Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Belajar Memanusiakan Tenaga Kependidikan dalam Film Budi Pekerti

21 Maret 2024   21:35 Diperbarui: 22 Maret 2024   18:51 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tatkala mengajar, dengan pengalaman selama bertahun-tahun, guru terkadang merasa bahwa metode yang digunakan merupakan cara terbaik dalam mendidik anak-anaknya. Dibuktikan dengan banyaknya alumni yang sukses dikarenakan diterapkannya metode tersebut.

Namun, seorang guru juga perlu 'membuka mata' dan menerima secara legowo bahwa metode yang ia terapkan bisa jadi punya cela dan tak selalu efektif. Ada kalanya guru memang harus siap meminta maaf dan mengakui kesalahan bilamana tindakannya merugikan, walau niatnya dalam rangka kebaikan.

Dalam kasus antrean kue putu, Bu Prani enggan meminta maaf dan teguh pada pendiriannya bahwa ia tak salah. Padahal, jikalau saja Bu Prani mampu menurunkan sedikit ego-nya, niscaya permasalahannya tak akan melebar di mana-mana. Mengapa? Karena kita tak pernah tahu apakah bapak-bapak tersebut benar menyerobot antrian, atau Bu Prani yang sudah berprasangka duluan?

Begitu pula metode refleksi yang dibanggakan oleh Bu Prani ternyata memiliki kontroversi. Hukuman gali kubur yang dianggapnya mampu menjadi refleksi dari kebiasaan bertengkar yang dilakukan oleh muridnya, justru malah membuat muridnya tersebut memiliki ketertarikan tak wajar pada kuburan. 

Untungnya, di akhir film, dengan Gora yang menjelaskan dampak dari metode yang Bu Prani lakukan terhadap dirinya, Bu Prani menjadi lebih menerima kekurangannya tersebut. Ia mengakui bahwa metodenya bisa saja salah, maka daripada ia mengorbankan murid demi mengembalikan citra sekolah, lebih baik ia yang mengundurkan diri. 

Keputusan akhir yang dilakukan Bu Prani tentu menjadi bahan renungan kita semua. Apakah kita perlu membongkar dan menceritakan semua yang kita alami hanya untuk menggaet kepercayaan publik? tatkala mereka sebetulnya hanya percaya pada apa yang ingin mereka percayai?

Framing Media Sosial yang Kejam

Kasus Bu Prani juga menunjukkan bagaimana framing media dapat memengaruhi cara pandang publik terhadap seorang guru.

Dalam film ini, netizen berperan penting dalam alur cerita. Bagaimana kekuatan 'the power of viral' menjadi alasan mengapa permasalahan Bu Prani sampai melebar ke mana-mana. 

Pertanyaannya, apakah netizen benar-benar peduli pada nasib penjual putu maupun nasib Gora? Atau netizen hanya mencari sensasi dan influencer memanfaatkannya sebagai sarana memperbanyak views?

Contohnya, ketika Bu Prani memarahi penyerobot antrean kue putu dan mengucap kalimat "Ah suwi (ah, lama)", lalu direkam dan diupload di media sosial. Video yang tampil seakan menunjukkan bahwa Bu Prani mengumpat "Asui (Anjing)" dan terlihat seakan sedang memarahi penjual putu. Video tersebut viral di media sosial, banyak netizen yang langsung menghakiminya tanpa memahami konteksnya.

Hal ini menunjukkan bagaimana framing media dapat membuat publik dengan mudah menghakimi seorang guru tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun