Sejak saat aku memergoki Ratih dan Gito tadi, aku benar-benar menjauh dari mereka. Sesekali mereka datang ke rumahku. Mengajakku ngunduh rambutan di rumah Lik Parmin. Tapi sebisa mungkin aku mencari alasan untuk menolaknya.
***
Rumah Kang Amin sangat ramai. Pagelaran wayang adalah waktu yang dinanti-nanti oleh semua warga Desa Singowangi. Yang tua dan muda berdatangan dengan hati riang. Di kejauhan terlihat seorang ibu menggendong anaknya yang menangis meminta balon. Si ibu berusaha mencari berbagai alasan agar si bocah tidak lagi meminta balon. Dan aku yakin, satu hal yang tidak diucapkan si ibu pada si bocah adalah: Aku tidak punya uang.
Aku datang bersama Kakek. Sebenarnya tadi Ratih dan Gito mengajakku berangkat bersama. Namun aku lagi-lagi menolaknya dengan acuh tak acuh.
Acara dimulai. Sinden dengan suara merdunya berhasil membuat semua warga luluh. Dan iringan suara-suara gamelan yang sakral, seperti meninabobokan si bocah peminta balon tadi. Si ibu kini leluasa menikmati cerita wayang.
Malam semakin larut. Suara anak-anak sudah tidak lagi terdengar. Dan ibu-ibu, satu persatu pulang ke rumah masing-masing. Kini yang masih bertahan adalah para lelaki setengah baya. Dan yang tua-tua seperti Kakek. Ada juga beberapa pemuda seusiaku yang masih bertahan.
Aku pergi ke kebun untuk buang air kecil. Tempatnya agak jauh dari keramaian. Ada sebuah gubuk kecil yang berdiri di antara pepohonan. Setalah merasa aman, kubuang hajat kecil ini di bawah pohon sengon. Lega rasanya. Kukibas-kibaskan batang linggaku.
Sebelum kembali ke tempat semula, aku mendengar suara aneh. Suara itu tidak asing di telingaku. Lelaki dan perempuan. Rasa penasaranku menyuruhku untuk menelusuri asal suara tersebut. Aku yakin suara tersebut berasal dari balik gubuk. Aku melangkah dan terus melangkah. Suara semakin jelas.
Aku terbelalak dengan pemandangan ini. Sialan! Sedang apa mereka. Berduaan di tengah malam begini. Aku sembunyi di balik pohon sengon. Ya, Ratih dan Gito sedang duduk berduaan di balai bambu di samping gubuk. Ratih berkali-kali tertawa. Begitu pun Gito. Tapi ada yang berbeda di sudut bibir Ratih. Tawanya! Tawanya sungguh manis. Tawa seorang perempuan yang sedang tersipu. Sialan!
Aku kembali ke tempat semula. Kakek masih fokus dengan cerita wayang yang sedang dimainkan. Aku tak mengusiknya. Aku sedang dibalut perasaan aneh. Ada sesuatu yang berkobar di dadaku. Semakin panas, semakin panas.
Acara selesai ketika malam sudah hampir lingsir. Di perjalanan menuju rumah, aku berkata pada Kakek: