Mohon tunggu...
Satria Akmal
Satria Akmal Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa S1 Agribisnis UKSW

seseorang dengan hobi traveling

Selanjutnya

Tutup

Money

Analisis Daya Saing Teh Dengan HS CODE 0902 di Indonesia, China, Jepang, dan Malaysia

8 Desember 2024   09:27 Diperbarui: 8 Desember 2024   09:32 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi foto pribadi

Review Case Study Matakuliah Perdagangan Internasional Program Studi S1 Agribisnis Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana

Teh merupakan salah satu komoditas agribisnis yang memiliki peran strategis dalam perdagangan internasional, khususnya untuk HS Code 0902, yang mencakup teh hijau, teh hitam, dan varian lainnya. Komoditas ini diproduksi di berbagai negara dengan kondisi geografis yang mendukung, seperti wilayah beriklim tropis dan subtropis. Dalam perdagangan internasional, daya saing suatu negara untuk komoditas teh dapat diukur melalui sejumlah indikator. Pangsa pasar, misalnya, menunjukkan proporsi kontribusi suatu negara terhadap total perdagangan global komoditas tersebut. Nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) mengukur apakah suatu negara memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi dan mengekspor teh dibandingkan rata-rata dunia. RCA yang lebih dari 1 menunjukkan daya saing tinggi, sementara nilai di bawah 1 menandakan kelemahan komparatif.

Indikator lainnya, ECI (Export Competitiveness Index), mengukur perubahan daya saing ekspor suatu negara dari waktu ke waktu, dengan nilai di atas 1 mengindikasikan peningkatan daya saing dan nilai di bawah 1 menunjukkan penurunan. Nilai TSI (Trade Specialization Index) mencerminkan apakah suatu negara lebih berperan sebagai eksportir atau importir untuk suatu komoditas. Nilai positif menunjukkan bahwa negara tersebut adalah eksportir, sedangkan nilai negatif menandakan dominasi impor. Selain itu, HHI (Herfindahl-Hirschman Index) digunakan untuk mengukur konsentrasi pasar global. Semakin tinggi nilai HHI, semakin besar dominasi pasar oleh satu atau beberapa negara tertentu, sedangkan nilai rendah mencerminkan pasar yang lebih terdiversifikasi.

Hasil perhitungan rata rata selama 10 tahun komoditas teh dengan HS CODE 0902:

Sumber: trademap.org
Sumber: trademap.org

Dominasi Tiongkok dalam Perdagangan Teh Dunia

Tiongkok memiliki pangsa pasar terbesar sebesar 0,22, mencerminkan dominasi global yang sangat signifikan dalam perdagangan teh dengan HS CODE 0902. Posisi ini tidak hanya disebabkan oleh skala produksi yang besar tetapi juga oleh keragaman produk teh yang ditawarkan. Faktor historis juga berperan penting, karena teh memiliki akar yang mendalam dalam budaya Tiongkok, menjadikannya produsen dengan pengalaman ribuan tahun dalam teknik budidaya dan pengolahan. Selain itu, Tiongkok secara aktif berinvestasi dalam teknologi modern untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas, sehingga mampu bersaing di pasar global yang sangat kompetitif. Dominasi ini tercermin pada nilai RCA Tiongkok sebesar 1,61, menunjukkan keunggulan komparatif yang kuat. RCA di atas 1 berarti Tiongkok memiliki daya saing internasional karena mampu mengekspor teh lebih banyak dibandingkan rata-rata dunia untuk produk yang sama.

Selain itu, nilai HHI (Herfindahl-Hirschman Index) Tiongkok sebesar 492,10 menegaskan tingginya konsentrasi perdagangan teh global yang terpusat pada negara ini. Angka ini jauh melampaui nilai HHI negara lain seperti Indonesia (1,81) dan Jepang (3,28). Tingginya HHI Tiongkok menunjukkan kemampuan mereka untuk menguasai pasar secara konsisten.kapasitas produksi yang tidak hanya besar tetapi juga terdiversifikasi, sehingga Tiongkok dapat memenuhi berbagai kebutuhan pasar internasional, baik untuk teh premium maupun komoditas massal.

Potensi dan Tantangan Indonesia sebagai Eksportir Teh

Indonesia, meskipun hanya memiliki pangsa pasar sebesar 0,01, menunjukkan daya saing yang kuat dengan nilai RCA 1,36. Ini berarti Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan teh, yang didukung oleh iklim tropis dan lahan subur di wilayah pegunungan seperti Jawa Barat,Wonosobo,Sumatera dan daerah lain penghasil teh diindonesia. Lingkungan ini ideal untuk produksi teh berkualitas tinggi, yang merupakan andalan ekspor Indonesia ke pasar Eropa dan Timur Tengah. Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah rendahnya nilai ECI (0,93), yang menunjukkan sedikit penurunan daya saing ekspor. Penurunan ini dapat disebabkan oleh kurangnya efisiensi logistik, biaya produksi yang relatif tinggi, serta persaingan harga dengan negara-negara lain seperti Tiongkok dan India.

Pada Nilai TSI Indonesia sebesar 0,57 mengindikasikan peran sebagai eksportir, tetapi kontribusi ini masih terbilang kecil dibandingkan pemain utama seperti Tiongkok. Untuk memperbaiki posisi ini, Indonesia perlu berinvestasi dalam diversifikasi produk, seperti mengembangkan teh organik atau teh premium yang memiliki nilai tambah lebih tinggi di pasar internasional. Langkah ini akan meningkatkan daya saing sekaligus memperluas akses pasar.

Jepang: Fokus pada Konsumsi Domestik dan Produk Niche

Jepang memiliki RCA sebesar 0,50, menandakan bahwa negara ini tidak memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan teh. Namun, nilai ECI sebesar 1,11 menunjukkan daya saing ekspor yang tetap positif, yang kemungkinan besar disebabkan oleh ekspor teh premium seperti matcha dan sencha. Jepang mengandalkan reputasi kualitas dan tradisi panjang dalam budidaya teh untuk memasuki pasar niche. Argumen ini diperkuat oleh fakta bahwa produksi teh Jepang sebagian besar diarahkan untuk konsumsi domestik yang menekankan kualitas daripada kuantitas.

Nilai TSI Jepang (-0,12) mengindikasikan peran sebagai importir, meskipun negara ini masih memiliki peluang untuk mengekspor teh niche ke pasar global. Untuk meningkatkan kontribusinya dalam perdagangan internasional, Jepang dapat memperluas ekspor produk bernilai tambah seperti teh hijau organik atau produk olahan berbasis teh.

Malaysia: Keterbatasan Produksi dan Fokus pada Impor

Malaysia menunjukkan nilai RCA yang sangat rendah (0,17), yang mengindikasikan tidak adanya keunggulan komparatif dalam perdagangan teh. Hal ini dapat dijelaskan oleh keterbatasan lahan dan iklim yang kurang mendukung untuk budidaya teh dalam skala besar. Meskipun demikian, nilai ECI Malaysia sebesar 1,19 menunjukkan peningkatan daya saing ekspor, yang mungkin disebabkan oleh usaha untuk memproses teh impor menjadi produk bernilai tambah sebelum diekspor kembali. Namun, nilai TSI Malaysia yang negatif (-0,65) menunjukkan bahwa negara ini lebih berperan sebagai importir dibandingkan eksportir dalam perdagangan teh global.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Tiongkok dengan tegas memimpin perdagangan teh global berkat keunggulan sejarah, skala produksi besar, dan inovasi produk. Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan perannya sebagai eksportir dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Namun, tantangan dalam hal logistik dan diversifikasi produk perlu segera diatasi untuk meningkatkan daya saing. Jepang dan Malaysia, meskipun lebih berperan sebagai konsumen, tetap memiliki peluang untuk memanfaatkan pasar niche dengan fokus pada produk teh premium atau bernilai tambah. Untuk memperkuat posisi masing-masing negara, diperlukan kebijakan strategis yang mendukung pengembangan sektor teh, seperti investasi dalam teknologi, promosi perdagangan, dan peningkatan efisiensi rantai pasok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun