Di sela-sela permenungan, aku teringat akan penafsiran Kakek pada pohon beringin itu. Penggambaran sosok perempuan yang demikian anggun, mengingatkanku pada Ratih. Ya, kembang desa itu. Aku dan Ratih adalah teman sejak kecil. Begitu pun Gito. Kami bertiga senantiasa bersama. Bahkan ketika mandi di sungai pun, kami tidak malu-malu membuka seluruh pakaian masing-masing. Aih! Masa kecil yang aduhai.
Namun seiring berjalannya waktu, ada perasaan aneh dalam diriku. Setiap kali aku melihat Ratih tersenyum, jantungku seperti rontok. Dan suaranya yang lembut, seperti payung yang memayungi jiwaku. Perasaan ini juga yang membuatku benci pada Gito. Terdengar berlebihan, tapi ini alasan paling kuat untuk membencinya.
Mulanya aku bisa menutupi perasaan ini. Namun semakin lama, aku semakin gusar setiap melihat Gito dan Ratih terlihat begitu dekat.
Seminggu lalu aku tak sengaja melihat mereka berdua bercanda ria di rumah Ratih. Entah mengapa, aku yang hendak menggembala kambing bersama kakek, seketika kehilangan semangat. Sepanjang perjalanan aku melamun. Kakek yang menyadari itu segera menegurku. Aku tersadar. Sampai di waktu istirahat, aku kembali melamun. Lagi-lagi Kakek menyadari itu dan memulai pembicaraan.
"Kau sudah remaja, Le, wajar."
Aku tak mengerti dengan kalimat Kakek barusan. Aku tetap mematung sembari menatap hamparan luas. Semilir angin berembus. Sulur beringin bergoyang lunglai.
"Kau suka padanya?"
Apa lagi ini. Aku benar-benar tak paham. Suka? Apalah yang dimaksud kakekku ini. Aku tetap tak menggubris perkataan Kakek. Kakek membakar rokoknya. Lantas dia bercerita tentang bulu perindu. Aku tak tahu mengapa Kakek tiba-tiba cerita hal tersebut. Dengan mata terpejam aku mendengarkan cerita Kakek.
Bulu perindu, benda yang asing di telingaku. Benda yang digunakan para lelaki untuk merayu jiwa perempuan dari kejauhan. Usaha merayu dari kejauhan tersebut tak ada yang gagal. Kakek memberi tahu padaku bagaimana menggunakannya. Yaitu cukup taruh foto perempuan yang kau suka di depan bulu perindu. Tunggu sampai bulu perindu itu saling mengait satu sama lain. Niscaya keesokan harinya perempuan itu akan luluh hatinya. Sangat luluh. Begitulah kata Kakek. Dan di akhir ceritanya Kakek berkata:
"Kalau kau benar-benar suka pada Ratih, aku akan memberitahumu bagaimana cara mendapatkan bulu perindu."
Aku yang saat itu mendengarkan sembari terpejam, berusaha menahan tawaku. Bagaimana bisa hanya dengan suatu benda, perempuan bisa tergila-gila dengan kita. Aku tetap tak menggubris perkataan Kakek. Dalam hati suaraku meraung: Aku tak akan melakukannya!