Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Review "Evil Does Not Exist", Benturan antara Modernisasi dan Lingkungan Alam

29 Juli 2024   08:11 Diperbarui: 30 Juli 2024   17:39 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Takumi (Hitoshi Okima) dan Hana (Ryo Nishikawa) dalam film Evil Does Not Exist. | Janusfilm.com

"Semua manusia adalah pendatang"

Kalimat di atas merupakan salah satu kutipan dari film berjudul "Evil Does Not Exist" karya Ryusuke Hamaguchi yang pernah menyutradari dan menulis "Drive My Car". Sebuah kalimat yang merangkum keseluruhan filmnya, sekaligus mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan.


Evil Does Not Exist bercerita tentang Takumi (Hitoshi Okima) yang mengisi hari-harinya dengan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk membantu warga, dari memotong kayu, mengambil air, serta ikut dalam rapat. Ia hidup bersama anaknya, Hana (Ryo Nishikawa) di desa yang memiliki keindahan alam yang luar biasa, membuat siapapun yang berkunjung akan terkagum-kagum dengan pesona alamnya.

Keindahan desa tersebut menjadi alasan perusahaan dari Tokyo datang dengan rencana membuat glamping (glamorous camping) di tengah desa. Tetapi, rencana tersebut memiliki dampak buruk yang merugikan warga. Takumi dipercaya sebagai penghubung, agar tak terjadi konflik antara kedua belah pihak.

Tayang di KlikFilm, Evil Does Not Exist memiliki durasi 1 jam 46 menit. Apa yang membuat film ini menarik untuk ditonton? Ini ulasannya:

Paruh Awal yang Terasa Lambat

Takumi (Hitoshi Okima) sedang mengambil air dalam film Evil Does Not Exist. | Neopa Inc, KlikFilm/IMDb
Takumi (Hitoshi Okima) sedang mengambil air dalam film Evil Does Not Exist. | Neopa Inc, KlikFilm/IMDb

Evil Does Not Exist dibuka dengan alur yang slow paced, memperlihatkan pemandangan pepohonan, diiringi instrumen lembut karya Eiko Ishibasi yang menenangkan hati. Penonton dibawa melintasi hutan, melihat kondisi alam, sehingga membuat saya sebagai penonton merasa damai.

Penonton dimanjakan dengan sinematografi yang cantik, shot kamera yang menyorot suasana pedesaan, hutan, juga perkotaan, turut membuat penonton merasa dekat dan hangat sepanjang film berjalan.

Hanya saja, bagi kamu yang tidak terbiasa dengan film dengan alur yang lambat, ada kemungkinan sebagian penonton akan merasa bosan dan mengantuk, mengingat betapa damainya nuansa yang dihadirkan di paruh awal, tanpa adanya konflik yang membuat penonton penasaran.

Namun, sejatinya paruh awal film ini merupakan pondasi untuk membangun suasana, yang kelak akan dibutuhkan untuk memahami konflik dan keresahan yang warga alami di pertengahan film. Penonton diperlihatkan keseharian Takumi, dari menyusuri hutan bersalju nan panjang, memotong kayu, mengambil air di sumur, hingga mengajarkan anaknya berbagai macam tumbuhan di hutan.

Alhasil, penonton dapat memahami pokok inti perdebatan yang muncul dalam pertengahan film. Apa yang membuat perusahaan di Tokyo tertarik untuk menjadikan desa tersebut sebagai lokasi glamping? Mengapa para warga khawatir dengan rencana tersebut? Dampak buruk apa yang akan warga alami? 

Tatkala pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, penonton dapat dengan mudah memahami konfliknya berkat keberhasilan Hamaguchi dalam membangun nuansa di babak pertama.

Membawa Isu yang Penting Mengenai Alam 

Takumi (Hitoshi Okima) dan Hana (Ryo Nishikawa) dalam film Evil Does Not Exist. | Janusfilm.com
Takumi (Hitoshi Okima) dan Hana (Ryo Nishikawa) dalam film Evil Does Not Exist. | Janusfilm.com

Evil Does Not Exist mampu menjaga intensitas ceritanya secara bertahap, paruh awal film ini mungkin terasa membosankan, namun ketika memasuki bagian pertengahan, saya sebagai penonton tak berhenti menatap layar demi melihat dialog yang kuat antar para karakter. 

Ya, apalagi tatkala dua perwakilan perusahaan membuka sesi diskusi bersama warga, terbuka ruang untuk saling mengeluarkan pendapat, tanpa adanya penentangan tanpa sebab.

Hamaguchi bukan sedang ingin membuat penontonnya menyalahkan modernisasi ataupun sebaliknya. Sebagaimana warga yang berdiskusi, penonton diajak untuk mendengarkan. Beragam sudut pandang diutarakan, perdebatan yang muncul pun tidak didasari atas kemarahan, melainkan berdasarkan kepedulian warga terhadap alam. Di dalamnya terdapat pesan-pesan soal keseimbangan, di mana peradaban modern dan lingkungan alam sejatinya dapat eksis bersamaan.

Evil Does Not Exist juga membuat penonton bertanya-tanya, apakah eksistensi "evil" benar-benar ada? Dalam film ini, diperlihatkan bagaimana petinggi perusahaan yang tamak akan keuntungan bisnis sengaja menjadikan "diskusi bersama warga" sebagai ajang formalitas belaka. Dicarinya solusi yang paling mudah dan hemat biaya, dengan tujuan agar warga tak lagi banyak bicara, bukan atas dasar kepedulian. Apakah commercialism merupakan bentuk "evil" yang sesungguhnya?

Melalui dua perwakilan perusahaan, penonton diperlihatkan bahwasannya setiap individu memiliki kebebasan untuk memiliki pilihan, walau seringkali bertentangan dengan tuntutan pekerjaan. Berbeda dengan bosnya yang hanya mementingkan keuntungan, Takahashi (Ryuji Kosaka) justru belajar untuk memahami, di mana ia pertama kalinya berhasil membelah kayu berkat mendengar saran dari Takumi.

Pada hakikatnya, semua manusia hanyalah pendatang di muka bumi, tak ada yang berhak mengklaim atas kepemilikan alam. Melalui film ini, Hamaguchi sejatinya menekankan betapa pentingnya saling memahami dan mendengarkan, bahwasannya setiap individu memilki tanggung jawab untuk menjaga alam.

Ending yang Memicu Diskusi Panjang

Salah satu adegan dalam film Evil Does Not | KlikFilm
Salah satu adegan dalam film Evil Does Not | KlikFilm

Meskipun Evil Does Not Exist memiliki cerita yang menggigit dan isu yang menarik, film ini ditutup dengan babak akhir yang memiliki unsur thriller dengan ending yang membingungkan. Ya, Hamaguchi mungkin sengaja menghadirkan adegan metaforis yang bertujuan untuk menyampaikan pesan. Tatkala filmnya usai, muncul diskusi menarik antar penonton, membahas kemungkinan-kemungkinan maksud dari ending yang disampaikan.

Hal ini tentu menjadi ciri khas film Hamaguchi yang terkesan abstrak, padahal sejatinya ada makna di dalam tiap adegan yang ia hadirkan. Bisa saja, rusa terluka yang membangkitkan insting bertahan hidupnya menjadi pertanda bahwasannya kejahatan sejatinya tidak benar-benar ada, yang ada hanyalah usaha bertahan hidup. 

Hana (Ryo Nishikawa) dalam film Evil Does Not Exist. | Janus Films
Hana (Ryo Nishikawa) dalam film Evil Does Not Exist. | Janus Films

Itulah ulasan saya mengenai film Evil Does Not Exist, apakah kamu tertarik untuk menontonnya?

Overall, Evil Does Not Exist merupakan film slow paced Jepang yang memiliki sinematografi dan instrumen musik yang indah. Mengangkat perihal alam, keseimbangan, dan upaya saling mendengarkan, pesan-pesan dalam film ini terasa spesial di hati saya sebagai penonton. 

Walaupun ending-nya menimbulkan banyak pertanyaan, Hamaguchi sukses memberikan pengalaman menonton yang menyenangkan sekaligus menghadirkan refleksi yang mendalam. Evil Does Not Exist berhasil menjadi salah satu film favorit saya di tahun ini. Film ini akan tayang di KlikFilm pada 01 Agustus 2024.

Rating pribadi: 9.5/10

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun