Mohon tunggu...
Satria Akmal
Satria Akmal Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa S1 Agribisnis UKSW

seseorang dengan hobi traveling

Selanjutnya

Tutup

Money

Analisis Daya Saing Teh Dengan HS CODE 0902 di Indonesia, China, Jepang, dan Malaysia

8 Desember 2024   09:27 Diperbarui: 8 Desember 2024   09:32 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi foto pribadi

Pada Nilai TSI Indonesia sebesar 0,57 mengindikasikan peran sebagai eksportir, tetapi kontribusi ini masih terbilang kecil dibandingkan pemain utama seperti Tiongkok. Untuk memperbaiki posisi ini, Indonesia perlu berinvestasi dalam diversifikasi produk, seperti mengembangkan teh organik atau teh premium yang memiliki nilai tambah lebih tinggi di pasar internasional. Langkah ini akan meningkatkan daya saing sekaligus memperluas akses pasar.

Jepang: Fokus pada Konsumsi Domestik dan Produk Niche

Jepang memiliki RCA sebesar 0,50, menandakan bahwa negara ini tidak memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan teh. Namun, nilai ECI sebesar 1,11 menunjukkan daya saing ekspor yang tetap positif, yang kemungkinan besar disebabkan oleh ekspor teh premium seperti matcha dan sencha. Jepang mengandalkan reputasi kualitas dan tradisi panjang dalam budidaya teh untuk memasuki pasar niche. Argumen ini diperkuat oleh fakta bahwa produksi teh Jepang sebagian besar diarahkan untuk konsumsi domestik yang menekankan kualitas daripada kuantitas.

Nilai TSI Jepang (-0,12) mengindikasikan peran sebagai importir, meskipun negara ini masih memiliki peluang untuk mengekspor teh niche ke pasar global. Untuk meningkatkan kontribusinya dalam perdagangan internasional, Jepang dapat memperluas ekspor produk bernilai tambah seperti teh hijau organik atau produk olahan berbasis teh.

Malaysia: Keterbatasan Produksi dan Fokus pada Impor

Malaysia menunjukkan nilai RCA yang sangat rendah (0,17), yang mengindikasikan tidak adanya keunggulan komparatif dalam perdagangan teh. Hal ini dapat dijelaskan oleh keterbatasan lahan dan iklim yang kurang mendukung untuk budidaya teh dalam skala besar. Meskipun demikian, nilai ECI Malaysia sebesar 1,19 menunjukkan peningkatan daya saing ekspor, yang mungkin disebabkan oleh usaha untuk memproses teh impor menjadi produk bernilai tambah sebelum diekspor kembali. Namun, nilai TSI Malaysia yang negatif (-0,65) menunjukkan bahwa negara ini lebih berperan sebagai importir dibandingkan eksportir dalam perdagangan teh global.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Tiongkok dengan tegas memimpin perdagangan teh global berkat keunggulan sejarah, skala produksi besar, dan inovasi produk. Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan perannya sebagai eksportir dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Namun, tantangan dalam hal logistik dan diversifikasi produk perlu segera diatasi untuk meningkatkan daya saing. Jepang dan Malaysia, meskipun lebih berperan sebagai konsumen, tetap memiliki peluang untuk memanfaatkan pasar niche dengan fokus pada produk teh premium atau bernilai tambah. Untuk memperkuat posisi masing-masing negara, diperlukan kebijakan strategis yang mendukung pengembangan sektor teh, seperti investasi dalam teknologi, promosi perdagangan, dan peningkatan efisiensi rantai pasok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun