"Di mana bulu perindu itu, Kek?"
***
Malam itu juga Kakek mencarikan bulu perindu untukku. Kakek juga mendampingiku saat aku menggunakan benda tersebut.
Dan pagi ini, aku ingin membuktikan efek dari benda ajaib itu. Aku sengaja datang ke rumah Ratih. Dan sesuai dugaanku, di sana ada Gito. Mereka sedang bermain dakon. Ketika menyadari kedatanganku, mereka terlihat gembira. Ya, terutama Ratih. Tatapannya sangat berbeda. Segera saja aku bergabung dalam permainan. Tapi aku harus menunggu giliran. Kulihat Gito berpotensi menang melawan Ratih.
Pertarungan antara Gito dan Ratih masih berlangsung. Sesekali Ratih menatapku. Sungguh, senyumnya itu, betapa aduhai. Permainan belum usai, tapi entah mengapa Ratih tiba-tiba mengakhiri permainan dan menyuruh Gito untuk bergantian denganku. Gito menyangkal permintaan Ratih itu.
"Yang benar saja, aku sedikit lagi menang," Gito meraung. Namun Ratih tetap bersikukuh.
"Sudahlah, To, biar kini Aji melawanku. Lagi pula dia sudah lama tidak bermain dengan kita."
Kali ini Gito menurut. Memang, suara Ratih yang begitu lembut, seperti sihir. Dan aku merasa menang setelah mendengar pembelaan Ratih itu.
Dan yang lebih hebatnya, aku bermain begitu lama. Bahkan permainan dakon usai beberapa kali, aku tidak pernah menang, tapi Ratih terus menyuruhku bermain. Dan setiap kali Gito menyangkal, Ratih berkata dengan ucapan serupa tadi.
Aku kini percaya dengan kekuatan sihir bulu perindu. Sungguh aku merasa aneh, aneh yang sedikit gembira.
Seminggu berlalu. Kami bertiga selalu bersama. Sesekali kami bermandi di sungai (tentunya tidak bertelanjang). Kami bermandi sembari bermain. Tapi perhatian Ratih lebih condong kepadaku. Gito hanya seperti pelengkap.