk di bawah pohon nangka di kebun belakang rumahnya. Jarak kami duduk agak berjauhan. Memang sengaja kubuat demikian, sebab aku tidak pernah berdempetan dengan perempuan mana pun. Namun Ratih semakin dekat. Semakin mendempet. Seketika jantungku tergoyang. Keringat mulai mengucur di punggungku.
Kini tangan Ratih melingkar di leherku.
Naluri seorang lelaki membuatku tidak hanya diam. Tanganku memegang kedua pipinya. Dan bibirnya yang lembut itu kini tepat di depan bibirku. Dan perlahan bibir kami menempel satu sama lain. Mataku terpejam. Begitu pun Ratih. Kuelus rambutnya yang lebat dan halus. Dan terus kuelus.
Namun, elusan itu terasa semakin janggal. Rambut Ratih seperti semakin kasar. Kubuka mataku. Seketika aku terbelalak melihat rambut Ratih perlahan menghijau. Kulepaskan bibirku dari bibirnya. Ratih membuka matanya. Dan kulihat wajahnya perlahan berubah coklat. Tubuhnya perlahan menjulang. Kakinya menjuntai ke bawah persis seperti akar yang sedang mencengkeram tanah.
Dan sialan! Aku baru ingat, ada seorang lelaki yang patah hati. Dan lelaki itu lantas datang ke ahli sihir. Ya, Gito. Sialan! Ini persis cerita Kakek.
Mojokerto, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H